BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 09 Mei 2011

Antasari Blak-blakan soal Rekayasa Kasusnya

 Jpnn
KASUS pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen yang melibatkan eks Ketua KPK Antasari Azhar kembali disorot karena sarat rekayasa. Kepada Jawa Pos, Antasari blak-blakan soal rekayasa itu. Berikut petikan wawancara dengan dia:
   
Saksi dari KPK menyudutkan Anda dalam persidangan?

Saksi tidak semata-mata saksi. Harus dilihat suasana batin dia dan kondisi dia. Saksi harus tidak boleh dalam keadaan ditekan. Majelis hakim harus memahami ini. Kalau Anda tahu, saksi itu (dari KPK) bahkan tidak mengetahui letak jantungnya saat ditanya apakah dia sakit. Dia menyentuh dada sebelah kanan, bukan kiri. Apakah yang begini bisa disebut sebagai saksi?

Dalam sidang, Anda memerintahkan penyadapan terhadap Nasrudin?

Saya tidak pernah memerintahkan penyadapan. Kalau pernah, mana surat perintah penyadapannya? Tidak pernah ada kan? Jadi ceritanya, pada 1 Januari 2009, untuk merayakan ulang tahun pernikahan, kami sekeluarga ke Bali. Nah, di Bali istri saya menerima telepon teror. Seorang wanita mengatakan, ini lho suamimu bersama saya, dia masih di sini. Apa-apaan ini? Padahal, saya kan bersama istri saya waktu itu?

Saya berpikir, ini mengancam keluarga. Ini melemahkan saya. Ada upaya untuk melemahkan penegak hukum dengan cara seperti ini. Akhirnya, saya meminta Direktur IT KPK Budi Ibrahim mengecek nomor mana saja yang menghubungi istri saya. Bukan menyadap. Ini semacam call data record. Hanya berisi catatan nomor-nomor siapa yang menghubungi istri saya. Bukan menyadap. Kalau saya menyuruh menyadap, hasilnya bukan call data record. Seharusnya ada rekaman pembicaraan. Mana rekamannya? Tidak ada kan?

Anda juga disebut melapor ke Kapolri (waktu itu) Jenderal Bambang Hendarso Danuri bahwa ada ancaman terhadap Anda? Anda juga menyebut Nasrudin membahayakan negara.

Saya tidak pernah melapor ke Kapolri. Apa pernah ada surat laporan? Saya dan Bambang adalah teman sesama penegak hukum sejak sebelum dia menjadi jenderal. Setelah saya di KPK dan dia menjadi Kapolri, saya temui dia di ruangannya. Saya main ke sana dan saya ceritakan kondisi saya. Dia bilang, itu tidak boleh seperti itu (soal Antasari diteror lewat HP istrinya). Penegak hukum tidak boleh diperlakukan seperti itu, Pak, katanya. Kalau ternyata dia mengartikan itu laporan saya ke dia dan dia membentuk tim, itu sudah di luar kendali saya.
 
Anda juga disebut mengancam Nasrudin lewat SMS?

Inilah. Mestinya membongkar rekayasa harus dimulai dari sini. Saya tidak pernah mengirimkan SMS kepada Nasrudin. Di persidangan, saksi ahli IT dari ITB Agung Harsoyo menyebutkan, tidak pernah ada nomor dari HP saya masuk ke korban (Nasrudin). Berdasar nomor IMEI (International Mobile Equipment Identity), tidak ada yang cocok. Bisa jadi nama saya dimasukkan ke phonebook korban, tapi SMS dikirim dari nomor lain atau dari web server.

Saya kira, kunci membongkar rekayasa ini bisa dimulai dari membuka handphone korban. Sebenarnya siapa yang mengirimkan SMS ancaman itu kepada dia? Cari pengirim SMS itu sampai dapat. Kemudian, dia ditanya siapa yang menyuruh? Itulah dalang rekayasa ini.
 
Anda punya petunjuk siapa kira-kira dalang itu?

Saya tidak tahu. Saya ini terdakwa. Saya bukan penegak hukum. Mestinya ada orang yang mencari tahu. Anda mau jawaban formal fakta hukum, hipotesis, atau persepsi? Kalau persepsi, hipotesis, saya tidak bisa bilang. Saya ini orang hukum. Saya harus berbicara berdasar fakta hukum. Bahwa saya tahu, ya. Tapi, saya tidak bisa mengatakan.
 
Anda sengaja menyimpan informasi itu?

Tidak, tidak. Saya tahu siapa yang merekayasa ini. Tapi, saya tidak bisa mengungkapkan. PK (peninjauan kembali) saya kan belum diajukan. Pada saatnya nanti, saya akan mengungkapkannya. (Saat ini Antasari mempersiapkan mengajukan PK atas vonis 18 tahun penjara yang ditetapkan Mahkamah Agung).
 
Khawatir pernyataan Anda akan memengaruhi putusan PK?

PK merupakan peluru terakhir saya. Saya tidak bisa bermain-main dengan ini. Putusan majelis hakim menyebutkan bahwa Anda menganjurkan Sigid Haryo Wibisono (terpidana lain) membunuh Nasrudin. Bukti di persidangan adalah rekaman pertemuan dan pembicaraan Anda dengan Sigid.
 
Saya tidak pernah menganjurkan itu. Begini lho, umpamanya saya ini sedang membicarakan tempe goreng, tapi di sidang maknanya lain dihubungkan ke pembunuhan. Lagi pula, ternyata Sigid merekam pembicaraan itu dan saat itu ada dua polisi yang standby di luar. Ada apa ini? Mengapa dia harus merekam? Kemudian, duit Rp 500 juta yang katanya dana operasi pembunuhan itu duit Sigid sendiri.

Saya tidak pernah menyuruh membunuh, tiba-tiba Sigid memberikan Rp 500 juta (kepada Williardi Wizard, terpidana lain) yang ternyata itu duitnya sendiri. Masak ada orang menyuruh orang lain, orang itu yang membiayai sendiri? Semua cerita ini seperti titian (jembatan) untuk membawa saya dalam kasus ini.
 
(Dalam dakwaan disebutkan bahwa Antasari curhat kepada Sigid karena menerima SMS teror. Antasari mengatakan sudah lapor ke Kapolri dan sudah dibentuk tim dengan dipimpin Kapolres Jakarta Selatan saat itu AKBP Williardi Wizard. Namun, tidak bisa ditindaklanjuti. Sigid kemudian menyampaikan kesanggupannya membantu Antasari. Dia juga menawarkan skenario perampokan terhadap Nasrudin).
 
Terungkap juga bahwa ada kejanggalan peluru yang membunuh Nasrudin?

Itu Anda bisa lihat sendiri. Bagaimana bisa orang yang senjatanya revolver dan macet tidak bisa dipakai tiba-tiba di jenazah almarhum ditemukan peluru 9 mm.  Peluru dan senjata yang digunakan pelaku tidak cocok. Itu hasil forensik, bukan kata-kata saya sendiri. Artinya, secara materiil dan formil kasus ini lemah. Tindakan dan akibat yang ditimbulkan tidak sesuai.
  
(Di persidangan, saksi ahli mengatakan bahwa barang bukti senpi jenis revolver yang digunakan untuk membunuh Nasrudin macet. Senpi itu punya peluru 3,8 mm. Tetapi, di tubuh Nasrudin, menurut saksi ahli dari forensik, peluru yang ditemukan 9 mm). 
 
Sejak Anda terlibat kasus pembunuhan ini, KPK seperti lepas tangan terhadap diri Anda. Bukankah seharusnya Anda berhak atas fasilitas advokasi dari lembaga itu?

Ya, seharusnya memang begitu. Apa pun kasusnya, saya berhak atas pendampingan hukum. Saat kasus itu terjadi, saya masih menjabat ketua KPK. Dan, itu seharusnya otomatis, tidak perlu ditawarkan. Masak ada orang tercebur ke kolam terus ditanyai, Pak apakah Bapak perlu saya bantu? Saya tidak pernah ditawari, meski saya tidak kecewa.

Apakah ada alasan lain mengapa KPK lepas tangan dalam kasus Anda?

Ya, ada lah. Itu ceritanya panjang.

Apakah karena Anda menemui tersangka sekaligus buron Anggoro Widjojo di Singapura tanpa berkoordinasi dengan pimpinan KPK lainnya?

Ya, itu juga. Saat itu saya mendapat informasi bahwa ada oknum KPK yang menerima suap dari Anggoro Widjojo. Saya temui lah dia di Singapura. Anggoro tidak tahu bahwa pembicaraan itu saya rekam. Anggoro bilang sudah keluar duit Rp 6 miliar untuk oknum KPK melalui Ari Muladi. Di Malang, saya bertemu dengan Ari Muladi dan dia bilang sudah menyerahkan uang itu ke oknum (KPK). Jumlahnya dia tidak tahu karena di dalam amplop. Nah, saat saya mau mencari tahu di mana tempat penyerahan uang itu, saya sudah ditangkap.

Bukankah bertemu pihak beperkara harus dengan persetujuan seluruh pimpinan?

Saya berniat menelusuri. Maksud saya, kalau saya sudah dapat data lengkap, akan saya bawa ke forum pimpinan. Apakah akan diteruskan, atau kalau ini tidak benar, kita bawa ke pencemaran nama baik. Saya berkali-kali mengatakan, termasuk di Graha Pena dulu (saat diundang Jawa Pos di Surabaya, Red), tidak boleh ada orang yang bersembunyi di dalam KPK kalau dia juga korupsi. KPK tidak akan takut memproses kasus di lembaganya sendiri. Mengungkap oknum-oknum di internal tidak akan menyurutkan semangat KPK.

Apakah dalam pertemuan tersebut Anggoro memang menyebut Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah menerima suap?
 
Anggoro tidak pernah menyebut Bibit dan Chandra menerima suap. Tapi, polisi menyuruh saya membuat laporan, kemudian seolah-olah saya menuduh Bibit dan Chandra menerima suap. Padahal, dua oknum yang disebut Anggoro itu bukan mereka.

Apakah oknum itu pimpinan lainnya? Deputi Penindakan KPK Ade Raharja dan Wakil Ketua KPK M. Jasin?

(Mengangguk pelan) Itu sudah disebut dalam rekaman pembicaraan dengan Anggoro Widjojo dengan saya. Anda bisa dengar sendiri. Tapi, nama-nama itu (Ade dan Jasin) Anda yang menyebut. Bukan saya.
 
Artinya, Bibit dan Chandra sama-sama korban rekayasa sama dengan Anda?

(Antasari hanya tersenyum)

Bagaimana pertemuan dengan Rhani Juliani (istri siri Nasrudin) yang disebut JPU (jaksa penuntut umum) menjadi motif Anda membunuh Nasrudin?

Sudah saya bilang. Ini titian yang dibuat untuk membuat saya begini. Memang ada pertemuan itu. Tapi, itu terjadi setahun sebelumnya. Almarhum kan ditembak pada 2009. Jelas tidak ada kaitannya.

Anda diperkarakan karena sedang mengusut kasus pengadaan teknologi informasi (IT) di KPU?

Itu salah satu di antaranya. Saat itu saya juga sedang mengusut kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Kasus itu akan sampai pada sejumlah bank pemerintah. Sekarang lihat, bank-bank pemerintah yang menerima BLBI sampai sekarang, tidak ada kelanjutannya kan? Selain itu, saat itu saya mengusut upah pungut di berbagai daerah. Termasuk di Polri juga.

Artinya, Anda saat itu mengincar pemerintah sampai kemudian diperkarakan?

Saya tidak bisa bilang begitu. Saya hanya menjalankan tugas. Tugas KPK adalah mengusut kasus korupsi terhadap penyelenggara negara. Masak saya harus mengusut kasus kepala dinas? Ya bukan kelasnya lah.
 
Memangnya apa akibat dari pengusutan kasus-kasus itu sampai harus memerkarakan Anda?

Saat itu juga belum tahu kasus tersebut akan ke mana. Saya masih menugaskan Pak Haryono Umar (wakil ketua KPK) untuk mendatangi KPU, tak lama kemudian saya ditangkap. Yang jelas, saya hanya menjalankan tugas saya. Kasus itu mengarah ke siapa, saya tidak peduli. Saya ini hanya menjalankan tugas.

Ada anggapan bahwa kasus IT KPU bisa memengaruhi hasil Pilpres 2009?

Saya beri tahu ya. Kalau mau mancing ikan paus, itu di laut. Kalau mancing di sini, yang ada hanya ikan lele. Anda jangan mancing saya ha..ha...ha.... Semua kasus yang ditangani KPK adalah hasil dari rapat pimpinan. Saya tidak bisa memutuskan sendiri. Mengapa orang selalu berpikir KPK itu Antasari?
 
Tiga barang bukti Anda sampai sekarang tidak jelas di mana. Apa pentingnya barang bukti itu?

Sekarang di mana barang bukti itu? Dari semua barang-barang yang di ruangan saya, penyidik memilih merampas tiga barang itu. Apa alasannya? Padahal, itu tidak ada hubungannya dengan kasus saya. Anda lihat saja tiga barang bukti itu. Ada laporan pengadaan IT ilegal, laporan Sigid Haryo Wibisono kepada saya terkait kasus BLBI, dan perjanjian kerja sama antara perusahaan swasta dan BUMN. Mengapa mereka memilih itu?
 
Anda berharap, PK akan mengabulkan permohonan Anda?
 
Saya masih berharap ada keadilan. Mungkin naif. Tapi, saya juga ingin memberikan contoh kepada masyarakat bahwa keadilan juga harus kita capai dengan cara-cara yang tepat.(aga/c4/kum)

Tidak ada komentar: