BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Jumat, 20 Mei 2011

DPR Tolak Intelijen Diberi Hak Penangkapan

JAKARTA - DPR dan Pemerintah mulai duduk bersama membahas RUU Intelijen. Ada sejumlah perbedaan pandangan yang berpotensi akan membuat pembahasan ini menjadi alot. Di antaranya terkait isu kedudukan lembaga intelijen, koordinasi intelijen, kewenangan, dan pengawasan intelijen.

"Pemerintah mengusulkan pemeriksaan intensif sebagai bagian dari kewenangan intelijen," Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq usai raker RUU Intelijen di Gedung DPR, Kamis (19/5). Turut hadir mewakili pihak pemerintah, Menkum HAM Patrialis Akbar dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutanto.

Mahfudz menyebut pemerintah menggunakan klausul "pemeriksaan intensif" sebagai istilah yang lebih halus dari penangkapan. DPR sendiri, lanjut Mahfudz, tidak mengusulkan kewenangan itu dalam draf RUU Intelijen yang diajukan.

"Posisi fraksi -fraksi yang lain sementara ini masih sama (menolak kewenangan penangkapan, Red)," ujar Wasekjen DPP PKS, itu.

Terkait fungsi koordinasi intelijen, lanjut dia, DPR mengusulkan dibentuk lembaga koordinasi intelijen negara. Tapi, menurut Mahfudz, itu bukan nomenklatur khusus. Konsekuensinya ada dua alternatif, yakni bisa dibentuk lembaga koordinasi baru atau diberikan ke lembaga yang sudah ada, misalnya BIN.

"DPR menyerahkan kepada pemerintah. Tapi, pemerintah maunya definitif saja dalam RUU (disebut langsung BIN, Red). Bagi DPR yang penting koordinasi antara intelijen harus berjalan baik," tuturnya.

Apakah sikap DPR yang menyerahkan pembentukan lembaga koordinasi intelijen ini kepada pemerintah untuk menghindari kontroversi" "Kami ingin pemerintah punya kebebasan. Dengan demikian sewaktu ada kebutuhan pengembangan menjadi tidak membatasi," jawab Mahfudz.

Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi PDIP TB Hasanuddin memastikan sikap fraksinya dalam menanggapi soal penangkapan sudah klir. "Kami menolaknya. Kalau itu harga mati. Ketua Umum kami, ibu Megawati, mewanti -wanti, ini harus fight," tegasnya.

Menurut dia, fraksinya konsisten dengan draf awal RUU Intelijen yang diparaf masing -masing pimpinan kelompok fraksi di Komisi I. "Waktu itu tidak ada seorangpun anggota fraksi di komisi I yang setuju penangkapan," kata Hasanuddin.

Dia menyampaikan proses penangkapan seseorang harus dalam kerangka penegakan hukum sesuai KUHP. "Kalau orang diambil tiba -tiba saat siang, malam, atau subuh, tanpa pemberitauan, dibawa ke mana, keluarganya tidak diberi tahu, atau tidak didampingi pengacara, itu sama saja dengan penculikan. Ini sangat fatal," ujarnya.

Hasanuddin menyarankan kalau konteksnya penanganan terorisme, intelijen bisa bekerja sama dengan kepolisian yang bergerak berdasarkan UU Terorisme. Soal kewenangan penyadapan oleh intelijen yang diusulkan pemerintah, Hasanuddin menegaskan koridornya harus tetap dengan seizin pengadilan.

Suasana raker Komisi I, berjalan hangat. Padahal, pembicaraan baru menyentuh bagian awal mengenai definisi lembaga intelijen. Pemerintah melalui DIM-nya mengusulkan lembaga intelijen didefinisikan sebagai lembaga pemerintah. Namun, usul ini mendapat resistensi dari sejumlah anggota Komisi I, seperti HM Gamari (FPKS) dan Effendy Choirie (FPKB).

"Kami ingin mereview bahwa lembaga intelijen adalah lembaga negara, bukan lembaga pemerintah. Setelah saya kritisi, ini subtantif, bukan soal redaksi semata," kata Gamari.

Menurut dia, bila disebut lembaga pemerintah, semangat yang muncul adalah intelijen menjadi instrumen untuk mendukung kepentingan pemerintah yang berkuasa. "Bila sebagai lembaga negara maka yang berkepentingan itu adalah negara," ujar politisi PKS, itu.

Effendy Choirie juga mengajukan pandangan yang sama. "Ketika itu jadi alat pemerintah, sering kali dirasakan ini mengawasi rakyat," kata Gus Choi -begitu dia biasa disapa.

Dalam paparannya, Menkum HAM Patrialis Akbar mengatakan selain BIN ada 14 kementerian/lembaga yang juga memiliki intelijen. Misalnya, TNI, Kepolisian, dan imigrasi. "Dan semua itu bekerja untuk pemerintah," tegasnya.

Patrialis menambahkan pemerintah ingin lembaga intelijen bekerja profesional dan tidak terjebak pada keberpihakan politik. Karena itu, kalau terjadi penyalahgunaan intelijen hukumannya sangat berat. "Ini untuk menghilangkan keraguan kita," tegasnya.

Dalam DIM -nya, pemerintah mengusulkan substansi baru. Dalam pasal 14 (1), pemerintah meminta dalam melaksanakan tugasnya, BIN memiliki wewenang melakukan intersepsi komunikasi dan atau dokumen elektronik, serta pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat terkait dengan kegiatan terorisme, separatisme, spionase, subversi, sabotase, dan kegiatan atau yang mengancam keamanan nasional.

Menurut Patrialis, bila ini disepakati, bukan berarti BIN akan membongkar data bank, nasabah, dan aliran dana secara langsung. Dalam prakteknya BIN akan bekerjasama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). "Di dalam sistem kita kan sudah ada PPATK, bisa masuk memberikan informasi intelijen," katanya.

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutanto mengatakan tidak perlu membentuk lembaga koordinasi intelijen negara. Menurut dia, fungsi koordinasi sudah terwadahi dalam BIN. "Karena itu untuk menampung BIN supaya masuk dalam pasal ini kami lakukan beberapa usulan dan penyesuaian," kata mantan Kapolri, itu. (pri)

Tidak ada komentar: