Jakarta (ANTARA News) - Fraksi Partai Golkar mengusulkan sistem pemilu campuran antara nomor urut dan suara terbanyak untuk Pemilu 2014

"Sistem Pemilu ini memadukan kebaikan-kebaikan yang ada dalam sistem proporsional berdasarkan suara terbanyak dan sistem proporsional berdasarkan nomor urut. Jadi kedua sistem tersebut berjalan secara paralel," kata anggota Tim Pengkajian Revisi RUU Bidang Politik Fraksi Partai Golkar Nurul Arifin kepada antaranews.com, Jakarta, Senin.

Menurut Nurul, sistem campuran tersebut mempertemukan dua kebutuhan nyata yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia dalam membangun demokrasi yang lebih relevan.

Sistem campuran itu, kata dia, untuk meneguhkan kontrol dan wibawa partai di depan konstituennya dan di pihak lain memberikan ruang bagi dihormatinya popular vote dan partisipasi warga negara dalam pemilu.  Perpaduan di antara dua tradisi itu dimaksudkan untuk memperoleh hasil terbaik dari dua cara yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri.

"Berdasarkan pemikiran kritis atas kedua tradisi tersebut, Partai Golkar mengusulkan bahwa penentuan anggota parlemen didasarkan pada nomor urut dan suara terbanyak berdasarkan komposisi 70:30," kata anggota Komisi II DPR RI itu.

Fraksi Partai Golkar DPR RI, kata dia, menyadari bahwa tidak ada sistem pemilu yang sempurna, atau cara yang ‘benar’ untuk merencanakannya, yang ada adalah sistem pemilu yang ‘tepat dan favorable’. Artinya, idealitas sebuah sistem pemilu yang diterapkan di sebuah negara tidak lebih dari prioritas-prioritas yang diutamakan, bukan karena secara ontologis sistem itu baik dan sempurna.

"Dalam hal ini, Fraksi Partai Golkar DPR RI memandang bahwa hal-hal yang berkenaan dengan masalah perwakilan, kepartaian, parlemen, dan kabinet, yang kesemuanya merupakan konsekuensi dari sistem pemilu yang diterapkan, seperti telah dijelaskan di muka itulah, yang mestinya menjadi prioritas-prioritas yang hendak dicapai dari desain-ulang terhadap aturan pemilu yang sekarang dilakukan oleh DPR RI, khususnya Badan Legislasi," ujar Nurul.

Ia juga menyebutkan, sistem campuran itu adalah untuk selalu memberi wadah bagi kaum perempuan, kelompok ahli, golongan minoritas, dan pegiat partai dalam rangka menyeimbangkan antara pilihan popularitas dan kapabilitas serta ketentuan affirmative action. Selain, menjembatani antar arus suara rakyat dengan suara partai, dan kedekatan hubungan kepada rakyat dengan kepada partai.

"Sedangkan pada wilayah kepartaian, selalu hadir pikiran keharusan mengurangi partai politik sampai jumlah yang bisa diterima secara moderat dengan tetap memelihara keragaman partai sesuai ideologi dan pembelahan sosial yang ada dalam masyarakat. Di samping itu juga memperkuat peran partai politik di tengah semakin besarnya otonomi individu kader partai, termasuk, di dalamnya menemukan kompatibilitas antara kepartaian yang terbentuk dengan kabinet yang dianut.

Selain itu, dari aspek parlemen, sistem ini mengedepankan nilai kredibilitas dan kapabilitas tanpa meninggalkan semangat akomodatif dan aspiratif. Diperkuat dengan terbangunnya parlemen atas dasar akuntabilitas, tetapi tetap memelihara juga proporsionalitas.

Ia menegaskan, Fraksi Partai Golkar tetap mengusulkan angka Parlimentary Threshold sebesar 5 persen

"Partai Golkar sebagai Party of Idea berpendapat bahwa ini adalah saat yang tepat untuk membuat terobosan dan sehubungan dengan itu mengajak semua pihak untuk menyetujui Sistem Pemilu Campuran sebagai jalan keluar untuk melahirkan anggota-anggota DPR yang berkualitas demi masa depan Indonesia yang lebih demokratis dan sejahtera," tutur Nurul.