BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Minggu, 08 Mei 2011

Ide Besar Itu Namanya "Masyarakat Ekonomi ASEAN"

Jakarta (ANTARA News) - Pada KTT ASEAN ke-18 di Jakarta ini, ASEAN terlihat memberi tempat lapang kepada Uni Eropa.
Meski secara geografis jauh dari Asia Tenggara, Uni Eropa memang memiliki hubungan istimewa dengan ASEAN yang bahkan terkesan lebih kuat ketimbang ASEAN kepada dua raksasa tetangganya, yakni India dan China. Yang terakhir malah menjadi mitra dagang sangat penting ASEAN kini.
Mengutip Joe Studwell dalam "Asian Godfather" dan Amy Chua dalam "World on Fire", Asia Tenggara memang tidak benar-benar memesrai China.
Postur ekonomi, militer dan penduduknya yang serba raksasa, membuat ASEAN sering memandang khawatir China, apalagi China menyimpan ambisi besar di Laut China Selatan di mana kedua kawasan menyengketakan Kepulauan Spratley.
"Ruang lapang` kepada Uni Eropa itu disebut sejumlah kalangan sebagai sinyal dari ASEAN kepada Uni Eropa untuk menjadi penyeimbang China di Asia Tenggara.
Namun banyak juga yang mengatakan, dialog intensif dengan Uni Eropa itu adalah upaya ASEAN dalam menggali pengalaman sebelum mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015 yang akan menjadi prolog bagi integrasi penuh ASEAN, seperti metamorfosis Masyarakat Ekonomi Eropa ke Uni Eropa pada 1994.
Para pemimpin ASEAN sendiri mengakui mereka memang sedang "berguru" kepada Uni Eropa.
"Eropa memiliki pengalamam yang jauh lebih panjang dalam integrasi ekonomi dan pembangunan kemasyarakatan. ASEAN telah dan akan terus belajar dari pengalaman Eropa itu," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pertemuan Bisnis ASEAN-Uni Eropa, Kamis (5/5).
Tapi, karakteristik kedua kawasan ini amat berbeda.
Ketika Masyarakat Ekonomi Eropa dibentuk pada 1957 lewat Traktat Roma, relatif tak ada perbedaan ideologis dan sosial signfikan di Eropa (Barat). Mereka juga relatif homogen, dengan tradisi kristen demokrat dan liberal.
Sebaliknya, ASEAN itu berwarna-warni. Ada sosialis, demokrastis, liberal, dan bahkan diktatoral. Sejumlah negara ASEAN bermayoritas Islam, lainnya Budha dan Katolik. Tingkat kemakmurannya pun macam-macam. Ada yang berpendapatan perkapitanya lima digit, tapi ada yang cuma tiga digit.
Benar kata Presiden Yudhoyono bahwa pengalaman berintegrasi Uni Eropa itu panjang.
Uni Eropa memang memerlukan waktu lebih dari 30 tahun untuk sepenuhnya menyatu seperti sekarang, sejak Traktat Roma 1957 sampai Perjanjian Maastricht pada 1992.
Selama tiga dekade lebih itu, Eropa bukannya tanpa gejolak.
"Tapi Uni Eropa bisa bertahan dari gejolak-gejolak karena komitmen para pemimpinnya dan evolusi unsur sosialnya yang kritis. Ini adalah pelajaran dasar bagi ASEAN, khususnya mengingat fakta bahwa satu Masyarakat Ekonomi ASEAN akan harus lebih komprehensif sekaligus bakal lebih `mengganggu` pasar nasional dibanding masa apa pun," kata Michael G. Plummer, profesor ekonomi internasional pada Universitas Johns Hopkins, AS.
Para pemimpin ASEAN sendiri belakangan serius berinteraksi. Namun sayang, beberapa negara masih berkutat dengan persoalan internal, bahkan terlibat konflik intra-ASEAN yang keras seperti Thailand dengan Kamboja.

Disparitas tinggi
Idealnya, Masyarakat Ekonomi ASEAN mendambakan ciri-ciri utama berikut, (1) pasar bersama dan berbasis produksi, (2) kawasan ekonomi yang sangat kompetitif, (3) kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, dan (4) kawasan yang sepenuhnya terintegrasi ke dalam ekonomi global.
Namun semua hasrat itu menghadapi tantangan berat, terutama dari disparitas atau kesenjangan ekonomi yang dalam. Misalnya, dari perbedaan output ekonomi. Ekstremnya, antara PDB (produk domestik bruto) Laos hanya 1 persen dari PDB Indonesia 2009 sebesar 258 miliar dolar AS.
Demikian juga dari tingkat kemakmuran. Singapura yang pendapatan perkapitanya 25.207 dolar AS, jelas jauh lebih kaya dibandingkan Myanmar yang hanya 166 dolar AS, atau 0,65 persen dari Singapura.
Itu tantangan bagi ASEAN. Tahun-tahun mendatang ASEAN bakal harus keras melawan ujian berat lainnya, terutama promosi pasar bersama ASEAN yang bakal meniscayakan bebasnya arus modal, jasa dan produksi yang jauh lebih intensif dari sekarang.
Bagi negara ASEAN yang daya kompetitifnya tinggi, hal itu tak akan mengganggu, namun bagi negara yang kesiapan ekonomi dan sumber dayanya rendah, maka pasar bersama malah bisa mencelakakannya.
Salah satu keniscayaan dari pasar bersama adalah gelombang akuisisi dan merger dalam kawasan.
Masalahnya, gelombang akuisisi dan merger ini acap mencipta persoalan nasional yang serius. Sebut saja kasus swastanisasi perusahaan-perusahaan strategis Thailand yang kemudian menyeret PM Thaksin Sinawatra ke tepi kekuasaan, dan akhirnya benar-benar terjungkal dari kekuasaan.
Di lain pihak, liberalisasi perdagangan pada negara-negara totaliter seperti Myanmar malah hanya memperkaya segelintir orang saja.
Gelombang swastanisasi dan liberalisasi perdagangan akan datang lebih kencang ketika pasar bersama itu diperkenalkan. Dan ASEAN harus memagari rakyatnya, entah dari penguasa korup atau over-eksploitasi aset-aset publik oleh swasta.
Bahkan, pakta dagang bebas ASEAN (AFTA) dan kemudian dengan China (ACFTA) pun, membuat masyarakat bawah terkejut. Tidak hanya Indonesia, tetapi juga sejumlah negara ASEAN lainnya.
Demi membangun kesiapan itu dan mengantisipasi gejolak-gejolak di bawah nanti itu, ASEAN kemudian mempromosikan konsep "people to people". Namun alih-alih mengaktifkan masyarakat, kebanyakan rakyat ASEAN justru masih sulit meraba inisiatif itu.

Enggan terbuka
Lalu, pintu ekonomi ASEAN nanti akan didesain menjadi satu. Namun ketika itu diterapkan, maka standarisasi menjadi keniscayaan. Padahal, disparitas ekonomi ASEAN yang besar tentu akan mempersulit penciptaan standar itu, padahal 2015 tinggal 4 tahun lagi.
Pintu perdagangan tunggal ini pun bisa memicu persoalan, karena bisa dihubung-hubungkan dengan keadilan ekonomi. Artinya, produksi satu negara tidak harus selalu keluar dari satu pintu, yang justru hanya akan menguntungkan negara di mana pintu satu itu berada.
"Kan lucu, ada negara yang tak punya kebun pala, tetapi menjadi pengekspor pala terbesar di dunia," kata anggota Komisi I DPR RI, Fayakhun Andriadi seperti dikutip ANTARA (6/5).
Ketika Eropa Barat menyatu dalam Masyarakat Ekonomi Eropa, kawasan ini telah disangga dengan kuat oleh praktik politik, standar kehidupan ekonomi dan kebiasaan sosial yang tak jauh level perbedaannya.
Sebaliknya ketika ASEAN memimpikan masyarakat ekonomi serupa di Asia Tenggara, bangunan ekonomi dan nonekonominya belum sekokoh Eropa. Itu termasuk memasyaratkan ide-ide besar seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN itu.
KTT ASEAN ke-18 seharusnya menjadi kesempatan untuk memberi pesan kepada rakyat ASEAN bahwa organisasi ini tengah mencoba mengajak masyarakatnya aktif.
Faktanya, para pemimpin ASEAN --kecuali Indonesia dan Filipina yang terbiasa terbuka-- malah menunjukkan sikap sebaliknya, setidaknya saat berhadapan dengan media yang justru jembatan ke masyarakat.
Jika terhadap media saja enggan berbuka, bagaimana ide-ide besar ASEAN seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN bisa sampai kepada rakyat ASEAN?
Ini tantangan bagi ASEAN, khususnya Indonesia.
Bukan saja karena tahun ini Indonesia Ketua ASEAN, tapi juga karena kualitas inisiatif, postur ekonomi dan politik, serta dukungan masyarakat madani Indonesia relatif lebih maju dibandingkan anggota ASEAN lainnya. (*)

Tidak ada komentar: