BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Selasa, 10 Mei 2011

Merpati Tetap Terbangkan MA-60

JAKARTA - Kecelakaan Merpati di Kaimana, Papua Barat, membuat banyak pihak menyoroti kelayakan pesawat MA-60 buatan Tiongkok. Namun, pihak Merpati bersikukuh tetap mengoperasikan pesawat jenis tersebut.


Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) Sardjono Jhony Tjitrokusumo mengatakan, sebelum terbang, baik pesawat maupun kru sudah menjalani prosedur persiapan. "Jadi, kami pastikan, saat berangkat dari Sorong, pesawat MA-60 maupun kru pesawat kami laik terbang," ujarnya di Kementerian Perhubungan kemarin (9/5).

Jhony mengakui, pesawat MA-60 memang belum mendapat sertifikat Federal Aviation Administration (FAA). Alasannya, sertifikat FAA hanya diperlukan bagi pesawat dari Amerika Serikat (AS). "Tapi, pesawat MA-60 tetap punya sertifikasi keselamatan standar Indonesia dan China," katanya.

Menurut Jhony, sistem sertifikasi di luar FAA juga diterapkan oleh negara-negara yang menggunakan pesawat buatan non-AS. "Misalnya, di Filipina, Zimbabwe, maupun China. Pesawat MA-60 juga tidak menggunakan sertifikat FAA," ucapnya.

Jhony mengatakan, pesawat MA-60 yang celaka di Papua adalah pesawat baru. Pesawat tersebut tiba di Indonesia pada 3 Desember 2010 dan mulai terbang pada 6 Desember 2010 untuk melayani rute Bali?Nusa Tenggara. "Kemudian, pada 16 Maret lalu, pesawat kami alihkan untuk melayani rute Papua," terangnya.

Kelaikan pesawat untuk terbang, lanjut dia, juga ditunjukkan dari hasil catatan pemeriksaan sebelum terbang atau logbook yang tidak menunjukkan pernah ada gangguan teknis pada pesawat. "Kami sudah cek, logbook-nya clear (bersih dari catatan kerusakan, Red). Jadi, kondisi pesawat memang bagus," jelasnya.

Jhony berharap kabar negatif seputar pesawat Merpati tidak terus diembuskan. Sebab, hal itu akan mengganggu proses restrukturisasi Merpati di tengah persaingan bisnis penerbangan yang ketat. "Kami ini BUMN yang struggle (berjuang untuk sehat, Red). Kami juga kesulitan keuangan. Tapi, kami jamin, hal itu tidak akan membuat kami mengorbankan aspek keselamatan," ujarnya.

Jhony menambahkan, setelah satu pesawat jatuh di Papua, Merpati masih memiliki 12 pesawat MA-60. Saat ini Merpati juga menunggu kiriman dua pesawat lagi yang akan datang pada 19 dan 20 Mei. "Jadi, nanti kami memiliki 14 pesawat MA-60," ujarnya.

Dia mengungkapkan, Merpati memiliki 13 pesawat MA-60 yang didatangkan sejak 2007 dari produsennya di Tiongkjok. Setiap unit pesawat penumpang bermesin turbo baling-baling ganda tersebut dibeli dengan harga USD 11 juta atau Rp 9,408 miliar.

Dia menguatkan pernyataan Kementerian Perhubungan bahwa pesawat MA-60 buatan Tiongkok tidak ada masalah secara teknis. Namun, dia membenarkan bahwa pada 2007 beberapa pesawat jenis itu terpaksa tidak diterbangkan. "Tapi, bukan karena tidak laik terbang. Itu hanya karena permasalahan dalam leasing. Ada masalah pembayaran," katanya.

Pengamat penerbangan, Sri Subekti, memperkirakan kecelakaan pesawat Merpati itu disebabkan pilot memaksakan pendaratan di Bandara Kaimana. Padahal, saat itu hujan deras sehingga tidak mungkin menggunakan pendaratan visual. "Sudah sangat jelas, prosedur yang harus dilakukan penerbang adalah tidak memaksakan kehendak untuk tetap mendarat," cetusnya.

Masalah utama di bandara-bandara kecil di Papua adalah minimnya alat bantu navigasi. Di Bandara Kaimana diketahui hanya ada ADF (automatic direction finder). "Alat bantu jenis ini hanya berguna untuk menuntun pesawat ke landasan pada saat cuaca bagus," tambahnya.

Pesawat MA-60 sebenarnya didesain sebagai pesawat yang mampu terbang dalam IFR (instrument flight rules), sedangkan Bandara Kaimana adalah pangkalan udara dengan fasilitas penerbangan VFR (visual flight rules). "Sayangnya, Bandara Kaimana tidak mempunyai informasi yang diperlukan bagi sistem IFR, sehingga cuma bisa VFR. Di sini menjadi jelas, ada masalah sangat prinsip ketika cuaca buruk," tuturnya.

Bila benar kabar yang mengatakan bahwa pesawat tersebut berputar-putar terlebih dahulu di atas laut dekat bandara, Sri memperkirakan sang pilot sedang mencari landasan, tapi gagal. "Mungkin dia salah mendarat di laut karena secara visual memang tidak mungkin melihat secara jelas," tegasnya.

Menurut dia, tewasnya para penumpang Merpati tersebut juga harus dipertanyakan. Sebab, mereka tidak menggunakan pelampung udara yang ada di setiap kursi penumpang. "Seharusnya, kalau kondisi memang sudah kritis, bisa saja pilot atau pramugari memerintahkan penumpang memakai pelampung, sehingga bisa selamat meskipun masuk laut," jelasnya.

Sementara itu, Menteri BUMN Mustafa Abubakar mengatakan, pihaknya meminta manajemen Merpati terus melakukan pembenahan internal agar kejadian kecelakaan bisa dihindari. Namun, Mustafa belum akan menindak manajemen Merpati. "Kita tunggu dulu hasil KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi)," ucapnya. (wir/owi/c2/nw)

Tidak ada komentar: