Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Minggu pagi, menerima Perdana Menteri (PM) Thailand, Abhisit Vejjajiva, dan PM Kamboja, Hun Sen, sebagai tamu negara sekaligus mempertemukan keduanya dalam sebuah pembicaraan tiga pihak.

Pertemuan itu dilakukan sebelum pelaksanaan Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-18 Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) hari kedua di Jakarta. Pertemuan dilaksanakan di Board Room nomor 6 Balai Sidang Jakarta.

Ketiga pemimpin negara itu duduk saling berhadapan dalam formasi segi tiga. Presiden Yudhoyono berada di satu posisi, sehingga PM Thailand, Abhisit Vejjajiva, berada di sisi kirinya, dan PM Kamboja, Hun Sen, di sisi kanan. Ketiganya saling menyapa dan tersenyum pada awal sesi pertemuan tiga pihak itu.

Mereka masing-masing didampingi oleh menteri luar negerinya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi oleh Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa, dan Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Luar Negeri, Teuku Faizasyah.

Kedua tamu negara itu datang ke Balai Sidang Jakarta untuk menemui Presiden Yudhoyono sekitar pukul 08.00 WIB, atau satu jam sebelum KTT ASEAN dimulai.

Mereka berdua masing-masing datang menggunakan mobil yang dikawal sejumlah petugas keamanan dengan plat mobil tertulis "Tamu Negara 2" dan "Tamu Negara 8".

Hun Sen sebelumnya mengemukakan, kekecewaan mendalamnya terhadap sikap pemerintah Thailand yang belum menandatangani kerangka acuan (Term of Reference/ToR) yang diajukan Indonesia mengenai pengiriman peninjau ke daerah perbatasan dua negara yang disengketakan.

Dalam pidatonya dalam sesi utama KTT ke-18 ASEAN di Balai Sidang Jakarta, Sabtu, Hun Sen menilai Pemerintah Thailand terus mengeluarkan syarat-syarat yang tidak dapat diterima dan tidak masuk akal terkait hal itu.

"Thailand meminta Kamboja menarik pasukannya dan rakyatnya dari wilayahnya sendiri, wilayah yang merupakan kedaulatan dan berada di bawah kendali Kamboja. Syarat itu tidak masuk akal dan tidak dapat diterima," kata Hun Sen sebagaimana dikutip dari naskah pidatonya.

Menurut dia, seharusnya Pemerintah Thailand yang menarik pasukannya dari kawasan itu, berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, pada 15 Juni 1962.

Ia mengatakan, keputusan Pemerintah Thailand untuk menetapkan syarat itu menunjukkan bahwa Thailand tidak memiliki niat baik untuk menerima tim peninjau dari Indonesia dan tidak memiliki keinginan untuk menyelesaikan sengketa perbatasan ini sesuai dengan hukum internasional secara damai.

"Thailand, sebagai sebuah negara besar, terus memiliki ambisi untuk memperpanjang konflik bersenjata untuk mengganggu negara tetangganya di ASEAN yang lebih lemah," kata PM Hun Sen di hadapan para kepala negara/pemerintahan ASEAN, termasuk Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva.

Terkait dengan seruan negara-negara anggota ASEAN agar Kamboja dan Thailand saling menahan diri dan menghindari jatuhnya korban jiwa, menurut Hun Sen, Pemerintah Kamboja telah cukup menahan diri dan bersabar dengan terus berusaha mencari penyelesaian secara damai melalui negosiasi dan segala mekanisme, terutama sejak pasukan Thailand memasuki kawasan di sekitar kuil kuno Preah Vihear pada 15 Juli 2008.

Ia juga mengatakan bahwa Pemerintah Kamboja menghormati proses hukum di Thailand dengan bersabar menanti adopsi hasil dari pertemuan Komite Bersama Perbatasan Thailand-Kamboja, yang telah disiapkan pada 2008 dan 2009.

Sementara itu, PM Abhisit Vejjajiva dalam keterangan tertulisnya dikeluarkan untuk menanggapi pidato PM Hun Sen menegaskan Kabinet Thailand telah menyetujui ToR yang diajukan Pemerintah Indonesia mengenai pengiriman peninjau ke daerah perbatasan dua negara yang disengketakan.

"Namun, kami memiliki keprihatinan," katanya.

Menurut dia, jika tim peninjau akan ditempatkan maka harus ada niat baik dari Pemerintah Kamboja untuk menghormati Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) 2000 yang meliputi penarikan pasukan dan rakyat sipil lain dari kawasan itu karena MoU 2000 menyepakati bahwa tidak ada pergerakan apapun dari pasukan atau rakyat sipil di kawasan yang dipersengketakan.

Lebih jauh lagi, kata dia, kehadiran pasukan di sekitar kawasan kuil itu melanggar Konvensi Haque 1954 mengenai Perlindungan Kekayaan Budaya di tengah-tengah Konflik Bersenjata dan Konvensi 1972 mengenai Perlindungan Kekayaan Budaya dan Alam Dunia.

Sengketa perbatasan itu berawal dari satu peta yang dikeluarkan pada 1908 oleh kartografer Prancis untuk menetapkan perbatasan Thailand-Kamboja, ketika Kamboja masih di bawah koloni Perancis.

Perancis mengatakan, perbatasan harus diputuskan menurut garis batas air di sepanjang jarak gunung Dongrak, dalam peta mereka candi Preah Vihear terletak di ketinggian 525 meter, dengan jalan turun berada di wilayah Kamboja, dan sebagian lainnya di wilayah Thailand.

Thailand kehilangan candi itu pada 1962 ketika sengketa atas kepemilikan candi itu dibawa ke Pengadilan Internasional di Den Haag.

Pengadilan memutuskan kepemilikan candi kepada Kamboja, namun sengketa garis perbatasan masih terus berlangsung hingga sekarang.

Sengketa atas candi Preah Vihear merebak kembali pada 2008 ketika Kamboja mengusulkan candi yang terletak dalam kompleks seluas 4,6 kilometer itu sebagai Warisan Dunia kepada UNESCO.

Usulan tersebut disetujui UNESCO, 7 Juli 2008, meskipun kemudian ditentang oleh Thailand.

Saat ini, tentara kedua belah saling berhadapan di seberang perbatasan masing-masing di sekitar candi Prear, yang terletak di antara provinsi Si Sa Khet dan Phrea Vihear, sekitar 400 kilometer di timurlaut Bangkok.