Jakarta (ANTARA News) - Anggota Fraksi Partai Golkar dari daerah pemilihan DKI Jakarta, Fayakhun Andriadi mengingatkan, dibandingkan dengan banyak negara lain di dunia, Indonesia sangat ketinggalan dalam sistem perlindungan dan jaminan sosialnya.

"Negara-negara kapitalis sekalipun, seperti di Benua Eropa dan Amerika Utara memiliki program jaminan sosial bagi masyarakat miskin," katanya di Jakarta, Minggu, menanggapi sangat terkatung-katungnya pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Bahkan, lanjutnya, dibanding dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, kita juga sangat tertinggal.

"Mereka semua sudah maju dalam perlindungan dan pemenuhan jaminan sosial bagi warganya," ungkap legislator yang kini tengah menuntaskan program studi doktornya di Universitas Indonesia (UI) ini.

Ia menunjuk Malaysia yang memiliki lembaga jaminan sosial `Employee Provident Fund` (EPF), dan telah menanggung sebanyak 12,5 juta pekerja.

Begitu pula Singapura, katanya, dengan institusi `Central Provident Fund` (CPF) terdiri dari 116 ribu pengusaha dan 1,8 juta pekerja.

Lalu, tuturnya, Thailand dengan lembaga jaminan `Social Security Office` (SSO)-nya, terdiri dari 391.869 pengusaha dan 9,45 juta pekerja.

"Bahkan Filipina dengan program `Social Security Scheme` (SSS) menanggung peserta sebanyak 8,9 juta tenaga kerja," ungkapnya.

Sementara Indonesia, demikian Fayakhun Andiradi, sesuai data yang diperolehnya, untuk kalangan pekerja di sektor formal saja, hanya menjamin keanggotaan sebanyak 8,5 juta buruh peserta aktif.

"Padahal jumlah pekerja (buruh) yang bekerja di sektor formal berjumlah 29 juta. Berarti hanya 30 persen yang hanya terjangkau oleh jaminan asuransi sosial," tandasnya.


Politik Pembiaran

Karena situasi di salah satu bidang yang menjadi `domain` Negara itulah, Fayakhun Andiradi menyatakan, benarlah apa kata banyak pakar serta peneliti, telah terjadi politik pembiaran atau `state neglect` di sini.

"Negara dan Pemerintah khususnya cenderung melakukan `state neglect` terhadap masyarakatnya yang rentan menghadapi gejolak sosial," ungkapnya.

Akibatnya, lanjutnya, masyarakat tak ubahnya seperti pemain sirkus yang melompat tanpa jejaring pengaman.

"Saat mereka jatuh, hancurlah semuanya. Begitulah masyarakat miskin yang bekerja di sektor informal di Jakarta maupun kota-kota besar lainnya," katanya.

Malah, menurutnya, mereka dibiarkan berjuang sendiri mengatasi setiap kesulitan hidupnya dengan perlindungan yang absen dari Pemerintah.

"Pemerintah hampir tidak dapat berbuat banyak untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Ini harus diperbaiki. Jika tidak, apa kerja Pemerintah kita," pungkas Fayakhun Andriadi.