Mataram (ANTARA News) - Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat berharap Mahkamah Agung dapat mempercepat sidang putusan kasasi atas Rahmat Hidayat, politisi PDIP terdakwa dugaan korupsi dana APBD 2003 yang divonis bebas dalam persidangan di Pengadilan Negeri Mataram 5 Mei lalu.

"Kami sudah daftarkan permohonan kasasi itu sejak 18 Mei dan masukkan memori kasasinya 30 Mei lalu. Harapannya, MA percepat sidang putusan kasasi itu, karena akan ada permohonan kasasi untuk perkara serupa dengan terdakwa Abdul Kaffi," kata Kasi Penkum dan Humas Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Barat (NTB) Sugiyanta, SH, di Mataram, Sabtu.

Ia mengatakan, pendaftaran permohonan kasasi dan penyerahan memori kasasi atas perkara Rahmat Hidayat itu dilakukan Kejati NTB melalui Pengadilan Negeri (PN) Mataram, sesuai prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku.

Hukum juga memberi ruang kepada terdakwa dan penasehat hukumnya untuk mengajukan memori kontra kasasi dalam tenggat waktu 14 hari setelah batasan waktu penyerahan memori kasasi.

"Berarti dari 30 Mei lalu ada waktu 28 hari bagi panitera PN Mataram untuk meneruskan memori kasasi berikut kontranya kepada Mahkamah Agung, yang berarti batasan waktunya akhir Juni mendatang," ujarnya.

Sugiyanta selaku tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara Rahmat Hidayat itu mengatakan, putusan bebas yang divonis majelis hakim PN Mataram, sangat mungkin didasarkan pada upaya para saksi yang mencabut pernyataannya dalam persidangan perkara dugaan korupsi dana APBD 2003 itu.

Dalam BAP (berita acara pemeriksaan) jaksa, saksi-saksi mengakui adanya PURT (Panitia Urusan Rumah Tangga) yang memicu terjadinya perbuatan merugikan negara. Namun, dalam persidangan mencabut sendiri pernyataan itu sehingga majelis hakim menyimpulkan tidak ada penerimaan yang bukan hak dewan.

Bahkan, kata Sugiyanta, mantan Ketua DPRD NTB yang juga mantan Gubernur NTB H. Lalu Serinata yang terjerat perkara serupa dan dipenjara tiga tahun setelah perkaranya berkekuatan hukum tetap, juga menyatakan tidak ada pembentukan PURT.

Rahmat Hidayat, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan asal NTB, divonis bebas dalam sidang perkara dugaan korupsi dana APBD NTB 2003, yang dipimpin langsung Ketua Pengadilan Negeri Mataram, H. Ali Makki, SH, MH, selaku Ketua Majelis Hakim, dibantu dua orang hakim anggota masing-masing Eddy, SH dan Jon Sarman Saragih, SH.

Rahmat Hidayat merupakan mantan Wakil Ketua DPRD NTB yang kini masih menjadi anggota DPR periode 2009-2014 dari Fraksi PDI Perjuangan.

Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan Rahmat Hidayat tidak terbukti bersalah sehingga dibebaskan dari segala tuntutan JPU.

Majelis hakim juga meminta rehabilitasi nama baik terdakwa dan mengembalikan semua barang bukti kepada JPU.

Putusan majelis hakim itu jauh dari tuntutan JPU yakni 3,5 tahun atau tiga tahun enam bulan penjara, dan denda sebesar Rp50 juta subsidier tiga bulan kurungan.

JPU juga menuntut mantan Wakil Ketua DPRD NTB itu untuk mengembalikan biaya pengganti kerugian negara sebesar Rp221,58 juta lebih.

Tuntutan itu mengacu kepada pasal 3 Undang Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, junto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Dalam tuntutannya JPU meminta majelis hakim untuk menghukum Rahmat Hidayat karena dalam persidangan terbukti turut serta dalam praktik penyalahgunaan dana APBD 2003 di DPRD NTB, bersama-sama Ketua DPRD NTB yang saat itu dijabat H. Lalu Serinata, yang perkaranya sudah memiliki kekuatan hukum tetap.

Semula Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTB Didiek Darmanto dan Sugiyanta optimistis, majelis hakim yang menangani perkara Rahmat Hidayat akan memvonis politisi PDI Perjuangan itu sesuai fakta-fakta persidangan.

Apalagi, adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung atau putusan Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung Indonesia yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Namun, pada kenyataannya Rahmat Hidayat yang dalam proses persidangan mengakui menerima sejumlah dana yang bukan penghasilan DPRD NTB saat itu, divonis bebas oleh majelis hakim.