Jakarta (ANTARA News) - Hakim Syariffudin, yang baru ditetapkan KPK sebagai tersangka atas dugaan penerimaan suap dari PT Skycamping Indonesia (SCI), meminta Indonesia Corruption Watch (ICW) mencermati pasal terkait pembebasan murni sebelum membuat pernyataan yang "menyerang" dirinya.

Syariffudin usai menjalani pemeriksaan di KPK, Jakarta, Selasa, meminta agar ICW maupun lembaga swada masyarakat (LSM) lainnya mencermati pasal 191 KUHAP ayat 1 yang menyebutkan bahwa perbuatan seorang terdakwa yang tidak terbukti bersalah, harus dibebaskan.

"Salahkah saya sebagai seorang hakim membebaskan seseorang," tegas hakim nonaktif ini.

Menurut dia, tidak semua seseorang yang berstatus terdakwa yang diajukan ke muka persidangan harus dihukum, karena jika terbukti tidak bersalah maka harus dilepas.

Atas pemberitaan yang bersumber dari ICW terkait data vonis bebas yang ia jatuhkan terhadap terdakwa, diharapkan tidak membuat para hakim lainnya merasa takut untuk menjatuhkan vonis bebas pada seorang terdakwa.

Karena itu ia pun merasa heran mengapa kasus dugaan suap dari kurator Puguh Wirawan menjadi berkembang ke masalah pembebasan Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin M Najamuddin.

Ia menegaskan bahwa keputusan memvonis bebas terhadap Agusrin berdasarkan bukti-bukti yang ada termasuk "compact disk" yang dapat menjadi bukti pembelaan bagi gubernur nonaktif tersebut.

Syariffudin yang baru saja dinonaktifkan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai hakim ini menjalani pemeriksaan sebagai saksi untuk pertama kalinya setelah ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Cipinang, usai penangkapannya pada Rabu malam (1/6) oleh KPK.

Di tempat berbeda, KPK juga menangkap kurator Puguh Wirawan yang diduga menyuap Syariffudin sebesar Rp250 juta.

Puguh pun menjalani pemeriksaan pertamanya sebagai saksi setelah ditahan di Rutan Polda Metro Jaya.

Jika KPK menjerat Syarifuddin dengan pasal 12 a atau b atau c pasal 6 ayat 2 atau pasal 5 ayat 2 dan atau pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001, maka lembaga antikorupsi menjerat Puguh dengan pasal 6 ayat 1 a dan atau pasal 5 ayat 1 huruf a atau b dan pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001.(*)