BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Jumat, 08 Juli 2011

Mengatasi Sisi Gelap Pertumbuhan dan Kemiskinan

INILAH.COM, Jakarta - Ada sisi gelap dan kontradiksi di balik klaim pemerintah bahwa pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen. Pasalnya, Badan Pusat Statistik melaporkan jumlah penduduk yang jatuh miskin per Maret 2011 mencapai 1,5 juta orang di tengah membaiknya pertumbuhan ekonomi itu.
Kaum miskin ini tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidup di atas garis kemiskinan sebesar Rp233.740 per kapita setiap bulan yang diperkirakan cukup untuk konsumsi 2.100 kalori per hari. Bank Dunia menentukan garis kemiskinan setara 2 dollar AS per hari atau Rp17.000, sementara pemerintah menggunakan garis kemiskinan yang setara dengan Rp7.000 per hari. Ini membuat penduduk yang di kelompok hampir miskin terus naik.
Menurut Sekretaris Utama BPS Suryamin, kelompok hampir miskin adalah orang- orang yang hidup dengan pendapatan di antara garis kemiskinan (Rp233.740 per kapita per bulan) dengan garis hampir miskin. Garis hampir miskin ditetapkan 20 persen lebih tinggi dari garis kemiskinan, atau setara Rp280.488 per kapita per bulan.
”Dengan demikian, jumlah penduduk hampir miskin per Maret 2011 mencapai 27,12 juta atau 11,28 persen dari jumlah penduduk. Berarti ada tambahan penduduk hampir miskin dibandingkan Maret 2010 yang mencapai 22,99 juta atau 9,88 persen dari jumlah penduduk,” ujarnya.
Sejauh ini, pelbagai kalangan berpendapat bahwa melonjaknya jumlah orang miskin berkaitan dengan perkembangan sektor riil yang semakin jauh dari harapan masyarakat. Pada sisi lain, keadaan politik semakin tidak menentu, oportunisme di kalangan politisi semakin tinggi dengan fenomena perpindahan partai, kinerja dewan, baik di pusat maupun di daerah, dikritisi tidak optimal. Sedangkan korupsi hampir dapat dipastikan semakin terinternalisasi menjadi budaya yang kokoh, baik di birokrasi, politik, maupun peradilan.
Maraknya berbagai penyimpangan dari tujuan-tujuan didirikannya negara di Indonesia, seperti meluasnya praktik korupsi, memburuknya kualitas pelayanan publik, penguasaan sumber daya alam oleh asing, melebarnya kesenjangan kaya dan miskin, serta tidak mampunya negara membuat dan menegakkan kebijakan yang melindungi masyarakatnya, jelas mengindikasikan bahwa sel-sel negara sudah tidak berfungsi sebagaimana seharusnya.
Kalangan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia juga menyatakan kerisauan atas situasi bangsa yang morat-marit dan kacau-balau dengan rusaknya tatanan bernegara dan berpolitik. Elite politik telah mengabaikan tuntutan dan masalah riil rakyat. Mereka justru memilih pragmatisme dan uang.
Situasi Indonesia yang demikian dinilai kalangan mahasiswa sangat berbahaya dan mempertaruhkan nasib negara. Harus diakui, kepemimpinan nasional yang lemah telah mendorong bangsa Indonesia kian terjebak dalam tumpukan berbagai masalah tanpa penyelesaian jelas.
Untuk mengatasi kemiskinan di tengah kompleksitas masalah tersebut di atas, peran kepemimpinan SBY sebagai presiden dan kepala negara/pemerintahan sangat vital dan menentukan.
‘’Pemerintah SBY harus habis-habisan berusaha dan bekerja untuk mengikis kemiskinan dalam melangkah ke depan, jika tidak, kita khawatir angka kemiskinan terus bertambah. Membasmi korupsi, membangun tata kelola pemerintahan yang baik, menata sistem politik dan membuat kebijakan yang tepat-guna dalam memberantas kemiskinan, menjadi suatu keharusan,’’ kata pengamat ekonomi Wijayanto MA yang juga Deputi Rektor Universitas Paramadina.

Tidak ada komentar: