Abdul Hakim MS - detikNews
Jakarta - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tak
henti-hentinya membuat sensasi. Dalam beberapa bulan terakhir, headline
media massa seolah tersedot habis untuk mengulas khusus partai
berlambang bulan kembar dua ini.
Sebagaimana diketahui, PKS
meraih perhatian amat besar dari media setelah mantan presidennya,
Luthfi Hasan Ishaaq, digelandang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terkait dugaan kasus suap atas skenario penambahan kuota impor daging
sapi di Kementrian Pertanian. Ditambah dengan bumbu deretan wanita
cantik yang terlibat didalamnya, kasus ini seperti tak bosan-bosan
dikonsumsi publik.
Kini, polemik kembali dihadirkan PKS. Namun
masalah yang muncul bukan lagi terkait Luthfi Hasan Ishaaq atau Ahmad
Fathanah, salah satu tersangka bersama Luthfi dalam kasus impor daging
sapi, melainkan berhubungan dengan rencana pemerintah menaikkan harga
bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dalam waktu dekat ini.
Meski
merupakan salah satu dari partai yang bergabung dalam koalisi pendukung
pemerintah, akan tetapi PKS dengan gencar melakukan penolakan terhadap
rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi melalui spanduk
yang dipasang diberbagai daerah. Ancaman pun dikeluarkan, yakni PKS akan
keluar dari koalisi jika harga BBM betul-betul dinaikkan.
Kecurigaan
Seandainya
sikap yang ditempuh PKS ini merupakan kebijakan dari partai seperti PDI
Perjuangan atau Partai Gerindra yang sedari awal sudah memposisikan
diri sebagai oposan pemerintah, mungkin perilaku PKS itu tak begitu
mengundang kecurigaan. Masalahnya, sikap ini dikeluarkan PKS yang
merupakan partai koalisi pemerintah sekaligus partai yang sedang ditimpa
prahara.
Banyak kalangan menengarai, upaya penolakan yang
dilakukan oleh PKS ini tak lebih hanya sebagai trik untuk mengembalikan
posisi PKS ke titik aman dalam menghadapi pemilu 2014. Karena
sebagaimana telah dilansir banyak lembaga survei, kasus yang menimpa
Luthfi Hasan Ishaaq telah memposisikan tingkat elektabilitas PKS di
titik nadhir. Dan tentu, langkah popular yang bisa ditempuh guna
menaikkan citra dalam waktu singkat adalah dengan cara “melawan”
kebijakan-kebijakan pemerintah seperti rencana kenaikan harga BBM
bersubsidi.
Namun sayang, track record PKS dalam upaya
mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah kurang begitu baik. Sebagai
contoh ancaman keluar dari koalisi misalnya. Tak hanya kali ini saja PKS
mengancam akan minggat dari koalisi. Dalam catatan penulis, setidaknya
lima kali cara ini pernah ditempuh. Namun alih-alih serius minggat,
ancaman keluar seolah hanya dijadikan alat tawar untuk bisa menggapai
tujuan jangka pendek semata.
Tentu kita masih ingat bagaimana
Presiden PKS, Anis Matta, akan mengancam tak akan lagi bergabung dengan
partai koalisi pendukung pemerintah setelah pemilihan umum legislatif
tahun 2009 silam. Kala itu, Anis Matta yang berposisi sebagai Sekjen PKS
melontarkan ancaman tidak ingin berkoalisi dengan SBY jika SBY tidak
memilih Hidayat Nur Wahid sebagai wakilnya dalam Pilpres 2009. Namun apa
kenyataannya, PKS tetap mengekor pemerintahan SBY-Budiono dalam KIB
Jilid II.
Setelah KIB jilid II terbentuk, dan PKS mengaku taat
dengan aturan koalisi, gertakan keluar dari koalisi juga kerap
diperdengarkan. Yang pertama muncul ketika akan ada rencana reshuffle
kabinet menjelang satu tahun usia KIB jilid II. PKS lagi-lagi mengaku
akan minggat jika jatah menterinya dikurangi. Maklum, ketika itu nama
tifatul Sembiring santer terdengar akan terdepak dari susunan menteri.
Gertakan itu juga mengiringi keinginan PKS untuk bisa mendapatkan jatah
empat dari tiga menteri yang sudah diperoleh PKS.
Sikap ambivalen
PKS lagi-lagi muncul dalam kasus skandal Bank Century. Di satu sisi,
PKS tetap duduk dalam barisan koalisi, sembari tetap mengkritik tajam
pemerintah. Hal yang sama juga pernah dilakukan kala pemerintah
menaikkan harga BBM setahun yang lalu. Sembari tetap duduk manis di
gerbong koalisi, PKS menuduh kebijakan Presiden SBY tak pro rakyat.
Yang
membuat publik kembali terhentak, tiba-tiba saat Luthfi Hasan Ishaaq
terjerat kasus suap, salah satu fungsionaris utama PKS, Fahri Hamzah,
ujug-ujug mengancam keluar dari koalisi. Menurutnya, prahara yang
menimpa PKS ini merupakan skenario besar untuk menjatuhkan citra
partainya. Meski pada ujungnya Dewan Syuro PKS tetap menyatakan
mendukung koalisi pemerintahan. Dan yang terakhir, gertakan kembali
muncul terkait rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi dalam
waktu dekat ini.
Dengan track record seperti tertuang di atas,
penolakan kenaikan harga BBM bersubsidi yang dilancarkan oleh PKS
melalui spanduk-spanduknya, sepertinya tak akan membawa banyak manfaat
untuk memperbaiki citranya. Ada baiknya, PKS sudah mulai melakukan upaya
yang lebih konkrit dalam membenahi internalnya pasca prahara. Mungkin
langkah PKS seperti kala masih bernama PK bisa diambil sebagai
alternatif, yakni di mana ada masyarakat membutuhkan bantuan, di situ
bendera PK berkibar paling pertama.
Ambivalen
Yang
menarik, kebijakan PKS ternyata tak menular kepada para menterinya yang
duduk di KIB Jilid II. Tifatul sembiring misalnya yang merupakan mantan
Presiden PKS, mengaku akan mendukung penuh dan mensosialisasikan dengan
baik rencana pemerintah dalam upaya mengangkat sedikit beban biaya
subsidi melalui kenaikan harga BBM.
Sebagaimana diketahui, alasan
utama pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi tak lepas dari beban
APBN yang makin membengkak. Komposisi subsidi yang ada di APBN sudah
cukup besar. Pada tahun 2012 saja, misalnya, subsidi BBM —baik yang
dikonsumsi langsung oleh kendaraan maupun digunakan oleh Perusahaan
Listrik Negara (PLN)—sudah menembus angka Rp 300 triliun. Hal itu
berarti subsidi BBM telah memakan porsi 20 persen dari volume APBN
sebesar Rp 1.500 triliun. Persentasi itu sudah sama dengan anggaran
pendidikan kita.
Pada tahun 2013, alokasi subsidi BBM
diperkirakan akan meningkat mencapai Rp 320 triliun dari jumlah APBN
sebesar Rp 1.600 triliun. Jika tidak segera dicarikan solusi, mungkin
tahun 2014 beban subsidi bisa saja berada diangka Rp 400 triliun.
Sebagai
upaya meringankan masyarakat, pemerintah berencana kenaikan BBM
nantinya akan dibarengi dengan kompensasi melalui empat saluran, yakni
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Bantuan Siswa Miskin
(BSM), Program Keluarga Harapan (PKH), dan penyediaan Beras Miskin
(Raskin).
Kembali ke PKS, merujuk kondisi di atas, jika ingin
mengembalikan citranya, ada baiknya perilaku politik PKS diubah dengan
saluran yang lebih elegan. Ancam-mengancam yang tak pernah terealisasi
hanya memberikan pendidikan politik yang buruk terhadap masyarakat.
Saatnya politik kita diisi dengan perilaku cerdas dan sehat agar
masyarakat kembali simpati terhadap partai politik kita. Jangan lagi
bersikap ambivalen. Jika ingin berada di jalur koalisi, tentu harus
mendukung pemerintah. Namun jika tidak, lebih bijak jikalau PKS menarik
tiga menterinya saat ini yang sedang bertugas di KIB Jilid II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar