Jakarta (ANTARA News) - Rumah tangga di Indonesia perlu memangkas pos konsumsi rokok jika biaya pengeluaran transportasi naik akibat kenaikan harga bahan bakar minyak, demikian dikatakan Ketua Umum Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi.

"Jika pengeluaran (rumah tangga) bertambah, tapi pendapatan tidak bertambah, konsumen perlu mengubah pola konsumsi di pos-pos pengeluaran seperti rokok," kata Tulus ketika dihubungi ANTARA News di Jakarta, Selasa.

Tulus mengatakan hampir semua rumah tangga di Indonesia memiliki anggota keluarga yang perokok dengan nilai konsumsi sekitar Rp300 ribu hingga Rp600 ribu per bulan.

"Misalnya, seorang ayah yang perokok dengan konsumsi minimal satu bungkus per hari seharga Rp10 ribu hingga Rp20 ribu. Angka itu besar sekali dalam satu bulan," kata Tulus.

Tulus merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 2006 yang menunjukkan persentase konsumsi beras rumah tangga sebesar 19 persen per bulan dari total pengeluaran. Sedangkan persentase konsumsi rokok mencapai 12,4 persen atau lebih tinggi dari belanja lauk-pauk, pendidikan, dan kesehatan.

Konsumsi rokok di satu rumah tangga, menurut Tulus, dapat dialihkan untuk belanja kebutuhan pokok, belanja transportasi, atau belanja telekomunikasi.

"Pos-pos pengeluaran lain yang bisa dikurangi sebagai dampak kenaikan biaya transportasi adalah pos telekomunikasi, misal sebulan Rp300 ribu menjadi Rp250 ribu atau Rp200 ribu," ujar Tulus.

Tulus menambahkan tarif telekomunikasi di Indonesia termasuk paling tinggi di dunia sehingga Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) diminta tidak memberikan rekomendasi kenaikan tarif telekomunikasi sebagai imbas kenaikan harga BBM.