Jakarta (ANTARA News) - Kalangan `tukang` ojek di Jakarta mengaku pasrah jika harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dinaikkan oleh pemerintah.

"Kami sebagai rakyat kecil hanya bisa pasrah. Kalau BBM dinaikkan, kami tinggal menaikkan ongkos ojek saja," kata Herdi Nusa (48), warga Kuningan, Jakarta Selatan, kepada Antara, Senin malam.

Sambil berkendara di atas sepeda motor `butut` miliknya itu dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat menuju Hotel Atlet Century Park, ayah tiga anak ini bercerita, bahwa selama beberapa tahun ini, kalaupun harga BBM tidak naik, namun yang namanya rokok tetap saja naik harganya.

"Padahal itu `racun` yang dihisap jutaan masyarakat di mana pun. Makin naik harganya, rokok malah makin laris. Terus kalau harga BBM dinaikkan, kenapa harus `sewot`," katanya.

Menurut dia, rakyat kecil memang sangat menyayangkan rencana penaikan harga BBM bersubsidi oleh pemerintah, namun bukan harus melakukan aksi-aksi anarki.

"Saya nggak tahu, yang menggelar aksi unjuk rasa itu siapa, tapi yang jelas kami kalangan tukang ojek tidak begitu mempedulikan kenaikan harga BBM," katanya.

Namun Herdi mengharapkan, kenaikan harga BBM bersubsidi sebaiknya dilakukan secara berlahan hingga di kemudian hari dihapuskan subsidinya.

"Tapi harus ada solusi tentang masalah rakyat lainnya. Seperti janji pemerintah untuk memberikan pendidikan dan kesehatan gratis untuk rakyat," katanya.

Keseharian, Herdi mengakui selain mejadi tukang ojek, dia juga berprofesi sebagai guru les piano dan orgen tunggal.

"Awalnya murid saya ada lima orang, tapi sekarang tinggal dua orang. Satu orang murid membayar Rp700 ribu per bulan untuk delapan kali pertemuan," katanya.

Dia mengakui, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, tidak cukup hanya bekerja sebagai tukang ojek saja, terlebih tingkat kebutuhan hidup di Jakarta yang begitu besar.

"Kalau hanya menjadi tukang ojek saja, mana cukup untuk membiayai makan dan sekolah tiga orang anak saya. Satu bulan, dari `ngojek` saya paling besar dapat uang Rp800 ribu sampai Rp1 juta," katanya.

Sementara, kebutuhan keluarga satu bulan mau lebih Rp3 juta, bahkan untuk menutupi kekurangan, dia harus `gali lobang tutup lobang`.  (FZR/KWR)