Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) memutuskan Suhartoyo
menjadi hakim konstitusi dan menggusur hakim konstitusi inkumben Ahmad
Fadlil Sumadi. Komisi Yudisial (KY) protes keras dan meminta Presiden
Joko Widodo (Jokowi) tak melantik Suhartoyo karena KY mempunyai rekam
jejak negatif di sisa tapak Suhartoyo.
"Sebagai sesama lembaga
negara, antara MA dan KY sebaiknya saling menghormati sesuai kewenangan
masing-masing," kata Wakil Ketua MA Suwardi kepada detikcom, Minggu
(7/12/2014).
Adu kuat dua lembaga tinggi negara itu bukan pertama
kali ini terjadi. Hampir satu dasawarsa lalu, mereka telah berseteru
yaitu pada 2006. Saat itu, KY akan mengocok ulang komposisi 49 hakim
agung. Alasannya, banyak yang menuding MA sebagai lembaga terkorup,
seperti dari DPR hingga pengamat hukum tata negara Denny Indrayana yang
belakangan menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM.
Perseteruan itu
terekam jelas oleh Ketua MA Harifin Tumpa. Saat itu ia sedang
melaksanakan wukuf di Arafah. Tiba-tiba ponsel Harifin berdering dan
menampilkan sebuah pesan pendek dari Ketua Muda Bidang Pidana Khusus,
Djoko Sarwoko yang berbunyi 'KY akan melakukan kocok ulang hakim
agung dan kelihatannya mendapat sinyal dari Presiden. Hanya Tuhanlah
yang mungkin menghentikan langkah tersebut. Kiranya Pak Harifin berdoa
di Tanah Suci'. Belakangan, Harifin membuka diri bahwa ia sangat terpukul dengan dan luka mendalam akan hal itu.
"Ada
yang tadinya merendahkan MA ternyata tersangkut kasus korupsi dan
ditangkap KPK. Orang yang tidak percaya MA ternyata punya kepentingan
perkara di MA," kata Harifin dalam bukunya, 'Pemukul Palu dari Delta
Sungai Walanea'.
Perseteruan tersebut tidak hanya perang urat
syaraf, namun sampai tingkat kepolisian. MA mempolisikan pimpinan KY,
Suparman Marzuki pada Senin Juli 2011 dengan tuduhan melakukan
penghinaan kepada MA. Mendapati ancaman pidana ini, Suparman langsung
angkat bendera putih. Alhasil, MA pun mencabut laporannya.
Setelah
itu, mereka kembali berseteru saat KY yang merekomendasikan hakim kasus
Antasari Azhar untuk diberikan skorsing selama 6 bulan. Namun, MA
menolak tegas karena KY telah mencampuri wilayah yudisial dan
kemandirian hakim. Sebagai balasannya, MA menghapus perjanjian bersama
soal kode etik KY pada 2012, sepekan sebelum MA menolak peninjauan
kembali (PK) Antasari Azhar. Belakangan, ketua majelis yang
direkomendasikan KY untuk diskorsing di kasus itu kini menjadi Dirjen
Badan Peradilan Umum
Di kasus pemalsuan putusan PK gembong narkoba Hengky Gunawan, KY juga
dibuat tidak berkutik. Tidak ada satu hakim agung pun yang tersentuh KY
di kasus itu. Adapun hakim agung Ahmad Yamani dilengserkan atas usulan
MA, bukan KY. Apakah Yamani bermain sendiri? Hingga kini KY tidak bisa
membuka kotak pandora itu.
Adu kuat dua lembaga kembali memuncak
saat KY merekomendasikan pemecatan Daming Sanusi. Hakim yang kini
menjadi Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Semarang itu direkomendasikan
dipecat karena pernyataannya yang dinilai merendahkan korban perkosaan
di depan anggota DPR dalam seleksi hakim agung. Lagi-lagi KY kalah kuat
dan Daming tetap duduk manis di kursinya.
Terakhir, KY memprotes
keras pengangkatan Suhartoyo menjadi hakim konstitusi. KY meyakini
Suhartoyo memiliki bercak-bercak rekam jejak Suhartoyo dalam kasus
lepasnya koruptor kelas wahid. Tapi hingga kini, KY belum bisa
membuktikan keyakinannya.
Lantas, siapakah kali ini yang akan menang? MA atau KY?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar