YOHAN WAHYU
Hambatan struktur dan kultur menjadikan korupsi tidak mudah diberantas. Pada sisi struktur, institusi hukum yang seharusnya menjadi ujung tombak pemberantasan justru paling banyak dicurigai terlibat dalam praktik korupsi. Dari sisi kultur, kesadaran kolektif terhadap pemberantasan korupsi belum menyentuh pada perilaku sehari-hari.
Pemberantasan korupsi yang menjadi salah satu cita-cita utama gerakan reformasi sejak 1998 menjadi agenda yang berjalan tanpa ujung. Berbagai perangkat hukum dikeluarkan untuk mendukung gerakan menumpas korupsi, termasuk dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, korupsi—yang dikhawatirkan Bung Hatta akan menjadi budaya bangsa ini—semakin tidak mudah dikendalikan.
Sulitnya praktik korupsi dibasmi dapat dibaca dari semakin tingginya kasus-kasus korupsi muncul di hadapan publik. Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, pada semester II (Juli-Desember 2010) terjadi peningkatan jumlah kasus korupsi yang masuk penanganan penegak hukum, menjadi 272 kasus. Sebelumnya pada semester I (Januari-Juni 2010) jumlah kasus korupsi mencapai 176 kasus.
Sinyalemen itu turut memengaruhi penilaian publik, sebagaimana terpotret dari sikap 77,7 persen responden dalam jajak pendapat kali ini yang menyebut praktik korupsi di negeri ini semakin parah jika dibandingkan dengan era sebelum reformasi. Tentu, hal itu menjadi ironi ketika era reformasi dimaknai sebagai antitesis dari kekuasaan Orde Baru yang korup. Tidak heran jika kemudian korupsi menjadi ancaman bagi bangunan demokrasi yang tengah ditegakkan di negeri ini.
Problem lain yang terekam dari jajak pendapat ini adalah kenyataan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara relatif rendah. Sebanyak 80,9 persen responden menilai tidak ada lembaga negara ataupun aparatnya yang bebas dari praktik korupsi.
Penanganan kasus korupsi pun dinilai publik masih tebang pilih. Hampir semua responden (91,5 persen) menilai terjadi diskriminasi perlakuan antara pelaku korupsi yang melibatkan masyarakat kecil dan pelaku korupsi di kalangan pejabat publik.
Hal sama juga terjadi pada kasus-kasus korupsi yang melibatkan elite politik, yakni kasus korupsi yang melibatkan politikus dari partai politik bukan pendukung pemerintah dengan politikus dari partai politik pendukung pemerintah. Hal demikian turut memicu ketidakpuasan publik (86,9 persen) terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi.
Selain problem struktur, problem kultur juga menjadi tantangan berat bagi upaya pemberantasan korupsi. Setidaknya, tertangkap dari pengakuan sejumlah responden yang pernah terlibat dalam urusan suap-menyuap untuk pengurusan administrasi pemerintahan, seperti KTP, KK, SIM, dan lainnya serta pemberian uang ”damai” saat terkena tilang di jalan.
Tragisnya, hampir sepertiga (29,3 persen) dari responden tersebut menilai hal itu tidak termasuk korupsi. Padahal, praktik tersebut, diakui atau tidak, masuk kategori korupsi karena memicu terjadinya kebocoran keuangan negara.
Makna korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, korupsi adalah tindakan setiap orang yang melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Merugikan keuangan negara menjadi kata kunci dari makna korupsi di Indonesia.
Pemahaman seperti itulah yang dipahami sebagian (30,3 persen) responden jajak pendapat ini. Namun, sesungguhnya cukup banyak yang memahami dalam pengertian yang lebih luas, sebagaimana disampaikan oleh sekitar 36,8 persen responden, yang memahami praktik korupsi sebagai tindakan atau perilaku yang merugikan kepentingan umum. Sayangnya, hanya sedikit yang memaknai korupsi sebagai pelanggaran norma kepatutan umum dan moral.
Pemaknaan korupsi yang demikian, menurut dosen Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, B Herry-Priyono, disebut terlalu ekonomistik yang melemahkan pemberantasan korupsi.
Dalam Seminar Nasional Kompas pekan lalu, Herry menyebut pintu masuk pengejaran selalu para pejabat negara sehingga tidak mampu menjerat praktik-praktik korupsi yang sering kali tidak dilakukan pejabat negara.
Sebagai ilustrasi Herry menyebut seorang petaruh yang menyuap kiper pertandingan sepak bola agar timnya kalah bisa saja bukan pejabat negara, namun apa yang dilakukan adalah korupsi. Singkat kata, korupsi bukan hanya perkara pencurian uang negara.
Problem struktur dan kultur menjadi bagian penting untuk memetakan penanganan korupsi di negeri ini. Dalam konteks struktur, negara harus berperan aktif membersihkan institusinya dari cengkeraman korupsi demi terwujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Namun, pencegahan dan pemberantasan korupsi di tingkat struktur juga harus diimbangi pada level kultural. Pendidikan antikorupsi harus menjadi bagian penting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.(LITBANG KOMPAS)http://id.news.yahoo.com/kmps/20110228/tpl-kesadaran-kolektif-yang-koruptif-81d2141.html
Hambatan struktur dan kultur menjadikan korupsi tidak mudah diberantas. Pada sisi struktur, institusi hukum yang seharusnya menjadi ujung tombak pemberantasan justru paling banyak dicurigai terlibat dalam praktik korupsi. Dari sisi kultur, kesadaran kolektif terhadap pemberantasan korupsi belum menyentuh pada perilaku sehari-hari.
Pemberantasan korupsi yang menjadi salah satu cita-cita utama gerakan reformasi sejak 1998 menjadi agenda yang berjalan tanpa ujung. Berbagai perangkat hukum dikeluarkan untuk mendukung gerakan menumpas korupsi, termasuk dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, korupsi—yang dikhawatirkan Bung Hatta akan menjadi budaya bangsa ini—semakin tidak mudah dikendalikan.
Sulitnya praktik korupsi dibasmi dapat dibaca dari semakin tingginya kasus-kasus korupsi muncul di hadapan publik. Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, pada semester II (Juli-Desember 2010) terjadi peningkatan jumlah kasus korupsi yang masuk penanganan penegak hukum, menjadi 272 kasus. Sebelumnya pada semester I (Januari-Juni 2010) jumlah kasus korupsi mencapai 176 kasus.
Sinyalemen itu turut memengaruhi penilaian publik, sebagaimana terpotret dari sikap 77,7 persen responden dalam jajak pendapat kali ini yang menyebut praktik korupsi di negeri ini semakin parah jika dibandingkan dengan era sebelum reformasi. Tentu, hal itu menjadi ironi ketika era reformasi dimaknai sebagai antitesis dari kekuasaan Orde Baru yang korup. Tidak heran jika kemudian korupsi menjadi ancaman bagi bangunan demokrasi yang tengah ditegakkan di negeri ini.
Problem lain yang terekam dari jajak pendapat ini adalah kenyataan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara relatif rendah. Sebanyak 80,9 persen responden menilai tidak ada lembaga negara ataupun aparatnya yang bebas dari praktik korupsi.
Penanganan kasus korupsi pun dinilai publik masih tebang pilih. Hampir semua responden (91,5 persen) menilai terjadi diskriminasi perlakuan antara pelaku korupsi yang melibatkan masyarakat kecil dan pelaku korupsi di kalangan pejabat publik.
Hal sama juga terjadi pada kasus-kasus korupsi yang melibatkan elite politik, yakni kasus korupsi yang melibatkan politikus dari partai politik bukan pendukung pemerintah dengan politikus dari partai politik pendukung pemerintah. Hal demikian turut memicu ketidakpuasan publik (86,9 persen) terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi.
Selain problem struktur, problem kultur juga menjadi tantangan berat bagi upaya pemberantasan korupsi. Setidaknya, tertangkap dari pengakuan sejumlah responden yang pernah terlibat dalam urusan suap-menyuap untuk pengurusan administrasi pemerintahan, seperti KTP, KK, SIM, dan lainnya serta pemberian uang ”damai” saat terkena tilang di jalan.
Tragisnya, hampir sepertiga (29,3 persen) dari responden tersebut menilai hal itu tidak termasuk korupsi. Padahal, praktik tersebut, diakui atau tidak, masuk kategori korupsi karena memicu terjadinya kebocoran keuangan negara.
Makna korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, korupsi adalah tindakan setiap orang yang melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Merugikan keuangan negara menjadi kata kunci dari makna korupsi di Indonesia.
Pemahaman seperti itulah yang dipahami sebagian (30,3 persen) responden jajak pendapat ini. Namun, sesungguhnya cukup banyak yang memahami dalam pengertian yang lebih luas, sebagaimana disampaikan oleh sekitar 36,8 persen responden, yang memahami praktik korupsi sebagai tindakan atau perilaku yang merugikan kepentingan umum. Sayangnya, hanya sedikit yang memaknai korupsi sebagai pelanggaran norma kepatutan umum dan moral.
Pemaknaan korupsi yang demikian, menurut dosen Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, B Herry-Priyono, disebut terlalu ekonomistik yang melemahkan pemberantasan korupsi.
Dalam Seminar Nasional Kompas pekan lalu, Herry menyebut pintu masuk pengejaran selalu para pejabat negara sehingga tidak mampu menjerat praktik-praktik korupsi yang sering kali tidak dilakukan pejabat negara.
Sebagai ilustrasi Herry menyebut seorang petaruh yang menyuap kiper pertandingan sepak bola agar timnya kalah bisa saja bukan pejabat negara, namun apa yang dilakukan adalah korupsi. Singkat kata, korupsi bukan hanya perkara pencurian uang negara.
Problem struktur dan kultur menjadi bagian penting untuk memetakan penanganan korupsi di negeri ini. Dalam konteks struktur, negara harus berperan aktif membersihkan institusinya dari cengkeraman korupsi demi terwujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Namun, pencegahan dan pemberantasan korupsi di tingkat struktur juga harus diimbangi pada level kultural. Pendidikan antikorupsi harus menjadi bagian penting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.(LITBANG KOMPAS)http://id.news.yahoo.com/kmps/20110228/tpl-kesadaran-kolektif-yang-koruptif-81d2141.html