VIVAnews - Hari ini, Minggu 17 November 2013, Mahkamah Tinggi Kota Bharu Malaysia, kembali menggelar sidang dengan agenda pembacaan putusan sela terhadap kasus Wilfrida Soik. Tuntutannya, pelanggaran terhadap pasal 302 Penal code Malaysia dengan hukuman mati.
Berdasarkan siaran pers Migrant CARE yang diterima VIVAnews, Minggu 17 November 2013, dijelaskan bahwa sidang ini merupakan realisasi dari agenda sidang sebelumnya yang tertunda. Sedianya vonis akan dibacakan pada 30 September 2013.
Wilfrida Soik adalah pembantu rumah tangga (PRT) migran asal Kolo Ulun, Fatu Rika, Raimanuk, Belu NTT, yang tengah menghadapi ancaman hukuman mati atas tuduhan pembunuhan terhadap majikannya, Yeap Seok Pen (60 tahun).
Pada 7 Desember 2010, Wilfrida ditangkap polisi Daerah Pasir Mas di sekitar kampung Chabang Empat, Tok Uban, Kelantan. Ia dituduh melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap majikan yang dijaganya, seorang perempuan tua Yeap Seok Pen.
Wilfrida terancam hukuman mati atas dakwaan pembunuhan dan melanggar pasal 302 Penal Code (Kanun Keseksaan) Malaysia dengan hukuman maksimal hukuman mati.
Menurut penuturan Wilfrida Soik, peristiwa yang terjadi pada 7 Desember 2010 lalu adalah upaya membela diri dari tindakan kekerasan majikannya (Yeap Seok Pen) dengan melawan dan mendorongnya hingga jatuh dan berakhir dengan kematian majikannya. Selama dua bulan bekerja, Wilfrida sering menerima amarah dan pukulan bertubi-tubi.
Wilfrida diberangkatkan ke Malaysia pada 23 Oktober 2010 melalui jalur Jakarta-Batam-Johor Bahru-Kelantan. Dari Johor Bahru, Wilfrida Soik dibawa langsung ke Kota Bharu, Kelantan.
Pada saat diberangkatkan, umur Wilfrida baru 17 tahun. Namun, pihak yang memberangkatkan memalsukan umur Wilfirda menjadi 21 tahun.
Dalam paspor, tanggal lahir Wilfrida 8 Juni 1989. Padahal, berdasarkan surat baptis yang dikeluarkan Gereja Katolik Paroki Roh Kudus Kolo Ulun, Fatu Rika, Kecamatan Raimanuk, Belu, menyebutkan Wilfrida dilahirkan 12 Oktober 1993.
Dalam posisi ini sebenarnya Wilfrida adalah korban sindikat perdagangan manusia. Pihak-pihak yang diduga terlibat dalam sindikat ini adalah PT Mitra Sinergi (yang melakukan perekrutan terhadap Wilfrida). Sedangkan rekanan Malaysia yang diduga terlibat adalah Agensi Pekerjaan (AP) Master Sdn. Bhd dan AP Sentosa Sdn Bhd yang sering memanfaatkan penggunaan JP (job Performance) visa untuk perekrutan ilegal.
Sejak 7 Desember 2010, Wilfrida menjalani masa penahanan di Penjara Pengkalan Chepa, Kota Bharu, Kelantan. Wilfrida telah menjalani beberapa kali persidangan di Mahkamah Tinggi Kota Bahru.
Sidang pertama dilakukan pada 20 Februari 2011. Beberapa sidang yang telah dijalani: 24-27 Maret 2013, 24 Juni 2013, 5 Agustus 2013, 26 Agustus 2013, dan 30 september 2013. KBRI Kuala Lumpur menunjuk pengacara dari kantor pengacara Raftfizi & Rao untuk membela Wilfrida.
Secara kronologi, Wilfrida adalah anak di bawah umur yang menjadi korban sindikat trafficking melibatkan dua negara dengan modus penipuan, pemalsuan dokumen dan penempatan PRT migran saat Indonesia sedang moratorium pengiriman PRT Migran ke Malaysia.
Bukti keterangan baptis Wilfrida yang menerangkan umur yang sesungguhnya saat berangkat ke Malaysia merupakan peluang bisa dibebaskannya Wilfrida dari hukuman mati.
Baik Pemerintah Malaysia dan Indonesia, keduanya telah meratifikasi Konvensi PBB tentang perlindungan hak-hak anak. Dan berlandaskan pada prinsip-prinsip perlindungan anak yang terkandung dalam konvensi tersebut, Pemerintah Indonesia pernah berhasil membebaskan dua PRT migran Indonesia, yakni Siti Aminah (tahun 2005) dan Fitria (tahun 2012) dari ancaman hukuman mati di Singapura karena keduanya terbukti masih di bawah umur.
Menghadapi sidang pembacaan vonis putusan sela terhadap kasus Wilfrida yang akan di gelar di Mahkamah Tinggi Kota Bharu pada Minggu 17 November 2013, Migrant CARE menyerukan:
1. Mendesak Mahkamah Tinggi Kota Bahru Malaysia untuk membebaskan Wilfrida Soik dari hukuman mati.
2. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia menyelidiki dugaan keterlibatan sindikat perdagangan manusia lintas negara yang melakukan perekrutan terhadap Wilfrida Soik.
3. Menyerukan kepada pemerintah Malaysia dan Indonesia (di mana keduanya merupakan anggota UN Human Rights Council) untuk menghentikan praktik pemidanaan dengan metode hukuman mati karena merupakan pelanggaran HAM. (one)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar