Berburu Koruptor, Mengejar Uang Atau Orang?
Siti Zulaikha
Jakarta (ANTARA News) - Mirip adegan sinetron, perburuan koruptor dewasa ini tampak begitu dramatik. Komisi Pemberantasan Korupsi mempertontonkan agresivitas tinggi dalam menangkapi para pencuri uang negara.Media juga turut membuntuti dan merekam beragam adegan penangkapan basah transaksi suap, penggeledahan serta penyadapan alat komunikasi.
Maka masyarakat bisa saksikan di layar kaca, drama penggrebekan beberapa anggota dewan, hakim dan para pejabat. Komunikasi menggelikan antar mafia hukum dalam merekayasa perkara juga dapat anda nikmati dari hasil penyadapan KPK.
Kalau kebetulan melewati Jalan Rasuna Said Jakarta Selatan --di mana KPK berkantor-- akan didapati para pejabat, pimpinan proyek hingga makelar lalu-lalang dipanggili penyidik KPK.
Untuk sebuah tontonan, kerja KPK sangat memuaskan. Menghadirkan ketegangan, seru dan haru-biru tangis para koruptor di kursi pesakitan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Tapi seberapa besar uang negara yang dapat diselamatkan dari semua adegan drama itu?
Jangan biarkan para LSM antikorupsi menilai, kerja KPK hanya indah pada tayangan media, namun minim hasil dari hitungan penyelamatan uang negara. Tapi tak boleh luput dinilai pula, sosok KPK yang garang mampu membangun iklim takut korupsi.
Drama Penangkapan
Cerita berseri perburuan koruptor berhasil diproduksi. Mulai dari skenario penyadapan percakapan telepon para terduga korupsi. Lalu mengintai dan membuntutinya. Kemudian menyergap dan menangkap basah saat terjadi transaksi yang dapat digolongkan sebagai korupsi.
Dari album penangkapan koruptor tercatat beberapa seri yang menghebohkan. Penggrebekan anggota DPR Al Amin Nur Nasution, adalah salah satunya. Peristiwanya terjadi di Hotel Ritz Carlton pada Selasa dini hari 8 April 2008.
Anggota Fraksi PPP itu ditangkap personel KPK dengan bantuan Brimob Mabes Polri di lorong "toilet" kafe saat menerima suap dari Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Azirwan. Petugas KPK menemukan uang sejumlah Rp 4 juta di tangan Al Amin plus kurang lebih Rp 67 juta di dalam mobilnya.
Belakangan diketahui, KPK juga menemukan uang senilai 33 ribu dolar Singapura di kamar 505 Apartemen Oakwood, tempat Azirwan menginap. Konon, suap ini untuk memuluskan izin pengalihan lahan hutan lindung di kabupaten Bintan. Setelah diringkus, Amin dan Azirwan serta 3 rekannya digelandang ke KPK pukul 4 dini hari.
Lalu, bagaimana cerita seorang hakim yang ditangkap KPK di pinggir sungai? Tentu seru dan memprihatinkan, sekaligus. Seru karena lokasi adegan penangkapan "outdoor". Memprihatinkan, sebab seorang penegak hukum yang mengalaminya.
Transaksi suap antara hakim PTUN dengan pengacara dalam perkara sengketa tanah PT Sabar Ganda dengan Pemprov DKI Jakarta dan Kantor Badan Pertanahan Nasional.
Berdasarkan pengakuan penyelidik KPK HN Christian di hadapan sidang Pengadilan Tipikor, penyelidikan terhadap kasus Ibrahim dimulai pada 29 Maret 2010. Berselang sehari berikutnya, mereka bersama tim pengintai mengawasi aktivitas Ibrahim.
Hari itu, pengintaian terhadap Ibrahim dimulai pukul 08.00 WIB di kantor PT TUN, Jalan Cikini Raya Jakarta Pusat. Kemudian sekitar pukul 10.00 WIB, tim membuntuti dua mobil yang ditumpangi terdakwa yaitu Innova berwarna hitam bernopol B 1750 KI yang dikemudikan sopirnya Mursalim. Sedangkan pengacara PT Sabar Ganda, Adner Sirait menumpang Honda Jazz B 2922 BO.
Kedua mobil, berhenti di Jalan Mardani Raya tepat di depan gedung SMP. Di lokasi itulah, terlihat saksi Adner menyerahkan bungkusan plastik hitam kepada terdakwa.
"Setelah tahu bungkusan adalah uang, kami segera mengejar mobil Honda Jazz," beber Christian.
Bungkusan ternyata berisi uang Rp300 juta. Yang terdiri atas pecahan Rp50 ribu (4200 lembar) dan Rp100 ribu (900 lembar).
Yang lebih sensasional, KPK menangkap seorang anggota Dewan di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta kala senja hari saat pengunjung sedang ramai.
Masih ingat Bulyan Royan? Anggota DPR dari Fraksi PBR yang dirungkus di Plaza Senayan saat tertangkap tangan menerima uang 60.000 dolar AS dan 10.000 euro. Uang tersebut merupakan suap dari 5 perusahaan yang tengah mengikuti tender proyek pengadaan kapal patroli Ditjen Perhubungan Laut, Dephub.
Tak berhenti di situ, KPK juga rajin melakukan aksi penggrebekan ke kantor hingga tempat tinggal para tersangka korupsi. Juga, menyadap komunikasi Anggodo Widjojo yang merancang sebuah konspirasi untuk mengkriminalisasi para petinggi KPK.
Rekaman ini lantas menghebohkan publik saat diperdengarkan sebagai alat bukti dalam sidang uji materi terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi pada 3 November 2009 silam.
Roy BB Janis yang pernah masuk dalam bursa bakal calon ketua KPK menyayangkan gaya kerja KPK.
"Sepak terjang KPK dalam pemberantasan korupsi terkesan `high profile` namun `low profit`," kata Roy.
Serangan Balik
"Keberingasan" KPK menghajar dan mempermalukan para koruptor berbuah dendam membahana. Satu per satu pimpinan KPK dihabisi dalam suatu konspirasi tingkat tinggi. Konspirasi yang terbangun antar korban, pihak terancam dan bahkan aparat menegak hukum yang memposisikan KPK sebagai rival.
Maka, pendekar yang menghunus pedang membabati para koruptor Antasari Azhar akhirnya tumbang oleh aksi "balas dendam" itu. Mantan ketua KPK ini ditangkap atas tuduhan pembunuhan bos PT Putra Rajawali Banjaran, Nasruddin Zulkarnaen. Meski tampak ganjil, tapi tetap saja Antarasi dituntut hukuman mati dan lalu divonis 18 tahun penjara.
Pimpinan KPK Samad Bibit Riyanto dan Chandra M Hamzah menjadi sasaran tembak berikutnya. Mereka tetap diseret-seret ke meja hijau meski sebuah persekongkolan yang merekayasa kasusnya telah terungkap.
Bukti percakapan antara mafia hukum Anggodo Widjojo dengan pengacaranya tak kuasa menghentikan proses peradilan atas keduanya.
Iklim Takut Korupsi
Sepak terjang KPK tak ayal cukup meringsutkan nyali para penggasak uang negara. Setidaknya dalam 5 tahun terakhir, mulai tercipta iklim takut korupsi.
Itu juga, yang diakui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi ke-5 pada awal Desember ini di Jakarta.
"Kalau dilakukan survei, iklim takut korupsi makin menguat, makin terbangun," ujar Presiden.
Meski demikian, presiden mengakui pihaknya harus jujur bahwa masih ada saja orang yang curi-curi dan berpikir siapa tahu tidak ketahuan.
"Tapi kita rasakan bahwa tidak semerdeka dulu dalam melakukan korupsi," ungkapnya.
Untuk menghalau aksi nekad para koruptor presiden menegaskan bahwa pemerintah tengah menghunus pedang dalam melawan korupsi. Sejak tahun 2005 pemberantasan korupsi dilakukan secara agresif.
Baru-baru ini presiden mengaku telah menandatangani izin pemeriksaan terhadap 155 pejabat Negara yang terindikasi korupsi. Angka ini belum termasuk tujuh gubernur dan 20 bupati yang sedang diproses oleh KPK.
Sementara dari hasil pengembalian uang Negara, Wakil Ketua KPK Muhammad Yasin mengungkapkan bahwa di tahun ini KPK memperoleh uang tunai Rp210 miliar. Sedangkan biaya operasional KPK mencapai sekitar Rp250 miliar. Namun demikian, M. Yasin enggan dikatakan KPK merugi.
"Kami kan bukan lembaga yang `profit oriented`. Jadi tidak bisa dinilai kalkulatif begitu," belanya.
Lagipula, tambahnya, asset negara yang dapat diselamatkan dari upaya pencegahan bernilai triliunan rupiah.
Jika semata menilik biaya operasional KPK, memang bukan angka yang kecil. Apalagi ketika dibandingkan dengan perolehan pengembalian uang tunai yang dihasilkan.
Tapi apakah cukup fair menilai kinerja KPK dari hasil pengembalian uang belaka? Bagaimana dengan gebrakan KPK yang menimbulkan efek jera dan malu sehingga mampu menekan perilaku korup dalam perjalanan waktu.
Gerakan pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK memang terkesan membabi-buta. Gaya penindakan berbayar mahal. Memenjarakan banyak pejabat mengakibatkan terhambatnya pembangunan. Selain mencipta banyak musuh sebagai efek sampingnya.
KPK dibentuk berdasarkan UU No.30/2002. Terlahir sebagai sosok perkasa berlimpah wewenang dan kekuasaan serta anggaran. Sungguh hal itu memicu kecemburuan instansi penegak hukum lain.
Apalagi alasan kelahiran komisi itu karena kemandulan lembaga penegak hukum yang ada. Dan setelah lahir, si "balita" KPK sudah berani membabati oknum aparat penegak hukum yang nakal.
Agresivitas KPK sangat menonjol saat kepemimpinan Antasari Azhar sejak 2007. Sayang itu tak berlangsung lama karena aksi brutalnya lekas dipungkas dengan isu skandal perempuan dan pembunuhan hingga vonis dijatuhkan.
Bagaimana dengan kepemimpinan Busyro Muqoddas? Pemilihan ketua KPK berbiaya Rp2,5 miliar untuk masa jabatan 1 tahun saja. Apa yang bisa dijanjikan Busyro dalam setahun masa kerjanya?
Usai mengucap sumpah jabatan di Istana Negara pada upacara pelantikan 20 Desember kemarin, Busyro mengungkapkan rasa optimismenya.
"Saya optimis mulai berkarya di KPK dengan niat menyelamatkan keuangan Negara. Secepatnya melakukan gerakan-gerakan yang akseleratif dan sistemik," ucap Busyro yakin.
Ia juga tidak ingin memilih, lebih mengutamakan pengejaran koruptor atau mengoptimalkan pengembalian uang Negara.
"Keduanya harus simultan. KPK juga tidak mungkin tidak bersinergi," tegasnya.
Ada 2 kata yang mewakili janji Busyro, "simultan" dan "sinergi". Simultan, artinya akan mengejar koruptor berikut uang yang dikorup secara bersama. Sinergi, berarti ia tidak ingin membangun KPK berhadap-hadapan dengan lembaga penegak hukum lain.
Jika janji itu dilaksanakan, maka pandangan miring tentang cara kerja KPK yang "high profile" dan "low profit" akan terbantahkan, kelak.
Memang, tak ada resep ajaib untuk menyembuhkan perilaku korup yang mendarah-daging. Kalau ingin menumbuhkan kesadaran tentu akan memakan waktu yang panjang. Mencipta iklim takut korupsi diharapkan mampu menurunkan peringkat sebagai Negara terkorup se Asia Pasifik.
*Penulis adalah Reporter Antara TV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar