Oleh :
Aryo Wicaksono, Eka Permadi , Eka Permadi , Eka Permadi , Eka Permadi
VIVA.co.id – Melalui
revisi undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban mendapatkan wewenang baru. Tak hanya
memberikan perlindungan terhadap korban kasus terorisme, tetapi juga
memberikan bantuan medis, psikososial, dan psikologis.
Namun, lembaga yang berdiri sejak 2008 ini, justru mengaku kesulitan
mengimplementasikan undang-undang, karena tak ada aturan turunan yang
menjelaskan teknis pemberian kompensasi itu. Akibatnya, korban aksi
terorisme pun tak kunjung mendapatkan hak mereka yang sudah diatur
negara.
Sebab, LPSK sebagai lembaga tidak diberikan anggaran oleh negara
untuk memberikan kompensasi kepada korban. Di lain sisi, definisi korban
juga belum tuntas, sehingga mereka kesulitan mendefinisikan siapa saja
yang berhak mendapatkan kompensasi.
Kemudian, ada persoalan aturan yang lebih menitikberatkan pada penindakan, dan seolah-olah melupakan para korban.
Dalam wawancara dengan VIVA.co.id pada 23 November 2016,
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, perlu ada singkronisasi
aturan, agar pemenuhan hak kompensasi pada korban bisa dilakukan.
Tanpa itu, maka komitmen kepada korban hanya menjadi aturan yang
sulit diimplementasikan. Lalu, bagaimana upaya LPSK untuk mewujudkan
komitmen mereka terhadap korban? Berikut, penjelasan lengkap Abdul
Haris.
Di mana posisi LPSK dibandingkan dengan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dalam penanganan terorisme?
Dalam penanganan isu teroris, ada sejumlah lembaga yang berperan. Itu
ada BNPT, Kepolisian, ada anti teror Densus, kemudian, sejumlah lembaga
lain yang dibentuk penanganan isu teror. Tetapi, memang mainstream-nya
itu lebih banyak kepada mencegah, supaya serangan teroris tidak
terjadi. Kedua, bagaimana mengatasi serangan teroris. Ketiga, proses
penegakan hukum atas peristiwa teroris.
Sementara itu, ada pihak lain dari peristiwa teror yang mengalami
penderitaan, salah satunya korban akibat serangan teroris. Meskipun
untuk isu teroris korban seringkali juga tidak hanya sebatas korban
serangan, tetapi juga diartikan lain. Misalnya, keluarga pelaku juga
dianggap sebagai korban, anak pelaku teoris seringkali dianggap korban.
Tetapi kita perhatikan korban dari serangan teroris yang langsung
merasakan serangan teroris adalah mereka yang menjadi korban peristiwa
itu. Misalnya, ada serangan bom, mereka menjadi korban langsung akibat
serang itu dan kemudian banyak jatuh korban meninggal, luka. Ada juga
tidak secara fisik, tetapi trauma. Nah, orang-orang ini dalam berbagai
serangan teroris seringkali belum mendapatkan penanganan yang memadai.
Jadi, banyak ketika meninggal yang bertanggung jawab keluarga,
mengebumikan, dan segala macam kebutuhan ditanggulangi keluarga, atau
masyarakat.
Belum lagi, akibat korban meninggal itu meninggalkan keluarga yang
mengalami kesulitan ekonomi. Belum lagi, anak-anaknya yang tidak bisa
melanjutkan pendidikan. Jadi, berbagai kesulitan muncul dari peristiwa
itu. Tetapi, perhatian terhadap mereka dianggap masih kurang.
Mereka (korban) tak pernah mendapat bantuan?
Adakalanya, di antara mereka dapat bantuan, dan dalam beberapa
peristiwa bantuan malah banyak datang dari pemerintah asing, seperti Bom
Bali 1 dan 2, itu malah banyak dari pemerintah Australia.
Seperti apa penderitaan mereka?
Mereka yang sakit akibat peristiwa teroris itu, ternyata di antara
mereka sakitnya tidak bisa disembuhkan sesaat, setelah peristiwa
terjadi. Ada banyak di antara mereka itu yang penderitaan berlanjut
sampai sekarang dan penderitaan berlanjut itu diikuti dengan upaya
pengobatan tidak murah, ada pengobatan yang berlanjut. Nah, biaya
pengobatan ini lebih banyak keluarga, dibantu pemerintah asing. Ada juga
yayasan seperti kasus Bom Marriot itu dibantu oleh yayasan, tetapi ini
tidak bisa banyak membantu.
Kenapa?
Dalam situasi seperti ini, orang melihat korban teroris masih
terabaikan. Jadi, pemerintah belum melihat korban teroris adalah orang
yang menderita akibat suatu peristiwa pidana yang sebenarnya bukan
ditujukan kepada mereka, tetapi kepada pemerintah.
Karena itulah, muncul pernyataan apakah memang korban teroris tidak
punya hak untuk mendapatkan layanan, khususnya mereka yang meninggal,
atau sakit. Ini tidak berhak mendapatkan layanan dari pemerintah, nah
setelah dilacak, ternyata UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme itu memberikan pengakuan bahwa korban teroris
punya hak untuk mendapatkan layanan itu.
Kemudian, UU Nomor 31 tahun 2014, sudah menyebutkan bahwa korban
teroris berhak mendapatkan pelayanan medis, psikologi, dan psikososial,
juga berhak mendapatkan kompensasi dari negara.
Berangkat dari peraturan perundangan ini, korban punya hak mendapatkan layanan tersebut.
Tapi kenapa kompensasi tak kunjung diberikan?
Nah, ketika akan memberikan layanan medis dan psikososial ini ada
kendala. Sebenarnya, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi
korban, antara lain mengajukan permohonan untuk mendapatkan layanan
harus diikuti dengan bukti administratif yang menunjukkan identitas
mereka, kemudian keterangan yang menyatakan mereka adalah korban.
Untuk bukti administratif ini bisa dikata tidak terlalu problem,
karena banyak di antara mereka punya KTP, domisili jelas. Nah, tetapi
ketika mereka harus menunjukkan bahwa mereka adalah korban, khususnya
korban teroris yang terjadi beberapa waktu yang lalu, dalam peraturan
disebutkan keterangan mereka adalah korban dikeluarkan Kepolisian.
Sedangkan pelanggaran HAM berat dikeluarkan oleh Komnas HAM. Dan,
ternyata ada beberapa korban yang tidak bisa mendapatkan keterangan dari
Kepolisian, jadi kemudian menghambat korban mendapatkan layanan tadi.
Kenapa bisa begitu?
Jadi, di satu sisi korban merasa kami adalah korban dan seharusnya dapat. Tapi di sisi lain, Kepolisian sendiri tidak ada record pasti, jelas bahwa korban yang jatuh pada peristiwa itu terjadi. Jadi, mereka enggak punya catatan siapa saja korban.
Alasannya?
Bisa jadi, karena waktu fokus utama lebih pada pengungkapan
kejahatan, siapa pelakunya, apa bukti, karena saat itu masih sangat
misterius, karena tidak mudah mengungkapnya. Jadi, Kepolisian lebih
fokus ke sana dan untuk melihat siapa saja pelaku yang diproses secara
hukum.
Sementara itu, korban waktu itu memang ada penanganan di rumah sakit,
tetapi sifatnya sangat terbatas. Fokusnya bukan pada korban, tetapi
pada pertolongan pertama.
Bapak sendiri melihat penanganan korban teror masih kurang pas?
Kami melihat masih ada kekurangan dalam penanganan korban kejahatan
itu. Untuk peristiwa teroris yang baru terjadi tidak terlalu problem,
karena memang baru terjadi dan untuk mendapatkan informasi siapa saja
yang menjadi korban lebih mudah. Kita bisa koordinasi langsung dengan
pihak Kepolisian dan rumah sakit, atau lembaga yang memberikan layanan.
Tetapi, untuk peristiwa yang sudah terjadi beberapa waktu lalu ini
menjadi masalah. Salah satunya adalah memastikan mereka adalah korban.
Tanpa ada keterangan mereka adalah korban, sulit memberikan layanan
tersebut jadi inilah yang perlu dicarikan jalan keluar.
Tetapi, apakah mungkin korban teror di masa lalu mendapatkan kompensasi?
Memang ada beberapa di antara mereka, Kepolisian berani membuat
keterangan bahwa mereka adalah korban. Khususnya bagi mereka yang pada
peristiwa itu sudah diperiksa sebagai saksi, sehingga namanya tercatat
jelas sebagai korban. Tetapi, buat mereka yang tidak bersentuhan dengan
proses hukum ini agak kesulitan.
Tetapi, apa saja yang berhak didapatkan korban?
Selain medis psikologi, UU itu menyatakan korban teroris berhak
mendapatkan layanan psiko sosial. Apa yang dimaksud dengan psiko sosial,
ini adalah upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupan korban sebelum
terjadi hingga mereka menjadi korban.
Jadi, kualitas kehidupannya tidak boleh turun, harus mengalami
perbaikan, atau peningkatan. Kemudian, psikososial, korban perlu
mendapatkan pendidikan, khususnya untuk anak yang orangtuanya menjadi
korban jiwa peristiwa teroris. Kemudian, ada yang cacat, sehingga tidak
bisa bekerja setelah menjadi korban.
Ada layanan psikosial yang dapat memfasilitasi mereka untuk
memperoleh pekerjaan, atau keterampilan, atau penyaluran pekerjaan
sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Nah, psiko sosial ini
sebenarnya tidak sepenuhnya dilakukan oleh LPSK. LPSK lebih banyak
memfasilitasi korban untuk mendapatkan layanan itu sedangkan program
layanan psikososial itu berada di tangan pemerintah pusat dan daerah.
Nah, yang jadi masalah adalah di kementerian belum menyiapkan program
untuk melaksanakan aturan turunan UU ini. Jadi, begitu korban teroris
mereka butuh pendidikan, di dinas mereka punya program membantu kelompok
miskin. Jadi, kalau mereka mengakses itu, harus ada keterangan mereka
adalah orang miskin.
Padahal, mereka adalah korban. Jadi, program itu belum dibuat dalam
rangka memenuhi hak mereka sebagai korban kejahatan, tetapi itu bisa
diakses karena mereka miskin. Ketika ingin mendapatkan layanan ini
mereka harus mengurus keterangan miskin dulu.
Tetapi, kita kan maunya bukan persoalan miskin, atau kaya tapi
persoalan kejahatan yang berhak mendapatkan layanan psikososial. Itu
yang menjadi problem, artinya meskipun ada keinginan untuk memenuhi
hak-hak korban ternyata masih ada problem bersifat teknis.
Lalu bagaimana dengan kompensasi?
Terkait kompensasi. UU ini menyatakan bahwa korban berhak mendapatkan
kompensasi. Nah, kompensasi ini ganti kerugian yang diderita oleh
korban dan dibayar oleh negara. Tetapi, ternyata meskpin UU sudah
menyebut secara tegas berhak mendapatkan kompensasi, namun sampai
sekarang belum ada korban yang memperoleh kompensasi.
Nah, untuk besaran kompensasi diputuskan oleh pengadilan. Ada putusan
pengadilan menurut korban bahwa ada di dalam proses peradilan kasus
Marriot diputuskan korban berhak mendapatkan kompensasi, tetapi kemudian
korban menanyakan kompensasi tersebut, korban tidak mendapatkan layanan
dengan alasan putusan tersebut tidak menyebutkan siapa-siapa yang
mendapatkan kompensasi.
Tadinya kita berharap, putusan ini menjadi istilahnya pintu gerbang
untuk mendapatkan kompensasi, dan kita berharap ini akan menjadi
preseden untuk masa akan datang. Bahwa, kalau mereka menjadi korban bisa
dapat kompensasi. Ternyata, enggak berhasil juga.
Jadi, ini terkesan korban memohon mendapatkan haknya?
Ya memang itu kewajiban negara, tetapi ada prosedur. Misalkan korban
mendapatkan bantuan medis psikologi, itu memang hak korban tapi negara
tidak bisa serta merta memberikan layanan itu, korban harus mengajukan
permohonan dan setelah syarat-syarat terpenuhi baru diberikan layanan.
Begitu juga dengan kompensasi ini. Ketika korban sudah dinyatakan
berhak. Yang jadi masalah seperti korban tidak ada kepastian hukum,
sudah jelas disebut korban berhak mendapatkan, tetapi karena tidak ada
mekanisme, hak mereka diabaikan.
Apa yang dilakukan LPSK?
Untuk psikososial dan kompensasi, kita juga melihat revisi UU Teroris
ini adalah momentum mengatasi berbagai kendala pemenuhan hak korban
teroris. Jadi, misalnya tadi surat keterangan dari aparat penegak hukum,
apakah ada cara yang bisa ditempuh korban untuk lebih memudahkan, dan
tetap bisa mendapatkan layanan. Nah, ini yang sedang kita minta masukan
dari pihak lain dan DPR.
Dalam revisi ini LPSK dilibatkan?
Jadi, kita oleh Pansus diminta memberikan masukan. Awalnya, kita
merepsons revisi yang disuarakan DPR waktu itu lebih kepada melibatkan
TNI dalam operasi dan proses pengakuan hukum. Lalu, kami menyambut
revisi tersebut, tetapi fokusnya jangan cuma pada penindakan tapi
bagaimana pemenuhan hak korban.
Lalu, kita pun diundang untuk memberikan masukan dalam kegiatan
diskusi, bahkan terakhir kita diminta memberikan masukan definisi
teroris itu apa. Ada beberapa hal yang disampaikan, mengusulkan, agar
ada ketentuan umum terkait definisi korban jadi kami belum melihat
dfenisi korban dalam uu sebelumya. Kemudian defenisi kompensasi,
kemudian ?institusi dan keluarga.
Kenapa perlu? Karena, yang tadi kita lihat bahwa terkait korban
penafisaran dari beberapa pihak sangat luas, bahkan keluarga pelaku jadi
korban. Karena itu keluarganya harus mendapatkan perhatian
perlindungan. Kalau tidak ditangani mereka bisa saja melakukan aksi
serupa.
Tapi kalau kami lebih fokus kepada orang yang menderita, baik
ekonomi, fisik, psikologi akibat peristiwa itu, karena mereka ini lah
yang menderita langsung.
Definisi bukan hanya kita dapatkan dalam perundang-undangan, tetapi
ini kan satu definisi yang mengacu kepada deklarasi PBB tentang prinsip
keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Kemudian di draf rancangan disebutkan bahwa penyidik, penuntut umum,
advokat, pelapor, saksi beserta keluarga korban tindak pidana diwajibkan
diberikan perlindungan dari ancaman, baik sebelum atau selama proses
penyelidikan, tapi tidak menyebut korban. Jadi kami meminta agar korban
disebutkan bahwa banyak sekali korban merasa trauma terancam terutama
yang memberikan saksi di peradilan sehingga mereka juga mendapatkan
perlindungan.
Selain itu, apa lagi?
Kemudian, kami mengusulkan dipertegas korban, atau ahli warisnya
berhak mendapatkan kompensasi dimaksud ayat satu yang pembiayaannya
dibebankan kepada negara dan pelaksanaannya dilaksanakan oleh
pemerintah. Kami melihat, LPSK perlu juga disebut di sana sebagai
lembaga menangani kompensasi. Maka, harus ada peran dari LPSK, kalau
tidak nanti korban bingung lagi,
Lalu, terkait status korban tadi, siapa yang berhak untuk menetapkan
status korban. Apakah Polri, atau LPSK. Kalau bisa, jangan Kepolisian
tetapi LPSK.
Tapi kami juga melihat dalam peristiwa teror, pihak yang bisa melihat
secara utuh itu Kepolisian. Berangkat dari data-data mereka bisa
memilah mana pelaku mana korban, nah dari sana bisa dinyatakan korban
ini dan pelakunya si ini. Nah, sehingga dalam bayangan kami ini harusnya
kepolisian.
Tetapi, dalam praktik yang kami lihat, Kepolisian tidak berani
mengeluarkan keterangan dan kadang-kadang tak bisa cepat, padahal korban
sangat membutuhkan layanan. (asp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar