Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews
Jakarta - Menjelang sore hari ketika langit mendung mengundang, sebuah gubuk di tengah pemukiman padat Tegalparang, Jakarta Selatan semakin terlihat terpencil. Hanya berlapis bambu-bambu anyaman yang ditempeli spanduk dan kardus bekas, di dalam gubuk itu nampak seorang kakek tua yang duduk termenung.
Pada tubuh kakek itu hanya berbalut kaus tipis dan celana panjang kumal, sementara sebuah topi bergambar untaian padi-kapas menempel di dinding. Kakek itu bernama Abbas Hidayat (75) yang sehari-hari bekerja sebagai tukang patri keliling yang rupanya pernah pula berjuang mempertahankan kemerdekaan.
"Waktu masih muda dulu saya jadi OKD di kampung. Singkatan dari Orang Keamanan Desa, ya semacam hansip begitu lah. Waktu itu umur saya dua puluhan tahun saya diajari pegang senjata oleh kakak sepupu saya yang menjadi tentara. Waktu itu pegang senjata jenis Steyr. Semua pemuda diajarkan waktu itu karena takut-takut kalau sewaktu-waktu pasukan Kartosuwiryo datang menyerang ke kampung. Pasukan dia itu namanya DI (Darul Islam) yang mau membikin NII (Negara Islam Indonesia)," tutur Kakek Abbas yang mendadak lantang di dalam gubuk di Tegalparang, Jakarta Selatan, Jumat (2/5/2014) lalu.
Sejak bersiaga menjaga wilayah kampung dia itu di Tasikmalaya, Jawa Barat, Kakek Abbas selalu patroli setiap malam membawa steyr. Meski berulang kali melepaskan tembakan, namun belum pernah sekalipun Kakek Abbas mempergunakan senjatanya untuk membunuh lawan.
"Pokoknya waktu itu suasananya seram, ngeri-ngeri ketembak saja. Apalagi gunung tempat Kartosuwiryo sembunyi kan ada di wilayah Tasikmalaya. Waktu itu yang kita pikirkan hanya bagaimana agar kampung selamat dari serbuan pasukan DI. Semua tahu lah kalau pasukan itu suka membakar rumah, bahkan menyerang orang-orang yang dianggap lawan mereka," cerita Kakek Abbas.
Beruntung hingga akhir pemberontakan pasukan itu kampung tempat tinggal Kakek Abbas tetap aman. Hanya satu yang tak habis pikir oleh Kakek Abbas saat itu mengenai apa yang menyebabkan munculnya gerakan separatis itu.
"Pemberontakan itu selesai sekitar tahun 1962 waktu akhirnya Kartosuwiryo tertangkap. Setelah itu suasananya kembali merasa aman. Memang waktu zaman pemerintahan Pak Sukarno itu kan masih dekat zaman penjajahan, sehingga kita juga harus berjuang. Kemudian pas zaman Soeharto kalau menurut pribadi saya sih baru itu agak enakan," kata Kakek Abbas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar