BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Jumat, 02 Mei 2014

Beratnya Melaksanakan Amanah

Oleh: Ahmad Imam Mawardi

“SEKARANG mereka itu rakyatmu, namun bisa jadi nanti di hadapan Allah mereka akan menjadi musuhmu.” Begitu kata-kata Umar bin Abdul Aziz, sang Khalifah kelima yang melegenda kesederhanaan dan kejujurannya dalam mengemban amanah sebagai kepala negara, kepada Sulaiman bin Abdul Malik salah satu pejabat di pemerintahannya.
Kalimat ini sangat menggetarkan hati dan betul-betul akan menjadi pegangan hidup yang menjauhkan diri dari sikap khianat dan dzalim pada rakyat.
Pertanggungjawaban kepemimpinan di hadapan Allah akan menanamkan kewaspadaan lebih dibandingkan dengan pertanggungjawaban di hadapan manusia. Tidak ada loby, suap dan kongkalikong yang bisa menambahkurangi data dan fakta yang tercatat di catatan amal.
Semuanya pasti dimintai pertanyaan. Semakin besar amanah semakin besar pertanggungjawabannya. Pemimpin yang tidak menunaikan amanahnya dengan baik harus bersiap diri berhadapan dengan “mantan” rakyatnya yang merasa dikhianati dan didzalimi. Begitulah kira-kira syarah (penjelasan) kata-kata sang Khalifah di atas.
Pantas kalau kita baca dalam sejarah kepemimpinan orang-orang terpilih senantiasa dipenuhi dengan kehati-hatian, kerendahhatian, kesederhanaan dan kebijaksanaan. Bagaimana Nabi Sulaiman menanyakan keberadaan dan menunggu kedatangan burung hudhud yang tidak berkumpul bersama di saat harus berkumpul adalah contoh dari pengetahuan seorang pemimpin pada rakyatnya, walau hanya sekecil burung hudhud.
Bagaimana Nabi Sulaiman tidak langsung menghukum hudhud melainkan meminta penjelasan dan keterangan adalah potret kebijaksanaan seorang pemimpin untuk mendengar suara rakyatnya dari kalangan rakyat jelata. Orang bijak pasti berkeyakinan bahwa kebenaran bukan monopoli kaun sarjana, melainkan bisa juga dari kalangan pendidikan rendah tapi memiliki hati yang bersih yang senantiasa naik ke langit yang tinggi.
Ketika Umar bin Khattab yang terkenal tinggi besar dan garang, yang dalam hadits disebutkan bahwa ketika syetan berpapasan dengan Umar maka syetan itu akan mencari jalan lain karena takut bertemu Umar, adalah pribadi yang lembut ketika berhadapan dengan kebenaran. Beliau berani membatalkan proyek pembangunan di wilayah kekuasaannya ketika ada seorang rakyat kecil merasa terdzalimi dengan pembangunan itu mengadukan rencana penggusuran gubuk kecilnya.
Kisah lain menceritakan Umar bin Khattab memeluk seorang anak yang tidak lari menjauh dari Umar sementara teman-temannya yang lain berlarian karena takut. Umar bertanya kepada anak kecil itu:”Kenapa engkau tidak lari?” Anak kecil itu menjawab: “Mengapa aku harus lari, sementara saya tidak berbuat kesalahan.” Pelukan Umar adalah lambang perlindungan pemimpin pada orang-orang yang tidak bersalah.
Kisah-kisah di atas adalah sebagian dari setumpuk kisah orang-orang yang menjaga amanah dalam kepemimpinannya. Menjalankan tugas sesuai dengan yang diamanahkan adalah sesuatu yang esensial dalam membangun tatanan masyarakat yang madani.
Sangat terbuka pintu pengkhianatan atas amanah itu, karena Allah memerintahkan manusia untuk senantiasa memberikan amanah itu kepada yang berhak sebagaimana yang disebutkan dalam QS 3: 58, satu-satunya ayat yang diturunkan di dalam ka’bah menurut suatu riwayat.
Fazlur Rahman, dosennya beberapa sarjana Indonesia yang belajar di Univerity of Chicago dan McGill University, dalam bukunya Key Etical Concepts of the Qur’an menyatakan bahwa amanah adalah kata yang secara harfiyah bermakna tempat penyimpanan yang aman. Ia seakar dengan kata iman (percaya) dan aman (terlindungi).
Hal ini bermakna bahwa orang yang amanah akan senantiasa berada dalam posisi aman, dan yang bisa memikul amanah dengan baik adalah hanya orang-orang yang beriman. Karena itulah maka pesan-pesan amanah para Nabi, sahabat dan ulama masa lalu senantiasa dikaitkan dengan keimanan. Al-Ghazali dalam kitab politiknya yang berjudul Al-Tibr al-Masbuq fi Nasihat al-Muluk memulai uraian kitabnya dengan bab iman.
Kata amanah, yang lawan katanya adalah khianah, menempati banyak konteks, mulai dari konteks hukum, ekonomi, sosial sampai pada konteks politik. Amanah bisa berarti keyakinan untuk tetap berpegang pada aturan hukum, kepercayaan yang dalam konteks ekonomi dan sosial dibahasa Inggriskan menjadi konsep trust atau kontrak sebagaimana istilah le contract sociale yang dipolulerkan Jean-Jacques Rousseau, serta bisa juga bermakna kesepakatan politik (kontrak politik) sebagaimana sering terdengar akhir-akhir ini.
Tidak berlebihan kalau penafsir-penafsir kontemporer menyatakan bahwa kehidupan ini sesungguhnya penuh dengan amanah dan karenanya maka kehidupan ini akan menjadi teratur dan tertata manakala dipimpin orang-orang yang jujur dan memiliki kualifikasi (skill) yang memadai. Rasulullah Muhammad bersabda dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim: ”Ketika sebuah urusan dipasrahkan pada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.”
Yang harus menjadi perenungan juga adalah hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa akan datang suatu masa yang pada masa itu orang yang amanah dianggap bohong dan khianat sementara orang yang khianat malah dipercaya yang diberikan jabatan.
Ketika tiba masa dengan fenomena seperti ini, maka itulah tanda-tanda akhir zaman mulai tiba. Penjara tidak lagi menjadi pemasti kesalahan seseorang, sebagaimana kebebasan, jabatan dan gelar bukan lagi pemasti kemuliaan pribadi seseorang.
Ketika pemilihan wakil rakyat banyak terbukti dikotori dengan politik uang, ujian nasional sekolah diracuni kebocoran soal dan perjokian, ketika mutasi jabatan dihargai dengan sejumlah uang maka bagaimana mungkin bisa dibedakan antara wakil rakyat dan wakil uang, murid pandai dan murid bodoh, pejabat yang berkualitas dan pejabat yang “beruang” saja? Pertanyaan lanjutannya adalah layakkah orang yang khianat mengungguli posisi orang yang amanah? Pertanyaan terakhir adalah kemana larinya hati nurani?
Kita percaya bahwa masih banyak orang yang jujur dan amanah sebagaimana kita masih percaya bahwa “kebenaran dan kejujuran pasti suatu saat akan menang.” Tetapi berdiam diri dan membiarkan pengkhianatan tetap berlangsung bukanlah sikap yang bijaksana, melainkan sebagai potret ketidakberdayaan diri secara mental dan intelektual untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Sudah saatnya untuk secara bersama-sama bersuara untuk perubahan menuju yang lebih baik, bukan sebagai kalimat yang dijargonkan untuk mengelabui perasaan rakyat, melainkan sebagai kalimat yang didasarkan pada keikhlasan berkorban atas nama terwujudnya kemaslahatan. Upaya ini harus dimulai dari kehendak untuk membuka hati, mata dan telinga guna merasa, mendengar dan melihat apa yang sesungguhnya telah terjadi, bukan hanya atas dasar “katanya” yang saat ini terlalu banyak berisikan kebohongan.
Presiden dan menteri yang akan dipilih sebentar lagi harus diupayakan berisikan orang-orang yang amanah, yang tidak memiliki track record khianat. Amanah ini harus dimulai dari diri kita sendiri sebelum menuntut orang lain bersikap amanah, yakni dengan memberikan pilihan kita pada orang yang pas menurut hati nurani kita, bukan karena fanatisme yang sesuai dengan nalar. Orang bijak berkata: “Menuntut orang lain sebelum kite memberi adalah sikap yang tidak etis.” [*]

Tidak ada komentar: