Kelas tersebut menyoal pelayanan hak
dasar yang difasilitasi Sofyan Eyank sebagai pegiat kebencanaan di
Indonesia, kemudian pemenuhan sumber ekonomi yang difasilitasi oleh
Farid dari Eksekutif Nasional WALHI dan proteksi bagi perempuan dan anak
yang difasilitasi oleh Dewi Rana Amir dari Libu perempuan. Dari ratusan
peserta yang hadir pelibatan perempuan menjadi prioritas utama WALHI
Sulawesi Tengah. Hal ini bisa di lihat dari kelas-kelas workshop yang
sebagian besar diikuti oleh ibu-ibu. Jalannya diskusi dalam kelas-kelas
tersebut berlangsung informal dan komunikatif. Hal ini ditunjng oleh
fasilitator yang punya pengalaman dalam memfasilitasi diskusi-diskusi
bersama warga. Sebagian peserta banyak membagi pengalamannya sebagai
penyintas yang hidup di huntara selama setahun. Masalah-masalah itu
terkait modal usaha, jaminan hidup, huntara, pengangguran dan kepastian
zonasi wilayah bencana.
Diskusi ini ditujukan untuk menyerap
problem-problem mendasar dari penyintas pasca bencana 28 September 2018.
Selain itu, hasil diskusi ini juga akan didorong untuk melahirkan
kebijakan yang dapat menjamin hak-hak para penyintas baik itu ekonomi,
sosial dan budaya.
Malam hari, kegiatan simposium
dilanjutkan dengan diskusi dan refleksi 1 tahun penanganan bencana oleh
organisasi masyarakat sipil di Sulawesi Tengah. Pemantik pertama adalah
Abdul Haris Direktur Walhi Sulteng. Kedua, Neni Muhidin sebagai peyintas
sekaligus pegiat kebencanaan dan literasi di Sulawesi Tengah. Ketiga,
Adriansa Manu Koordinator Sulteng Bergerak. Keempat, Juli Savana dari
WALHI Sulawesi Tengah yang memaparkan hasil temuan risetnya terkait
bagaimana peran perempuan dalam situasi tanggap darurat, pemulihan
hingga tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Peserta diskusi yang hadir
tidak hanya para penyintas saja, namun juga dari perwakilan agensi yang
bekerja melakukan penanganan bencana dari berbagai isu. Dari jumlah
peserta yang hadir, nampak tidak terlalu banyak karena sebagian besar
peserta mengambil waktu istirahat karena mengikuti workshop dari pagi
hingga sore. Meskipun demikian, diskusi berjalan komunikatif antara
peserta dan pemantik diskusi.
Diskusi ini juga banyak memaparkan
temuan dan refleksi atas penanganan bencana di Sulawesi Tengah. Seperti
yang dikatakan oleh Abdul Haris yang merefleksikan kejadian bencana 28
September 2019, dia megatakan pemerintah atau kita masyarakat sipil
tidak memiliki pengetahuan kebencanaan, ini bisa dilihat dari lemahnya
pemerintah merespon tanggap darurat – situasi pada saat itu chaos, kita
tidak tahu siapa yang memiliki otoritas. Sehingga kedepan, kita mesti
mendokumentasikan apa yang telah kita lakukan dan tidak mengulangi
kesalahan sebelumnya. Selain itu, ada juga masalah data yang valid
sampai dengan saat ini. Setiap organisasi pemerintah memiliki data
sendiri-sendiri, tidak terintegrasi satu sama lain. Soal lain adalah
pendanaan atau alokasi anggaran kaitannya dengan pemulihan pasca
bencana. Ini menjadi polemik di masyarakat. Lebih jauh itu, sebagai
refleksi Abdul Haris menganggap tidak ada harapan kepada pemerintah saat
menangani proses penanganan bencana khususnya di Pasigala. Ini menjadi
pemnatik bagi peserta diskusi.
Sebagian besar peserta yang hadir tidak
banyak memberi pertanyaan, tapi memberi tanggapan dan kritik terhadap
apa yang dilakukan pemerintah maupun agensi yang telah bekerja selama
satu tahun di Pasigala. Salah satu argumentasi peserta diskusi
menanyakan apakah setiap terjadi bencana adalah peluang bagi eksploitasi
sumber daya alam – apalagi terkait penetapan zona rawan bencana.
Pertanyaan ini di jawab oleh Adriansa yang mengatakan telah terjadi
privatisasi penanggulangan bencana. Negara melepas tanggung jawabnya
dari penyntas. Dia juga menambahkan bahwa anggaran kebencanaan di
Sulawesi Tengah hanya 1 persen dari total APBD. Mestinya anggaran
kebencanaan 10 persen, itu sangat rasional karena Sulteng termasuk dalam
wilayah rawan bencana.
Hari kedua, masih di tempat yang sama,
diskusi formal dilaksanakan dengan megundang nara sumber dari Komnas HAM
perwakilan Sulteng yang diwakili oleh Fajar Ahmad, Komnas Perempuan
diwakili oleh Yunianti Chuzaivah, BNPB RI diwakili oleh Ibnu Asar
Kasubdit Rehabilitasi dan Rekonstruksi, dan perwakilan Pemerintah
Provinsi Sulawesi Tengah yang diwakili oleh Ihsan Basir Dinas
Perlindungan Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Diskusi ini sebagian besar
diikuti oleh penyintas dari Pasigala dan dari berbagai organisasi
masyarakat sipil penyelenggara kegiatan simposium. Diskusi disesi
pertama berjalan lancer, setiap nara sumber memotret penanganan bencana
dari perspektif dan kewenangan masing-masing. Namun, saat sesi tanya
jawab dan diskusi, sebagian besar peserta menanyakan realisasi kebijakan
yang telah dijanjikan oleh pemerintah seperti huntara dan jaminan hidup
yang belum jelas. Sasaran utama pertanyaan penyintas memang ditujukan
untuk pemerintah daerah dan BNPB. Diskusi sempat berlangsung tegang
karena perdebatan antara penyintas dan pihak BNPB, namun ketegangan ini
dapat diselesaikan dengan tindak lanjut dari tuntutan yang dibacakan
oleh penyintas kepada BNPB RI yang diminta segera menyelesaikan
problem-problem tersebut. selain itu, pihak Komnas HAM, dan Komnas
Perempuan juga akan menindaklanjuti tuntutan penyintas berdasarkan
kewenangan yang mereka miliki.
Diakhir diskusi ini, penyelenggara
simposium juga menyerahkan dokumen poin-poin rekomendasi hasil
workshop/kelas yang dilaksanakan pada hari pertama kepada seluruh nara
sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar