BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 11 Agustus 2025

Nusron Wahid Pastikan Tanah SHM Rakyat Bukan Objek Tanah Terlantar

 Saat Ini ada kekhawatiran dari Rakyat, bahwa Tanah terlantar akan dikuasai Negara, Menteri ATR/BPN menegaskan bahwa, tanah yang akan dikuasai negara adalah tanah dengan katagori, HGU dan HGB yang dijelaskan pada Detik News tanggal 11 Agustus 2025

Berikut berita selengkapnya ( admin )

Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menegaskan, kebijakan penertiban tanah terlantar tidak akan menyasar tanah milik rakyat. Tanah sawah produktif, pekarangan, maupun tanah waris yang dimiliki warga, terutama yang berstatus Sertifikat Hak Milik (SHM) dipastikan aman.
"Yang kami tertibkan bukan tanah rakyat, bukan sawah rakyat, dan bukan tanah waris rakyat. Fokus kami hanya pada HGU (Hak Guna Usaha) dan HGB (Hak Guna Bangunan) berskala raksasa yang dibiarkan menganggur," kata Nusron dalam keterangan tertulis, Senin (11/8/2025).

Menurutnya, sasaran penertiban adalah HGU dan HGB berskala besar yang luasnya mencapai jutaan hectare namun tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan. Kondisi ini menghambat pemerataan akses dan pemanfaatan lahan bagi masyarakat.

Sebagai catatan, HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara guna kepentingan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, atau peternakan dengan jangka waktu maksimal 35 tahun. Tanah jenis dapat diperpanjang serta diperbarui hingga total 95 tahun. HGU bersifat izin penggunaan, bukan hak milik, sehingga setelah berakhir tanah kembali ke negara.

Hak ini bersifat izin penggunaan, bukan kepemilikan mutlak. Setelah masa berakhir, tanah kembali menjadi tanah negara atau tanah hak pengelolaan," jelas Nusron.

Sementara itu, HGB adalah hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang dikuasai negara atau tanah hak milik orang lain dengan jangka waktu maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang serta diperbarui hingga total 80 tahun. Sama seperti HGU, HGB bukan hak milik atas tanah, melainkan hak pakai bersyarat yang diberikan negara atau atas dasar perjanjian dengan pemilik tanah.

Penertiban tanah terlantar ini dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Regulasi tersebut memberi kewenangan pemerintah untuk mengidentifikasi, menetapkan, dan mengambil kembali tanah yang tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan dalam jangka waktu tertentu.

Tanah hasil penertiban akan diproduktifkan kembali, antara lain melalui program Reforma Agraria sebagaimana diamanatkan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Lahan tersebut dapat dialokasikan bagi petani gurem, kelompok tani, koperasi, maupun usaha produktif berbasis komunitas.

"Dengan begitu, penertiban ini tidak hanya memulihkan fungsi tanah, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan sebagaimana ditekankan Presiden Prabowo, membuka lapangan kerja, dan mengurangi ketimpangan penguasaan lahan. Prinsipnya jelas tanah harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan dibiarkan terbengkalai," tutup Nusron.

Semoga copy dari berita Detiknews ini dapat bermanfaat

Kamis, 07 Agustus 2025

ATR/BPN Depok Pastikan Tidak Toleransi Terhadap Praktik Mafia Tanah

 Wartasentral.com, Depok – Kantor Pertanahan ATR/BPN Kota Depok membantah, atas pemberitaan yang menyebut dugaan adanya oknum bermain dalam perkara sengketa lahan yang tengah disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Depok.

Menanggapi surat permohonan constatering dari Kantor Hukum Andi Tatang Supriyadi & Rekan terkait batas tanah hak milik Nomor 751 dan 7640 Depok, Kepala Seksi Pengendalian dan Penanganan Sengketa BPN Depok Galang Rambu Sukmara menyatakan, bahwa proses tersebut merupakan kewenangan pengadilan.

“BPN Depok tidak memiliki wewenang untuk melaksanakan constatering, tanpa dasar resmi dari pengadilan. Hingga saat ini, kami belum menerima relaas atau surat pemberitahuan dari PN Depok terkait permintaan tersebut,” ujarnya dalam konferensi pers di Aula Kantor BPN Depok, Selasa (1/7/2025).

Lebih lanjut, ia menegaskan BPN Kota Depok tidak memberikan ruang bagi praktik mafia tanah dan selalu bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan.

“Kami sangat berhati-hati, dalam menanggapi perkara seperti ini. Semua langkah kami, merujuk pada ketentuan hukum yang berlaku,” paparnya.

Galang juga menjelaskan, pihak yang bersangkutan saat ini telah mengajukan bantahan kedua dalam perkara yang sedang berjalan di PN Depok, dengan nomor registrasi 156/PDT.BTH/2025/PN.Dpk, dan saat ini masih dalam tahap mediasi yang dijadwalkan pada 8 Juli 2025.

Terkait permintaan constatering oleh pihak kuasa hukum, ia menyebut bahwa BPN Depok akan menghormati proses hukum dan akan menunggu instruksi resmi dari pengadilan.

“Kami akan merespons surat dari kuasa hukum secara tertulis, namun pelaksanaan constatering hanya dapat dilakukan atas perintah PN Depok, bukan atas inisiatif lembaga pertanahan,” tegasnya.

Sebelumnya, pihak kuasa hukum Andi Tatang mengajukan surat permintaan constatering dengan Nomor 047/ATS-R/S.Kel/VI/2025 tertanggal 26 Juni 2025, sebagai tindak lanjut dari surat sebelumnya tertanggal 2 Mei 2025.

Constatering adalah proses pencatatan fakta atas objek tertentu oleh pejabat berwenang, seperti juru sita atau notaris, yang digunakan sebagai bukti dalam proses hukum.

Proses ini penting, untuk memastikan bahwa objek eksekusi, seperti tanah atau bangunan, sesuai dengan isi putusan pengadilan.

Berdasarkan hukum acara perdata dan praktik di pengadilan Indonesia, permohonan constatering hanya dapat diajukan oleh:

• Pihak yang menang perkara (pemohon eksekusi);
• Para pihak yang berkepentingan dalam pembuktian di persidangan;
• Dan dapat dilaksanakan oleh juru sita atas perintah Ketua Pengadilan.
• Dalam konteks non-litigasi, notaris atau PPAT juga dapat melakukan constatering atas permintaan para pihak, yang hasilnya dapat dijadikan alat bukti tambahan di persidangan.

Landasan Hukum:
• Pasal 195 HIR / 206 RBg – Mengatur tentang pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan.
• Sema No. 4 Tahun 2001 – Tentang Penggunaan Tenaga Juru Sita dan pelaksanaan eksekusi.
• UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
• Permen ATR/BPN No. 21 Tahun 2020 – Tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
Kesimpulan:

BPN Kota Depok menegaskan komitmennya, dalam mendukung proses hukum yang adil dan transparan serta tetap menunggu instruksi resmi dari pengadilan, sebelum mengambil langkah lebih lanjut dalam perkara constatering.

Mereka juga memastikan, tidak ada toleransi terhadap praktik mafia tanah di lingkungan kerja Kantor ATR/ BPN Kota Depok. (Rik)

Di Duga Jadi Korban Mafia Tanah, Belasan Warga Di Bogor Berharap KDM Turun Tangan.

 Indik id  Bogor - Belasan Warga di Desa Nagrak, Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor, mengaku menjadi korban mafia tanah.


Lebih dari 1 hektar lahan warga diduga diserobot pengembang raksasa yang saat ini gencar melakukan pelebaran lahan di wilayahan tersebut.


Warga menyebut, pengembang raksasa yang diduga menguasai lahan itu ialah PT Summarecon Agung, tbk. Secara tiba-tiba, lahan mereka di patok tanpa sepengetahuan.


“Ada sekitar 15 orang warga yang lahannya tiba-tiba diserobot oleh Summarecon. Kami bilang penyerobotan, karena tidak pernah menjual lahan ke pengembang tersebut,” kata Uwes salahsatu keluarga yang tanahnya juga ikut jadi korban dugaan penyerobotan, kepada wartawan Selasa (13/5/25).


Uwes menuturkan bahwa, tanah milik mertuanya bernama Ibu Ayum yang terletak di RT 03 RW 03, Desa Nagrak, Kecamatan Sukaraja seluas 2400 meter juga ikut menjadi korbannya.


Tanah berbentuk kebun itu tiba-tiba sudah ditanami patok berwarna merah dan putih bertandakan sudah dibayar oleh pihak Summarecon beberapa bulan lalu. Padahal, selama ini pihaknya tidak pernah merasa menjual tanah tersebut.


“Tanah mertua saya dengan total luas 2400 meter juga jadi korbannya (dugaan penyerobotan). Jadi sebelum puasa ada pihak dari Summarecon tiba-tiba pasang patok merah putih yang tandanya sudah dibayar oleh pihak perusahaan. Tapi kami tidak pernah merasa menjualnya,” tutur Uwes.


Usai peristiwa itu, pihaknya kemudian mengadu kepada aparat setempat dari mulai RT, RW hingga Kepala Desa (Kades), namun mereka tidak merespon. Dia menduga, bahwa dalang yang menjual lahan milik belasan warga ini bukan orang lain, melainkan aparat setempat.

“Kami sudah meminta bantuan kepada Kades, RT dan RW, tapi mereka tidak bisa membantu. Kami juga ada kecurigaan kepada mereka,” jelasnya.


Dugaan itu juga keluar bukan tanpa alasan. Pasalnya, kata dia, sampai saat ini surat kepemilikan tanah berupa segel masih dipegang. Namun anehnya, pihak Summarecon mengkaim sudah memiliki legalitas lahan milik warga yang diserobot tersebut.


“Kami tidak pernah menjual lahan dan suratnya pun ada di kami. Tapi kok pihak Summarecon mengklaim sudah memiliki legalitas tanah milik warga. Siapa ini yang bermainnya,” bebernya.


Karena tidak mendapat kepastian, akhirnya sejumlah emak-emak pemilik tanah membuat video ditengah lahannya yang sudah dipatok oleh Summarecon itu dan diadukan ke Gubernur Jawa Barat,Kang Dedi Mulyadi (KDM) 


“Emak-emak sampai buat video meminta bantuan kepada Pak Dedi Mulyadi dan di Upload di Medsos, berharap agar mendapat bantuan,” ujarnya.


Dia berharap kepada Pemerintah Kabupaten Bogor agar bisa turun tangan dan mengembalikan tanah yang selama ini dijadikan sebagai tempat mencari rezeki dengan bercocok tanam.


“Kami mohon agar Pemerintah bisa turun tangan dan mengembaikan lahan kami,” harapnya.