Jakarata (ANTARA News) - Pemilu 1955 adalah perhelatan pesta demokrasi pertama yang diselenggarakan bangsa ini, dan juga merupakan satu-satunya pemilu yang terjadi pada era orde lama.

Kala itu Republik Indonesia baru saja menginjak usia 10 tahun pascamerdeka 1945.
Jika dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.

Yang jelas, sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan Soekarno dan Hatta 17 Agustus 1945, pemerintah saat itu sebenarnya sudah menyatakan keinginannya menyelenggarakan pemilu awal tahun 1946.

Hal itu dicantumkan dalam Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 November 1945 yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946.

Namun faktanya pemilu baru berlangsung 1955, dan penyelenggaraannya tidak sesuai pula dengan tujuan maklumat Hatta. Pemilu 1955 justru dilakukan dua kali yakni 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR dan 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante.

Keterlambatan dan penyimpangan tersebut bukan tanpa sebab. Kendalanya bersumber dari dalam dan luar negeri.

Kendala internal yakni pemerintah tidak siap menyelenggarakan pemilu tiga bulan pascakemerdekaan. Butuh waktu bagi bangsa ini mempersiapkan perangkat-perangkat penyelenggaraan pemilu kala itu. Sedangkan tekanan eksternal berupa serbuan kekuatan asing mengharuskan segenap rakyat Indonesia membagi waktu dan tenaganya untuk juga terlibat peperangan.

Meskipun dua kendala itu menghambat proses pemilu di Indonesia, tetap ada indikasi kuat pemerintah berkeinginan menyelenggarakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu.

Dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung), untuk menghindari distorsi akibat banyaknya warga negara yang buta huruf kala itu.

Kemudian pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya.

Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).

Setelah Kabinet Natsir jatuh enam bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.

Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953, yang melahirkan UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu.

UU inilah yang kemudian menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia.

Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR praktis tidak berlaku lagi.

Patut dicatat dan dibanggakan bahwa Pemilu 1955 yang diikuti oleh lebih dari 30 partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan, berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Indonesia pun menuai pujian dari berbagai pihak termasuk negara-negara asing.

Data yang dihimpun KPU mencatat kesadaran berkompetisi secara sehat pada Pemilu 1955 sangat tinggi. Meskipun calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. (*)