Danu Damarjati - detikNews
Jakarta - Kebakaran lahan gambut di Riau mengganggu aktivitas penerbangan di Bandara Internasional Minangkabau Padang, Sumatera Barat. Pilot diwanti-wanti Kementerian Perhubungan untuk tak terbang menghadang bahaya.
"Pilot jangan coba-coba, karena ini menyangkut <i>safety</i>," kata Direktur Navigasi Penerbangan Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub, Nasir Usman, kepada detikcom, Jumat (28/2/2013).
Nasir menyatakan saat ini aktivitas penerbangan di Bandara Minangkabau memang terganggu asap kebakaran lahan di Riau. Asap dari Riau bisa sampai ke Minangkabau lantaran hembusan angin yang membawanya. Selain Bandara Minangkabau, Bandara Sultan Syarif Kasim II di Pekanbaru, Riau sendiri juga terkena imbasnya.
"Ada sebagian pilot bisa mendarat, ada yang tidak bisa mendarat. Karana asap ini cepat hilang dan datang lagi. Tergantung angin juga," tutur Nasir.
Sesunggunya, ada alat untuk membantu pesawat mendarat di tengah jarak pandang yang terbatas, yaitu <i>Instrument Landing System</i> (ILS). ILS kategori 1 bisa membantu pendaratan dalam jarak pandang 800 meter. ILS kategori 2 bisa membantu dengan jarak pandang 300 meter saja. Bahkan ILS kategori 3 bisa membantu pesawat mendarat tanpa bisa melihat landasan.
Indonesia hanya mempunyai ILS kategori 1 saja. Namun demikian, keselamatan penumpang diimbaunya agar tetap diutamakan. Maka dari itu, Bandara Minangkabau ditutup sementara dari aktivitas penerbangan, entah sampai kapan, tergantung situasi dan kondisi jarak pandang.
"Peringatan NOTAM (Notice to Airman) kepada maskapai penerbangan sudah dilakukan. Bandara Minangkabau ditutup, tapi tidak selamanya, begitu jarak pandang naik, langsung buka lagi. Dari kemarin sudah ditutup. Kalau ada hujan, kemungkinan bisa dibuka kembali," tutur Nasir.
Blog ini merupakan kumpulan berita dari berbagai media elektronik, terutama yang berkaitan dengan langkah-langkah nyata dari seseorang/lembaga dalam rangka menegakan kebenaran, dan semoga blog ini akan berguna bagi pembaca.
BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN
Jumat, 28 Februari 2014
Kasus Suap Lahan Kuburan: KPK Sita Uang USD200 Ribu
VIVAnews - Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah PT Bursa Berjangka di Jalan M.H Thamrin no 81, Jakarta Pusat, kemarin Kamis 27 Februari, terkait penyidikan kasus dugaan suap pengurusan izin Taman Pemakaman Bukan Umum (TPBU) di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
"Penggeledahan itu berkaitan penyidikan KPK terkait pemberian izin lokasi TPBU di Kab Bogor dengan tersangka SRS," kata Johan Budi SP, Juru Bicara KPK di kantornya, hari ini.
Dalam penggeledahan itu, penyidik KPK menyita sejumlah dokumen dan pecahan mata uang dolar Amerika. Uang itu ditemukan di ruangan Kepala Keuangan perusahaan tersebut.
"Penyidik telah menyita beberapa dokumen dan uang senilai USD200 ribu," kata Johan.
Johan menjelaskan, uang itu disita sebagai barang bukti karena diduga terkait kasus yang tengah disidik KPK saat ini.
"Karena kami temukan di sebuah ruangan di Kepala Keuangan atau Divisi Keuangan PT Bursa Berjangka itu. Oleh karena itu dilakukan penyitaan dan tentu proses selanjutnya akan ada klarifikasi," terangnya.
Dalam kasus ini, KPK masih melakukan penyelidikan terhadap satu tersangka yakni Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, Kabupaten Bogor, Syahrul Sampurna Jaya.
Dia diduga merupakan pemegang saham PT Garindo Perkasa, perusahaan yang akan menggarap proyek lahan kuburan itu.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan lima orang lainnya sebagai tersangka. Masing-masing dijerat dengan pasal berbeda. Untuk Usep (pegawai pemkab Bogor) dan Listo Welly (pegawai honorer pemkab Bogor), diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Sementara pihak swasta, Direktur utama PT Garindo Perkasa Sentot Susilo dan direktur PT Garindo Perkasa Nana Supriatna, dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 atau 13 ayat 1 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.
Terakhir, Ketua DPRD Bogor Iyus Djuher, dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Namun dalam proses persidangan Iyus meninggal dunia, sehingga proses hukum terhadapnya kemudian dihentikan.
"Penggeledahan itu berkaitan penyidikan KPK terkait pemberian izin lokasi TPBU di Kab Bogor dengan tersangka SRS," kata Johan Budi SP, Juru Bicara KPK di kantornya, hari ini.
Dalam penggeledahan itu, penyidik KPK menyita sejumlah dokumen dan pecahan mata uang dolar Amerika. Uang itu ditemukan di ruangan Kepala Keuangan perusahaan tersebut.
"Penyidik telah menyita beberapa dokumen dan uang senilai USD200 ribu," kata Johan.
Johan menjelaskan, uang itu disita sebagai barang bukti karena diduga terkait kasus yang tengah disidik KPK saat ini.
"Karena kami temukan di sebuah ruangan di Kepala Keuangan atau Divisi Keuangan PT Bursa Berjangka itu. Oleh karena itu dilakukan penyitaan dan tentu proses selanjutnya akan ada klarifikasi," terangnya.
Dalam kasus ini, KPK masih melakukan penyelidikan terhadap satu tersangka yakni Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, Kabupaten Bogor, Syahrul Sampurna Jaya.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan lima orang lainnya sebagai tersangka. Masing-masing dijerat dengan pasal berbeda. Untuk Usep (pegawai pemkab Bogor) dan Listo Welly (pegawai honorer pemkab Bogor), diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Sementara pihak swasta, Direktur utama PT Garindo Perkasa Sentot Susilo dan direktur PT Garindo Perkasa Nana Supriatna, dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 atau 13 ayat 1 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.
Terakhir, Ketua DPRD Bogor Iyus Djuher, dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Namun dalam proses persidangan Iyus meninggal dunia, sehingga proses hukum terhadapnya kemudian dihentikan.
Bawaslu, KPU, KPI, dan KIPP Sepakat Larang Media Siarkan Iklan Politik
Sukma Indah Permana - detikNews
Jakarta - Bawaslu, KPU, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Informasi Pusat menandatangani kesepakatan bersama tentang kepatuhan ketentuan pelaksanaan kampanye pemilu melalui media. Beberapa poin yang disepakati antara lain meminta kepada semua lembaga penyiaran untuk menghentikan penyiaran iklan politik dan iklan kampanye pemilu sebelum jadwalnya.
"Bahwa dalam pelaksanaan kampanye pemilu melalui media penyiaran, para pihak (Bawaslu, KPU, KPI dan KIP) meminta kepada semua lembaga penyiaran dan peserta pemilu untuk menghentikan penyiaran iklan politik dan iklan kampanye pemilu sebelum jadwal pelaksanaan kampanye pemilu melalui iklan media elektronik," ujar Ketua KIP Abdulhamid Dipopramono.
Hal ini disampaikan Abdulhamid sebelum menandatangani kesepakatan bersama tersebut di Gedung Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (28/2/2014).
Larangan ini sesuai dengan Pasal 83 ayat (2) UU No 8 Tahun 2012 dan Peraturan KPU tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Jadwal kampanye yang telah ditentukan adalah tanggal 16 Maret hingga 5 April 2014.
Di dalam kesempatan yang sama, Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan bahwa selama ini pihaknya melihat fenomena banyaknya iklan di media yang menyiarkan iklan yang arahnya kampanye. Sementara menurut UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, terdapat unsur kumulatif pelanggaran kampanye.
"Diharapkan selama 14 hari ke depan, kegiatan penyiaran yang mengarah pada program siaran kampanye," ujarnya.
Dia mengatakan bahwa dengan adanya gugus kerja ini penilaian akan dilakukan dengan lebih komprehensif. Sehingga tidak ada perbedaan pendapat di antara keempat lembaga ini
"Di dalam kesepakatan ini tidak ada sanksinya, tapi ada sanksi di UU-nya," kata Husni.
Selain poin pelarangan kampanye di media sebelum masa kampanye, kesepakatan ini juga menyebutkan delapan poin lainnya yang masih dibacakan oleh Abdulhamid. Di antaranya mengatur tentang pelaksanaan kampanye pemilu berbentuk iklan kampanye pemilu melalui lembaga penyiaran.
Dalam pelaksanaannya, lembaga penyiaran dan peserta pemilu wajib menaati ketentuan batas maksimum pemasangan iklan kampanye secara kumulatif.
Poin selanjutnya mengatur bentuk iklan kampanye di lembaga penyiaran selama masa kampanye, lembaga penyiaran wajib menyediakan waktu pemberitaan pemilu yang cukup, adil, berimbang, proporsional dan netral.
Mereka juga mengatur tentang sejumlah larangan terhadap lembaga penyiaran selama masa tenang, tentang penayangan hasil penghitungan cepat.
"Bahwa dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi pemilu dan pendidikan politik kepada masyarakat, lembaga penyiaran wajib membuat dan menyiarkan iklan layanan masyarakat tentang pemilu sesuai ketentuan peraturan UU," ulas Abdulhamid.
Poin terakhir, lembaga penyiaran dan peserta pemilu wajib menaati ketentuan prinsip-prinsip keterbukaan informasi.
"Sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan," katanya.
Jakarta - Bawaslu, KPU, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Informasi Pusat menandatangani kesepakatan bersama tentang kepatuhan ketentuan pelaksanaan kampanye pemilu melalui media. Beberapa poin yang disepakati antara lain meminta kepada semua lembaga penyiaran untuk menghentikan penyiaran iklan politik dan iklan kampanye pemilu sebelum jadwalnya.
"Bahwa dalam pelaksanaan kampanye pemilu melalui media penyiaran, para pihak (Bawaslu, KPU, KPI dan KIP) meminta kepada semua lembaga penyiaran dan peserta pemilu untuk menghentikan penyiaran iklan politik dan iklan kampanye pemilu sebelum jadwal pelaksanaan kampanye pemilu melalui iklan media elektronik," ujar Ketua KIP Abdulhamid Dipopramono.
Hal ini disampaikan Abdulhamid sebelum menandatangani kesepakatan bersama tersebut di Gedung Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (28/2/2014).
Larangan ini sesuai dengan Pasal 83 ayat (2) UU No 8 Tahun 2012 dan Peraturan KPU tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Jadwal kampanye yang telah ditentukan adalah tanggal 16 Maret hingga 5 April 2014.
Di dalam kesempatan yang sama, Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan bahwa selama ini pihaknya melihat fenomena banyaknya iklan di media yang menyiarkan iklan yang arahnya kampanye. Sementara menurut UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, terdapat unsur kumulatif pelanggaran kampanye.
"Diharapkan selama 14 hari ke depan, kegiatan penyiaran yang mengarah pada program siaran kampanye," ujarnya.
Dia mengatakan bahwa dengan adanya gugus kerja ini penilaian akan dilakukan dengan lebih komprehensif. Sehingga tidak ada perbedaan pendapat di antara keempat lembaga ini
"Di dalam kesepakatan ini tidak ada sanksinya, tapi ada sanksi di UU-nya," kata Husni.
Selain poin pelarangan kampanye di media sebelum masa kampanye, kesepakatan ini juga menyebutkan delapan poin lainnya yang masih dibacakan oleh Abdulhamid. Di antaranya mengatur tentang pelaksanaan kampanye pemilu berbentuk iklan kampanye pemilu melalui lembaga penyiaran.
Dalam pelaksanaannya, lembaga penyiaran dan peserta pemilu wajib menaati ketentuan batas maksimum pemasangan iklan kampanye secara kumulatif.
Poin selanjutnya mengatur bentuk iklan kampanye di lembaga penyiaran selama masa kampanye, lembaga penyiaran wajib menyediakan waktu pemberitaan pemilu yang cukup, adil, berimbang, proporsional dan netral.
Mereka juga mengatur tentang sejumlah larangan terhadap lembaga penyiaran selama masa tenang, tentang penayangan hasil penghitungan cepat.
"Bahwa dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi pemilu dan pendidikan politik kepada masyarakat, lembaga penyiaran wajib membuat dan menyiarkan iklan layanan masyarakat tentang pemilu sesuai ketentuan peraturan UU," ulas Abdulhamid.
Poin terakhir, lembaga penyiaran dan peserta pemilu wajib menaati ketentuan prinsip-prinsip keterbukaan informasi.
"Sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan," katanya.
Hatta: Publik Jangan Golput di Pemilu 2014
Oleh: Fadhly Dzikry
INILAHCOM, Jakarta - Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa mengajak masyarakat supaya menggunakan hak pilih dengan sebaik-baiknya pada Pemilu 2014.
"Saya harapkan jangan ada yang golput. Gunakanlah hak pilih," kata Hatta disela-sela acara Gelar Pemantapan Caleg, DPR RI PAN dan Koordinasi Pengenalan Pemilu 2014, di Hayam Wuruk Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2014).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian ini menerangkan, masyarakat mempunyai banyak pilihan terhadap partai politik yang sesuai dengan hati nuraninya masing-masing.
"Partainya cukup banyak, silahkan pilih yang terbaik. Lihat partainya, calegnya, gunakanlah hak pilih itu," ujarnya.
Menurut dia, masyarakat jangan lagi apatis atau golput pada pesta demokrasi lima tahunan ini.
"Karena kita ingin mencari tokoh-tokoh terbaik yang duduk di parlemen, penting kita menggunakan itu. Jangan apatis, jangan golput," tandasnya.[ris]
INILAHCOM, Jakarta - Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa mengajak masyarakat supaya menggunakan hak pilih dengan sebaik-baiknya pada Pemilu 2014.
"Saya harapkan jangan ada yang golput. Gunakanlah hak pilih," kata Hatta disela-sela acara Gelar Pemantapan Caleg, DPR RI PAN dan Koordinasi Pengenalan Pemilu 2014, di Hayam Wuruk Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2014).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian ini menerangkan, masyarakat mempunyai banyak pilihan terhadap partai politik yang sesuai dengan hati nuraninya masing-masing.
"Partainya cukup banyak, silahkan pilih yang terbaik. Lihat partainya, calegnya, gunakanlah hak pilih itu," ujarnya.
Menurut dia, masyarakat jangan lagi apatis atau golput pada pesta demokrasi lima tahunan ini.
"Karena kita ingin mencari tokoh-tokoh terbaik yang duduk di parlemen, penting kita menggunakan itu. Jangan apatis, jangan golput," tandasnya.[ris]
Polsek Cilandak Bekuk Polisi Gadungan
Oleh: Ahmad Farhan Faris
INILAHCOM, Jakarta - Polsek Cilandak membekuk seorang Satpam yang mengaku sebagai anggota Brimob Kelapa Dua berpangkat Briptu, Indra bin JM (33). Indra ditangkap karena mengelabui pacarnya dengan meminjam uang sebesar Rp 57 juta.
Kapolsek Metro Cilandak Komisaris Sungkono mengatakan, pelaku meminjam uang sejak bulan Maret 2013 silam dengan dalih untuk mengikuti pendidikan di institusi Polri supaya naik pangkat.
"Pinjamnya bertahap, pertama tanggal 8 Maret 2013 sebesar Rp 1,2 juta. Kemudian, pelaku pinjam sampai Rp 57 juta," kata Sungkono di Jakarta, Kamis, (27/2/2014).
Ia melanjutkan, pelaku merupakan Satpam di perusahaan swasta kawasan Prapanca, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. "Dia mengenakan kemeja safari dan pakai kopel Brimob serta seragam polisi dibelinya di kawasan Kelapa Dua, kemudian senjata api (korek gas)," ujarnya.
Menurutnya, pelaku mengaku kepada korban sedang proses cerai dengan istri sebelumnya dan duda anak dua. Sehingga, korban dinikahinya pada bulan Juni 2013 kemudian pelaku diberikan uang puluhan juta.
"Tapi janji manis pelaku tidak terealisasi, akhirnya korban melaporkan dugaan penipuan ke kepolisian setempat," jelas dia.
Sungkono menuturkan, pihaknya menangkap pelaku di kafe kawasan Kemang, Jakarta Selatan pada Rabu, (26/2/2014) malam.
"Petugas juga menyita senjata mainan korek gas, kople, satu set seragam polisi dengan baretnya, 10 lembar bukti transfer uang," tukasnya.
INILAHCOM, Jakarta - Polsek Cilandak membekuk seorang Satpam yang mengaku sebagai anggota Brimob Kelapa Dua berpangkat Briptu, Indra bin JM (33). Indra ditangkap karena mengelabui pacarnya dengan meminjam uang sebesar Rp 57 juta.
Kapolsek Metro Cilandak Komisaris Sungkono mengatakan, pelaku meminjam uang sejak bulan Maret 2013 silam dengan dalih untuk mengikuti pendidikan di institusi Polri supaya naik pangkat.
"Pinjamnya bertahap, pertama tanggal 8 Maret 2013 sebesar Rp 1,2 juta. Kemudian, pelaku pinjam sampai Rp 57 juta," kata Sungkono di Jakarta, Kamis, (27/2/2014).
Ia melanjutkan, pelaku merupakan Satpam di perusahaan swasta kawasan Prapanca, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. "Dia mengenakan kemeja safari dan pakai kopel Brimob serta seragam polisi dibelinya di kawasan Kelapa Dua, kemudian senjata api (korek gas)," ujarnya.
Menurutnya, pelaku mengaku kepada korban sedang proses cerai dengan istri sebelumnya dan duda anak dua. Sehingga, korban dinikahinya pada bulan Juni 2013 kemudian pelaku diberikan uang puluhan juta.
"Tapi janji manis pelaku tidak terealisasi, akhirnya korban melaporkan dugaan penipuan ke kepolisian setempat," jelas dia.
Sungkono menuturkan, pihaknya menangkap pelaku di kafe kawasan Kemang, Jakarta Selatan pada Rabu, (26/2/2014) malam.
"Petugas juga menyita senjata mainan korek gas, kople, satu set seragam polisi dengan baretnya, 10 lembar bukti transfer uang," tukasnya.
Kementerian LH tutup kegiatan lima perusahaan tambang
Pewarta: Azis Senong
Kendari (ANTARA News) - Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan surat perintah penutupan kegiatan operasional terhadap lima perusahaan tambang di Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara.
Kepada Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Sultra, H Rusbandriyo di Kendari, Jumat, mengatakan kelima perusahaan tambang tersebut yakni PT.Putra Darma Arwana, PT Citra Silika Malawa, PT Pandu Citra Mulia, PT Kasmartia Raya dan PT Tambang Mineral Maju.
"Surat Menteri LH ini telah ditayangkan sejak November 2013 lalu dengan nomor: B-12492/Dep-LH/II/2013," katanya.
Ia mengatakan, alasan penghentian pengoperasian lima perusahaan tambang di Kolaka Utara itu, karena dinilai banyak melakukan pelanggaran di antaranya terlibat penyalagunaan BBM bersubsidi dan regulasi perizinan lainnya.
"Ada sekitar 93 persen di Sultra melakukan pelanggaran dari 56 perusahaan yang dilakukan penyelidikan oleh tim yang dibentuk pemerintah provinsi," ujar mantan Kepala Badan Ketahanan pangan Sultra itu.
Ia mengatakan, tim yang dibentuk Pemprov Sulawesi Tenggara (Sultra) terkait investigasi sejumlah perusahaan tambang yang melakukan kegiatan sektor pertambangan khususnya nikel dan emas itu ditemui hampir semuanya melanggar.
Hanya saja, katanya, ada yang bentuk pelanggarannya ringan dan ada juga yang memang pelanggaran berat yang sudah tidak bisa lagi ditolerir," ujarnya.
Lahan-lahan bekas eksploirasi hampir seluruhnya tidak bisa lagi dipergunakan untuk kegiatan penanaman pohon apalagi untuk perkebunan. Meskipun banyak perusahaan memperlihatkan izin amdal, namun tidak berarti perusahaan itu seenaknya langsung melakukan pengolahan.
"Kewajiban perusahaan itu harus memiliki upaya pengelolaan lingkungan (UPL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL)," jelasnya.
Terkait surat penghentian lima perusahaan oleh Meneg LH, Rusbandriyo mengatakan KLH Provinsi hanya sekedar memfasilitasi sedangkan yang berhak untuk melakukan eksekusi penghentian di lapangan adalah pemkab setempat dalam hal ini bupati, karena memang izin surat itu ditembuskan dan ditujukan kepada pemerintah kabupaten setempat.
Kendari (ANTARA News) - Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan surat perintah penutupan kegiatan operasional terhadap lima perusahaan tambang di Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara.
Kepada Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Sultra, H Rusbandriyo di Kendari, Jumat, mengatakan kelima perusahaan tambang tersebut yakni PT.Putra Darma Arwana, PT Citra Silika Malawa, PT Pandu Citra Mulia, PT Kasmartia Raya dan PT Tambang Mineral Maju.
"Surat Menteri LH ini telah ditayangkan sejak November 2013 lalu dengan nomor: B-12492/Dep-LH/II/2013," katanya.
Ia mengatakan, alasan penghentian pengoperasian lima perusahaan tambang di Kolaka Utara itu, karena dinilai banyak melakukan pelanggaran di antaranya terlibat penyalagunaan BBM bersubsidi dan regulasi perizinan lainnya.
"Ada sekitar 93 persen di Sultra melakukan pelanggaran dari 56 perusahaan yang dilakukan penyelidikan oleh tim yang dibentuk pemerintah provinsi," ujar mantan Kepala Badan Ketahanan pangan Sultra itu.
Ia mengatakan, tim yang dibentuk Pemprov Sulawesi Tenggara (Sultra) terkait investigasi sejumlah perusahaan tambang yang melakukan kegiatan sektor pertambangan khususnya nikel dan emas itu ditemui hampir semuanya melanggar.
Hanya saja, katanya, ada yang bentuk pelanggarannya ringan dan ada juga yang memang pelanggaran berat yang sudah tidak bisa lagi ditolerir," ujarnya.
Lahan-lahan bekas eksploirasi hampir seluruhnya tidak bisa lagi dipergunakan untuk kegiatan penanaman pohon apalagi untuk perkebunan. Meskipun banyak perusahaan memperlihatkan izin amdal, namun tidak berarti perusahaan itu seenaknya langsung melakukan pengolahan.
"Kewajiban perusahaan itu harus memiliki upaya pengelolaan lingkungan (UPL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL)," jelasnya.
Terkait surat penghentian lima perusahaan oleh Meneg LH, Rusbandriyo mengatakan KLH Provinsi hanya sekedar memfasilitasi sedangkan yang berhak untuk melakukan eksekusi penghentian di lapangan adalah pemkab setempat dalam hal ini bupati, karena memang izin surat itu ditembuskan dan ditujukan kepada pemerintah kabupaten setempat.
Sejarah Pemilu, pemilu era orde lama (1945-1965)
Pewarta: Rangga
Jakarata (ANTARA News) - Pemilu 1955 adalah perhelatan pesta demokrasi pertama yang diselenggarakan bangsa ini, dan juga merupakan satu-satunya pemilu yang terjadi pada era orde lama.
Kala itu Republik Indonesia baru saja menginjak usia 10 tahun pascamerdeka 1945.
Jika dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.
Yang jelas, sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan Soekarno dan Hatta 17 Agustus 1945, pemerintah saat itu sebenarnya sudah menyatakan keinginannya menyelenggarakan pemilu awal tahun 1946.
Hal itu dicantumkan dalam Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 November 1945 yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946.
Namun faktanya pemilu baru berlangsung 1955, dan penyelenggaraannya tidak sesuai pula dengan tujuan maklumat Hatta. Pemilu 1955 justru dilakukan dua kali yakni 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR dan 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante.
Keterlambatan dan penyimpangan tersebut bukan tanpa sebab. Kendalanya bersumber dari dalam dan luar negeri.
Kendala internal yakni pemerintah tidak siap menyelenggarakan pemilu tiga bulan pascakemerdekaan. Butuh waktu bagi bangsa ini mempersiapkan perangkat-perangkat penyelenggaraan pemilu kala itu. Sedangkan tekanan eksternal berupa serbuan kekuatan asing mengharuskan segenap rakyat Indonesia membagi waktu dan tenaganya untuk juga terlibat peperangan.
Meskipun dua kendala itu menghambat proses pemilu di Indonesia, tetap ada indikasi kuat pemerintah berkeinginan menyelenggarakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu.
Dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung), untuk menghindari distorsi akibat banyaknya warga negara yang buta huruf kala itu.
Kemudian pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya.
Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh enam bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953, yang melahirkan UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu.
UU inilah yang kemudian menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia.
Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR praktis tidak berlaku lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa Pemilu 1955 yang diikuti oleh lebih dari 30 partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan, berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Indonesia pun menuai pujian dari berbagai pihak termasuk negara-negara asing.
Data yang dihimpun KPU mencatat kesadaran berkompetisi secara sehat pada Pemilu 1955 sangat tinggi. Meskipun calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. (*)
Jakarata (ANTARA News) - Pemilu 1955 adalah perhelatan pesta demokrasi pertama yang diselenggarakan bangsa ini, dan juga merupakan satu-satunya pemilu yang terjadi pada era orde lama.
Kala itu Republik Indonesia baru saja menginjak usia 10 tahun pascamerdeka 1945.
Jika dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.
Yang jelas, sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan Soekarno dan Hatta 17 Agustus 1945, pemerintah saat itu sebenarnya sudah menyatakan keinginannya menyelenggarakan pemilu awal tahun 1946.
Hal itu dicantumkan dalam Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 November 1945 yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946.
Namun faktanya pemilu baru berlangsung 1955, dan penyelenggaraannya tidak sesuai pula dengan tujuan maklumat Hatta. Pemilu 1955 justru dilakukan dua kali yakni 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR dan 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante.
Keterlambatan dan penyimpangan tersebut bukan tanpa sebab. Kendalanya bersumber dari dalam dan luar negeri.
Kendala internal yakni pemerintah tidak siap menyelenggarakan pemilu tiga bulan pascakemerdekaan. Butuh waktu bagi bangsa ini mempersiapkan perangkat-perangkat penyelenggaraan pemilu kala itu. Sedangkan tekanan eksternal berupa serbuan kekuatan asing mengharuskan segenap rakyat Indonesia membagi waktu dan tenaganya untuk juga terlibat peperangan.
Meskipun dua kendala itu menghambat proses pemilu di Indonesia, tetap ada indikasi kuat pemerintah berkeinginan menyelenggarakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu.
Dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung), untuk menghindari distorsi akibat banyaknya warga negara yang buta huruf kala itu.
Kemudian pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya.
Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh enam bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953, yang melahirkan UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu.
UU inilah yang kemudian menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia.
Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR praktis tidak berlaku lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa Pemilu 1955 yang diikuti oleh lebih dari 30 partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan, berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Indonesia pun menuai pujian dari berbagai pihak termasuk negara-negara asing.
Data yang dihimpun KPU mencatat kesadaran berkompetisi secara sehat pada Pemilu 1955 sangat tinggi. Meskipun calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. (*)
COPYRIGHT © 2014
Sejarah Pemilu, pemilu era orde baru (1966-1998)
Pewarta: Unggul Tri Ratomo
Jakarta (ANTARA News) - Pemilu era orde baru diselenggarakan antara lain pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu pada era ini diawali dengan masa-masa transisi kepemimpinan Presiden Soekarno.
Diangkatnya Jenderal Soeharto menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, tidak membuatnya melegitimasi kekuasaannya pada masa transisi.
Bahkan ketetapan MPRS XI Tahun 1966 mengamanatkan agar pemilu baru diselenggarakan dalam tahun 1968, dan kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967 oleh Jenderal Soeharto bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.
Sebagai pejabat presiden, Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-Gotong Royong(DPR-GR) bentukan Bung Karno, hanya saja dia melakukan “pembersihan” lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau orde lama.
Pada praktiknya pemilu kedua baru bisa diselenggarakan 5 Juli 1971, yang berarti setelah empat tahun Soeharto berada di kursi kepresidenan.
Pada masa tersebut ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan era Soekarno, di mana UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.
Dalam UU itu pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral, tidak seperti Pemilu 1955 yang memperbolehkan pejabat negara, termasuk perdana menteri dari partai untuk ikut menjadi calon partai secara formal.
Tetapi pada praktiknya Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu pesertaPemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta pemilu itu.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda juga dengan Pemilu 1955.
Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ampuh untuk mengurangi jumlah partai peraih kursi, dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi kelemahannya sistem demikian lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma.
Setelah tahun 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Enam tahun berikutnya yakni tahun 1977, pemilu ketiga dilaksanakan. Setelahnya pemilu selalu berlangsung setiap lima tahun sekali.
Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, hanya terdiri atas dua parpol dan satu Golkar. Hal tersebut imbas penyederhanaan jumlah partai yang dilakukan pemerintah bersama DPR, dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar.
Kedua partai adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI dan satu Golongan Karya atau Golkar. UU No. 3 itu diimplementasikan hingga pemilu tahun 1997.
Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI hanya sekedar pelengkap atau ornamen belaka. Ibarat Golkar sudah ditetapkan menjadi pemenang sejak Pemilu1971.
Keadaan ini secara langsung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar mendapat dukungan birokrasi sipil dan militer.
Puncaknya Soeharto dilengserkan rakyat pada 21 Mei 1998 karena ketidakadilan sistem pemerintahan yang diterapkan Soeharto selama masa orde baru. (*)
Sejarah Pemilu, pemilu era reformasi (1998-sekarang)
Pewarta: Rangga
Jakarta (ANTARA News) - Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998, jabatannya digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.
Namun publik tetap mendesak agar pemilu baru dipercepat dan segera dilaksanakan, agar sisa-sisa Pemilu 1997 dibersihkan dari pemerintahan.
Akhirnya pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie, pemilu kembali dilaksanakan. Pada saat itu kepentingan utama dilakukannya pemilu agar mendapat pengakuan publik termasuk dunia internasional yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap pemerintahan dan lembaga-lembaga produk Pemilu 1997.
Hal itu kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru, dan sekaligus memangkas masa jabatan Habibie yang harusnya sampai 2003.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu percepatan itu pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah.
Satu hal menonjol yang membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 diikuti banyak sekali peserta.
Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu pada masa itu berjumlah 48 partai. Jumlahnya sudah jauh lebih sedikit dari yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan.
Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelumnya. Sedangkan Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.
Adapun dalam Pemilu 1999 nama tokoh reformasi yang juga pemimpin Partai Kebangkitan Bangsa Abdurahhman Wahid (Gus Dur), terpilih menjadi Presiden RI kala itu. Meskipun PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri meraih suara terbanyak dalam pemilu, namun Megawati tidak langsung menjadi Presiden.
Karena presiden tetap dipilih oleh MPR, maka Gus Dur selaku pimpinan PKB yang meraih suara terbanyak nomor pada Pemilu 1999, justru yang menjabat menjadi Presiden RI ketika itu.
Masa pemerintahan Gus Dur diwarnai dengan aksi-aksi gerakan separatisme serta konflik-konflik menyangkut suku, agama dan ras.
Puncaknya pada Januari 2001, Gus Dur yang didesak mengundurkan diri oleh mahasiswa memutuskan melepaskan jabatannya sebagai Presiden RI dan menyerahkannya kepada Megawati Soekarnoputri.
Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri sebagai penerus pemerintahan Gus Dur, hanya bertahan hingga Pemilu 2004. Pada Pemilu 2004, partai baru bernama Demokrat dengan pemimpinnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi rival berat Megawati.
Partai pimpinan SBY yang menjanjikan beragam perubahan ketika itu lantas unggul dalam pemilu 2004 dan 2009. SBY menjadi presiden selama dua periode berturut-turut.
Menyongsong Pemilu 2014
Saat ini Indonesia tengah bersiap diri menyongsong pesta demokrasi Pemilu 2014. KPU telah menetapkan 12 Partai Politik sah untuk menjadi peserta pemilu 2014.
Ditengah situasi nasional yang dibelenggu oleh isu korupsi, sebenarnya belum jelas betul bagaimana Pemilu 2014 akan terlaksana. Sebab UU Pilpres sendiri tengah digugat di Mahkamah Konstitusi.
Gugatan yang diajukan adalah menyerentakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Selain itu gugatan juga terkait ketentuan ambang batas dalam UU Pilpres yang menyatakan bahwa parpol yang berhak mengusung capres adalah parpol yang mendapatkan 25 persen suara nasional dan 20 persen kursi di DPR. (*)
Jakarta (ANTARA News) - Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998, jabatannya digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.
Namun publik tetap mendesak agar pemilu baru dipercepat dan segera dilaksanakan, agar sisa-sisa Pemilu 1997 dibersihkan dari pemerintahan.
Akhirnya pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie, pemilu kembali dilaksanakan. Pada saat itu kepentingan utama dilakukannya pemilu agar mendapat pengakuan publik termasuk dunia internasional yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap pemerintahan dan lembaga-lembaga produk Pemilu 1997.
Hal itu kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru, dan sekaligus memangkas masa jabatan Habibie yang harusnya sampai 2003.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu percepatan itu pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah.
Satu hal menonjol yang membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 diikuti banyak sekali peserta.
Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu pada masa itu berjumlah 48 partai. Jumlahnya sudah jauh lebih sedikit dari yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan.
Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelumnya. Sedangkan Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.
Adapun dalam Pemilu 1999 nama tokoh reformasi yang juga pemimpin Partai Kebangkitan Bangsa Abdurahhman Wahid (Gus Dur), terpilih menjadi Presiden RI kala itu. Meskipun PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri meraih suara terbanyak dalam pemilu, namun Megawati tidak langsung menjadi Presiden.
Karena presiden tetap dipilih oleh MPR, maka Gus Dur selaku pimpinan PKB yang meraih suara terbanyak nomor pada Pemilu 1999, justru yang menjabat menjadi Presiden RI ketika itu.
Masa pemerintahan Gus Dur diwarnai dengan aksi-aksi gerakan separatisme serta konflik-konflik menyangkut suku, agama dan ras.
Puncaknya pada Januari 2001, Gus Dur yang didesak mengundurkan diri oleh mahasiswa memutuskan melepaskan jabatannya sebagai Presiden RI dan menyerahkannya kepada Megawati Soekarnoputri.
Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri sebagai penerus pemerintahan Gus Dur, hanya bertahan hingga Pemilu 2004. Pada Pemilu 2004, partai baru bernama Demokrat dengan pemimpinnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi rival berat Megawati.
Partai pimpinan SBY yang menjanjikan beragam perubahan ketika itu lantas unggul dalam pemilu 2004 dan 2009. SBY menjadi presiden selama dua periode berturut-turut.
Menyongsong Pemilu 2014
Saat ini Indonesia tengah bersiap diri menyongsong pesta demokrasi Pemilu 2014. KPU telah menetapkan 12 Partai Politik sah untuk menjadi peserta pemilu 2014.
Ditengah situasi nasional yang dibelenggu oleh isu korupsi, sebenarnya belum jelas betul bagaimana Pemilu 2014 akan terlaksana. Sebab UU Pilpres sendiri tengah digugat di Mahkamah Konstitusi.
Gugatan yang diajukan adalah menyerentakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Selain itu gugatan juga terkait ketentuan ambang batas dalam UU Pilpres yang menyatakan bahwa parpol yang berhak mengusung capres adalah parpol yang mendapatkan 25 persen suara nasional dan 20 persen kursi di DPR. (*)
Sejarah Pemilu di Indonesia
Pewarta: Rangga
Jakarta (ANTARA News) - Pemilihan Umum sebagai sarana penyaluran aspirasi demokrasi memegang peranan penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui pemilu setiap warga negara memiliki hak untuk menentukan orang-orang yang akan duduk di kursi kepemimpinan.
Secara historis, Indonesia telah mengalami 10 kali pemilihan umum masing-masing tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009.
Pada awalnya pemilu ditujukan hanya untuk memilih anggota lembaga perwakilan seperti DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Namun seiring dilakukannya amandemen UUD 1945 pada tahun 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang sebelumnya dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat. Sehingga semenjak 2004 pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu.
Sedangkan pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) dimasukkan pula sebagai bagian dari rezim pemilu.
Sehingga pemilu yang saat ini di kenal masyarakat adalah pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil p
Jakarta (ANTARA News) - Pemilihan Umum sebagai sarana penyaluran aspirasi demokrasi memegang peranan penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui pemilu setiap warga negara memiliki hak untuk menentukan orang-orang yang akan duduk di kursi kepemimpinan.
Secara historis, Indonesia telah mengalami 10 kali pemilihan umum masing-masing tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009.
Pada awalnya pemilu ditujukan hanya untuk memilih anggota lembaga perwakilan seperti DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Namun seiring dilakukannya amandemen UUD 1945 pada tahun 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang sebelumnya dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat. Sehingga semenjak 2004 pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu.
Sedangkan pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) dimasukkan pula sebagai bagian dari rezim pemilu.
Sehingga pemilu yang saat ini di kenal masyarakat adalah pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil p
Menkumham mundur bila revisi KUHAP disponsori koruptor
Pewarta: Muhammad Arief Iskandar
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Amir Syamsuddin mengatakan dirinya akan mengundurkan diri segera bila revisi Kitab Undang - Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana terbukti disponsori oleh koruptor.
"Yang sangat melukai perasaan itu adalah ini pembahasan KUHP dan KUHAP ini katanya karena ada sponsor koruptor, disponsori oleh koruptor. Waduh kalau seandainya itu benar ya, mereka punya data itu, tidak usah melalui proses hukum, siapa saja, saya wajib meletakkan jabatan hari ini juga, tidak nunggu besok lagi saya," katanya di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan, revisi KUHP dan KUHAP sebenarnya telah dirancang jauh-jauh hari sebelum adanya Komisi Pemberantasan Korupsi. "Kalau KUHP itu bahkan sudah 12 tahun itu sebetulnya, jauh sebelum KPK hadir, KUHAP bahkan 40 thn itu, profesornya aja tiga orang telah meninggal," katanya.
Namun demikian, ia mengatakan seiring perjalanan waktu, KPK keberatan dengan beberapa pasal dalam revisi UU tersebut. Ia menegaskan, keberatan terhadap pasal RUU tersebut hal yang wajar, namun demikian, hal itu tidak berarti menafikan ratusan pasal lainnya.
"Berkeberatan terhadap beberapa pasal itu sah saja menurut saya, itu hak daripada KPK, tapi tidak boleh membunuh seluruh rancangan yang 700 pasal itu," katanya.
Ia mengajak seluruh komponen baik mereka yang belum bersepakat untuk turut berpartisipasi dalam melakukan harmonisasi revisi undang-undnag tersebut
"Jadi di dalam perjalanan waktu ini, marilah, ya silakan, terbuka kesempaatan untuk dilakukan harmonisasi. Ini ada persoalan masalah ketatanegaraan yang perlu kita perhatikan bersama. Ini kan negara kita bersama, mari kita gunakanlah waktu ini," katanya.(*)
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Amir Syamsuddin mengatakan dirinya akan mengundurkan diri segera bila revisi Kitab Undang - Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana terbukti disponsori oleh koruptor.
"Yang sangat melukai perasaan itu adalah ini pembahasan KUHP dan KUHAP ini katanya karena ada sponsor koruptor, disponsori oleh koruptor. Waduh kalau seandainya itu benar ya, mereka punya data itu, tidak usah melalui proses hukum, siapa saja, saya wajib meletakkan jabatan hari ini juga, tidak nunggu besok lagi saya," katanya di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan, revisi KUHP dan KUHAP sebenarnya telah dirancang jauh-jauh hari sebelum adanya Komisi Pemberantasan Korupsi. "Kalau KUHP itu bahkan sudah 12 tahun itu sebetulnya, jauh sebelum KPK hadir, KUHAP bahkan 40 thn itu, profesornya aja tiga orang telah meninggal," katanya.
Namun demikian, ia mengatakan seiring perjalanan waktu, KPK keberatan dengan beberapa pasal dalam revisi UU tersebut. Ia menegaskan, keberatan terhadap pasal RUU tersebut hal yang wajar, namun demikian, hal itu tidak berarti menafikan ratusan pasal lainnya.
"Berkeberatan terhadap beberapa pasal itu sah saja menurut saya, itu hak daripada KPK, tapi tidak boleh membunuh seluruh rancangan yang 700 pasal itu," katanya.
Ia mengajak seluruh komponen baik mereka yang belum bersepakat untuk turut berpartisipasi dalam melakukan harmonisasi revisi undang-undnag tersebut
"Jadi di dalam perjalanan waktu ini, marilah, ya silakan, terbuka kesempaatan untuk dilakukan harmonisasi. Ini ada persoalan masalah ketatanegaraan yang perlu kita perhatikan bersama. Ini kan negara kita bersama, mari kita gunakanlah waktu ini," katanya.(*)
Ini Cara Polisi Depok Cegah Tawuran Pelajar
VIVAnews - Seusai aksi penyerangan yang melukai Airlangga (15 tahun), pelajar STM Ganesha Satria, kemarin sore, Kepolisian Resor Kota Depok dan jajarannya mulai mengintensifkan razia di kalangan pelajar.
Sementara itu, sang pelaku yang sudah diketahui identitasnya kini tengah dalam pengejaran petugas. "Kami masih terus melakukan pengejaran. Identitas asal sekolah pelaku sudah kami kantongi. Terkait hal ini juga, kami melakukan razia secara rutin," kata Kapolsek Sukmajaya, Komisaris Agus Widodo, pada VIVAnews.
Akibat penganiayaan itu, Airlangga, pelajar yang masih duduk di bangku kelas 1 STM ini mengalami luka cukup parah. Terutama di bagian kepala yang menyebabkan gegar otak, luka bagian bibir, leher, tangan dan tulang rusuk sebelah kanan. Luka-luka ini didapati akibat hantaman benda keras.
Seperti diketahui sebelumnya, Airlangga dikeroyok sejumlah pelajar lain saat tengah menunggu angkutan umum di Jalan Yukawi Sukmajaya, Depok, jelang pulang ke rumah. Airlangga kritis usai dihajar menggunakan balok kayu.
Para pelaku datang bergerombol menggunakan bus dan truk. Korban yang terkapar langsung dilarikan warga ke Rumah Sakit. Saat ini, korban masih menjalani perawatan intensif di RS Sentra Medika Depok. (one)
Sementara itu, sang pelaku yang sudah diketahui identitasnya kini tengah dalam pengejaran petugas. "Kami masih terus melakukan pengejaran. Identitas asal sekolah pelaku sudah kami kantongi. Terkait hal ini juga, kami melakukan razia secara rutin," kata Kapolsek Sukmajaya, Komisaris Agus Widodo, pada VIVAnews.
Akibat penganiayaan itu, Airlangga, pelajar yang masih duduk di bangku kelas 1 STM ini mengalami luka cukup parah. Terutama di bagian kepala yang menyebabkan gegar otak, luka bagian bibir, leher, tangan dan tulang rusuk sebelah kanan. Luka-luka ini didapati akibat hantaman benda keras.
Seperti diketahui sebelumnya, Airlangga dikeroyok sejumlah pelajar lain saat tengah menunggu angkutan umum di Jalan Yukawi Sukmajaya, Depok, jelang pulang ke rumah. Airlangga kritis usai dihajar menggunakan balok kayu.
Para pelaku datang bergerombol menggunakan bus dan truk. Korban yang terkapar langsung dilarikan warga ke Rumah Sakit. Saat ini, korban masih menjalani perawatan intensif di RS Sentra Medika Depok. (one)
Menko Kesra Sebut Ada Pihak Asing yang Jadi Tersangka Kebakaran Hutan
Rivki - detikNews
Jakarta - Sejak tahun lalu hingga 2014, sudah ada 25 tersangka kasus pembakaran hutan. 25 tersangka itu tidak hanya perorangan melainkan perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan.
"25 sudah tersangka dan di antara sudah diproses di pengadilan dengan hukuman standar 8 tahun penjara. Ada yang dicekal, ada yang kemudian sedang diproses perdatanya," ujar Menko Kesra Agung Laksono di Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Kamis (27/2/2014).
Adapun para tersangka tidak hanya berasal dari warga Indonesia melainkan juga ada warga asing. Untuk yang warga asing rata-rata berasal dari negara tetangga.
"Kebanyakan ada yang dari Malaysia dan Singapura," ujarnya.
Terkait apakah hukuman pencabutan izin operasi bagi perusahaan yang membakar hutan, Menko Kesra menyerahkan semuanya ke pengadilan.
"Itu kami serahkan kepada urusan hukum. Tapi kami juga berpandangan bahwa jangan sampai menimbulkan masalah PHK nanti. Yang paling bertanggung jawab itu yg dihukum. Yang bertanggung jawab, jangan mencari untung sendiri," tuturnya.
Jakarta - Sejak tahun lalu hingga 2014, sudah ada 25 tersangka kasus pembakaran hutan. 25 tersangka itu tidak hanya perorangan melainkan perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan.
"25 sudah tersangka dan di antara sudah diproses di pengadilan dengan hukuman standar 8 tahun penjara. Ada yang dicekal, ada yang kemudian sedang diproses perdatanya," ujar Menko Kesra Agung Laksono di Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Kamis (27/2/2014).
Adapun para tersangka tidak hanya berasal dari warga Indonesia melainkan juga ada warga asing. Untuk yang warga asing rata-rata berasal dari negara tetangga.
"Kebanyakan ada yang dari Malaysia dan Singapura," ujarnya.
Terkait apakah hukuman pencabutan izin operasi bagi perusahaan yang membakar hutan, Menko Kesra menyerahkan semuanya ke pengadilan.
"Itu kami serahkan kepada urusan hukum. Tapi kami juga berpandangan bahwa jangan sampai menimbulkan masalah PHK nanti. Yang paling bertanggung jawab itu yg dihukum. Yang bertanggung jawab, jangan mencari untung sendiri," tuturnya.
Hakim Pahala Terancam Dipecat, 4 Anaknya Datang Memberikan Dukungan Moral
Rina Atriana - detikNews
Jakarta - Hakim Pahala Sethya Lumbanbatu menjalani sidang kode etik dengan ancaman pemecatan karena mengkonsumsi narkoba. Dia ditemani istri dan keempatnya anaknya yang menunggu di ruang terpisah.
Saat sidang yang digelar di gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Kamis (27/2/2014), diskorsing, keluarga kecil Pahala tampak langsung memasuki ruang sidang. Anak-anak Pahala yang terlihat masih kecil itu pun bergegas memeluk ayahnya. Mereka selanjutnya berjalan bersama menuju ruang tunggu hingga sidang dimulai kembali.
Baik Pahala maupun keluarganya belum mau memberikan katerangan kepada wartawan hingga putusan dikeluarkan majelis hakim. Sementara sidang diskorsing hingga pukul 12.30 WIB untuk bermusyawarah memutuskan hukuman bagi Pahala.
Hakim Pahala menjalani sidang MKH atas laporan mengkonsumsi narkoba saat dia bertugas di PTUN Pekanbaru. Ia direkomendasikan dengan sanksi pemberhentian tetap dengan tidak hormat.
Jakarta - Hakim Pahala Sethya Lumbanbatu menjalani sidang kode etik dengan ancaman pemecatan karena mengkonsumsi narkoba. Dia ditemani istri dan keempatnya anaknya yang menunggu di ruang terpisah.
Saat sidang yang digelar di gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Kamis (27/2/2014), diskorsing, keluarga kecil Pahala tampak langsung memasuki ruang sidang. Anak-anak Pahala yang terlihat masih kecil itu pun bergegas memeluk ayahnya. Mereka selanjutnya berjalan bersama menuju ruang tunggu hingga sidang dimulai kembali.
Baik Pahala maupun keluarganya belum mau memberikan katerangan kepada wartawan hingga putusan dikeluarkan majelis hakim. Sementara sidang diskorsing hingga pukul 12.30 WIB untuk bermusyawarah memutuskan hukuman bagi Pahala.
Hakim Pahala menjalani sidang MKH atas laporan mengkonsumsi narkoba saat dia bertugas di PTUN Pekanbaru. Ia direkomendasikan dengan sanksi pemberhentian tetap dengan tidak hormat.
Pemerintah dan MUI Berebut Jadi Penentu Produk Halal
VIVAnews - Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal sampai saat ini masih terus dibahas. Dalam RUU itu, nantinya akan ditentukan mengenai status pendaftaran produk-produk halal. Selain itu, akan ditentukan pula siapa yang berhak menguji produk halal dan menerbitkan sertifikatnya.
Menurut Menteri Agama, Suryadharma Ali, sebagai penentu produk halal saat ini, Majelis Ulama Indonesia memiliki pandangan yang berbeda dengan pemerintah. Misalnya, pemerintah berpandangan bahwa produsen itu dengan sukarela mendaftarkan produksinya untuk mendapatkan sertifikat produk halal, sementara MUI mewajibkan semua produsen.
"Bagi pemerintah, kalau itu menjadi kewajiban bisa membebani para produsen, terutama usaha kecil. Kalau nggak daftar produk, kan bisa disebut pelanggaran hukum. Bisa muncul problem ekonomi. Itu pertimbangan pemerintah," kata Suryadharma di Istana Negara, Jakarta, Kamis 27 Februari 2014.
Tak hanya soal itu, pemerintah dan MUI juga berebut untuk memiliki kewenangan sebagai penentu produk halal. "Siapa yang bisa lakukan pengujian? Kalau pemerintah itu hendaknya pemerintah. Bagi MUI itu MUI," kata Suryadharmam.
Suryadharma menambahkan, jika penentu produk halal itu ada di pemerintah, tentunya akan melibatkan MUI. Ormas Islam itu, berfungsi sebagai pihak yang memberikan rekomendasi kepada pemerintah.
"Jadi, setelah produk diuji di lab, majelis ulama membuat rekomendasi supaya diterbitkan sertifikasi halal oleh pemerintah. Itu konsep pemerintah," kata dia.
Meski demikian, ujar dia, yang paling berhak untuk menentukan produk halal adalah pemerintah setelah RUU JPH itu disahkan. Sebab, pemerintah sebagai pelaksana UU. Apalagi, sertifikasi halal itu berkaitan dengan hukum.
"Kalau diberikan otoritas itu pada MUI, ormas lain kan iri juga. NU mau, Muhammadiyah mau, Persis mau. Jadi, kan nggak bagus, masa ada satu aturan kemudian otoritas pelaksananya lebih dari satu. Untuk itu, harus diberikan kepada pemerintah," lanjutnya.
Sampai saat ini, kata Suryadharma, tentang siapa penentu produk halal itu, MUI masih bersikeras. Pemerintah pun demikian. "Belum ada titik temu," kata dia.
RUU Jaminan Produk Halal ini sudah diusulkan sejak 2006 atas inisiatif DPR. Namun, sampai saat ini pembahasannya belum juga selesai. Sebab, ada pasal yang masih mengganjal, yaitu siapa lembaga yang memiliki otoritas penentu produk halal. (umi)
Menurut Menteri Agama, Suryadharma Ali, sebagai penentu produk halal saat ini, Majelis Ulama Indonesia memiliki pandangan yang berbeda dengan pemerintah. Misalnya, pemerintah berpandangan bahwa produsen itu dengan sukarela mendaftarkan produksinya untuk mendapatkan sertifikat produk halal, sementara MUI mewajibkan semua produsen.
"Bagi pemerintah, kalau itu menjadi kewajiban bisa membebani para produsen, terutama usaha kecil. Kalau nggak daftar produk, kan bisa disebut pelanggaran hukum. Bisa muncul problem ekonomi. Itu pertimbangan pemerintah," kata Suryadharma di Istana Negara, Jakarta, Kamis 27 Februari 2014.
Tak hanya soal itu, pemerintah dan MUI juga berebut untuk memiliki kewenangan sebagai penentu produk halal. "Siapa yang bisa lakukan pengujian? Kalau pemerintah itu hendaknya pemerintah. Bagi MUI itu MUI," kata Suryadharmam.
Suryadharma menambahkan, jika penentu produk halal itu ada di pemerintah, tentunya akan melibatkan MUI. Ormas Islam itu, berfungsi sebagai pihak yang memberikan rekomendasi kepada pemerintah.
"Jadi, setelah produk diuji di lab, majelis ulama membuat rekomendasi supaya diterbitkan sertifikasi halal oleh pemerintah. Itu konsep pemerintah," kata dia.
Meski demikian, ujar dia, yang paling berhak untuk menentukan produk halal adalah pemerintah setelah RUU JPH itu disahkan. Sebab, pemerintah sebagai pelaksana UU. Apalagi, sertifikasi halal itu berkaitan dengan hukum.
"Kalau diberikan otoritas itu pada MUI, ormas lain kan iri juga. NU mau, Muhammadiyah mau, Persis mau. Jadi, kan nggak bagus, masa ada satu aturan kemudian otoritas pelaksananya lebih dari satu. Untuk itu, harus diberikan kepada pemerintah," lanjutnya.
Sampai saat ini, kata Suryadharma, tentang siapa penentu produk halal itu, MUI masih bersikeras. Pemerintah pun demikian. "Belum ada titik temu," kata dia.
RUU Jaminan Produk Halal ini sudah diusulkan sejak 2006 atas inisiatif DPR. Namun, sampai saat ini pembahasannya belum juga selesai. Sebab, ada pasal yang masih mengganjal, yaitu siapa lembaga yang memiliki otoritas penentu produk halal. (umi)
Langganan:
Postingan (Atom)