INILAH.COM, Jakarta - Tingkat keterpilihan calon
presiden Joko Widodo terus melorot. Mendekati hari H pelaksanaan Pemilu
Presiden 9 Juli mendatang, pamor Joko malah kian redup. Siapa kambing
hitamnya?
Jika mundur ke belakang, pengusungan Joko Widodo sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan karena tingkat keterpilihannya yang melesat tinggi, melebihi tokoh politik lainnya.
Seperti riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 26-29 Maret 2014 lalu, elektabilitas Jokowi berada di angka 51,8 persen. Angka ini melampaui Prabowo Subianto yang masih berada di angka 22,5 persen.
Namun tiga bulan berselang, pamor Jokowi yang telah berpasangan dengan Jusuf Kalla, secara konsisten justru jeblok. Namun sebaliknya, Prabowo Subianto yang telah berpasangan dengan Hatta Rajasa secara konsisten meningkat.
Setidaknya survei Indo Barometer yang dilakukan pada 16-22 Juni 2014 mengungkapkan elektabilitas Prabowo-Hatta 42,6 persen dan Jokowi-JK 46,0 persen. Margin antar keduanya kian tipis, di kisaran 3,5 persen.
Kondisi ini tidak dapat diterima sepenuhnya oleh Tim Kampanye Nasional Joko-Kalla yang juga politisi PDI Perjuangan Achmad Basarah. Ia mengaku tidak percaya dengan hasil riset sejumlah survei tersebut.
Alasannya, hasil riset tidak berbanding lurus dengan antusiasme masyarakat kepada Jokowi saat kampanye. "Rasanya aneh kalau elektabilitas Jokowi disebut tidak pernah mengalami peningkatan," sesal Basarah dalam siaran pers yang diterima, akhir pekan kemarin.
Lebih lanjut Basarah menuding ada upaya skenario kecurangan Pemilu Presiden mulai rekayasa pembentukan opini dengan memanfaatkan lembaga-lembaga survei. Tujuannya, menurut mantan aktivis GMNI ini, untuk menaikkan elektabilitas Prabowo-Hatta dan menurunkan elektabilitas Jokowi-JK.
Basarah menuding, proses pemilu legislatif 9 April 2014 lalu terdapat praktik kecurangan dalam pelaksanaannya seperti pencoblosan, penghitungan hingga rekapitulasi yang melibatkan oknum penyelenggara pemilu. "Sebagian besar masih bertugas kembali dalam Pemilu Presiden ini," ungkap Wakil Sekjen DPP PDI Perjuangan.
Pernyataan politisi PDI Perjuangan ini tentu patut diperdebatkan. Menuding lembaga riset politik sebagai upaya perekayasaan opini yang berujung pada rekayasa pemilu presiden tentu sebagai upaya kambing hitam atas kondisi terkini terhadap elektabilitas Jokowi-Kalla. Padahal, turunnya elektabilitas kandidat presiden tentu banyak faktor.
Salah satu hal yang paling banyak mendapat kritik ihwal tidak berjalannya mesin politik partai pendukung di koalisi Jokowi-Kalla. Koalisi Jokowi-JK dalam kenyataannya lebih memaksimalkan peran para relawan ketimbang mesin partai politik yang memiliki jaringan hingga struktur bawah.
Berbeda dengan koalisi Prabowo-Hatta, di koalisi ini mesin partai telah hidup. Hal itu pula ditegaskan dalam riset Indo Barometer yang mengungkapkan partai politik pendukung pasangan ini telah berjalan. "Mesin koalisi Prabowo-Hatta mulai bangkit," tegas Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari. [mdr]
Jika mundur ke belakang, pengusungan Joko Widodo sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan karena tingkat keterpilihannya yang melesat tinggi, melebihi tokoh politik lainnya.
Seperti riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 26-29 Maret 2014 lalu, elektabilitas Jokowi berada di angka 51,8 persen. Angka ini melampaui Prabowo Subianto yang masih berada di angka 22,5 persen.
Namun tiga bulan berselang, pamor Jokowi yang telah berpasangan dengan Jusuf Kalla, secara konsisten justru jeblok. Namun sebaliknya, Prabowo Subianto yang telah berpasangan dengan Hatta Rajasa secara konsisten meningkat.
Setidaknya survei Indo Barometer yang dilakukan pada 16-22 Juni 2014 mengungkapkan elektabilitas Prabowo-Hatta 42,6 persen dan Jokowi-JK 46,0 persen. Margin antar keduanya kian tipis, di kisaran 3,5 persen.
Kondisi ini tidak dapat diterima sepenuhnya oleh Tim Kampanye Nasional Joko-Kalla yang juga politisi PDI Perjuangan Achmad Basarah. Ia mengaku tidak percaya dengan hasil riset sejumlah survei tersebut.
Alasannya, hasil riset tidak berbanding lurus dengan antusiasme masyarakat kepada Jokowi saat kampanye. "Rasanya aneh kalau elektabilitas Jokowi disebut tidak pernah mengalami peningkatan," sesal Basarah dalam siaran pers yang diterima, akhir pekan kemarin.
Lebih lanjut Basarah menuding ada upaya skenario kecurangan Pemilu Presiden mulai rekayasa pembentukan opini dengan memanfaatkan lembaga-lembaga survei. Tujuannya, menurut mantan aktivis GMNI ini, untuk menaikkan elektabilitas Prabowo-Hatta dan menurunkan elektabilitas Jokowi-JK.
Basarah menuding, proses pemilu legislatif 9 April 2014 lalu terdapat praktik kecurangan dalam pelaksanaannya seperti pencoblosan, penghitungan hingga rekapitulasi yang melibatkan oknum penyelenggara pemilu. "Sebagian besar masih bertugas kembali dalam Pemilu Presiden ini," ungkap Wakil Sekjen DPP PDI Perjuangan.
Pernyataan politisi PDI Perjuangan ini tentu patut diperdebatkan. Menuding lembaga riset politik sebagai upaya perekayasaan opini yang berujung pada rekayasa pemilu presiden tentu sebagai upaya kambing hitam atas kondisi terkini terhadap elektabilitas Jokowi-Kalla. Padahal, turunnya elektabilitas kandidat presiden tentu banyak faktor.
Salah satu hal yang paling banyak mendapat kritik ihwal tidak berjalannya mesin politik partai pendukung di koalisi Jokowi-Kalla. Koalisi Jokowi-JK dalam kenyataannya lebih memaksimalkan peran para relawan ketimbang mesin partai politik yang memiliki jaringan hingga struktur bawah.
Berbeda dengan koalisi Prabowo-Hatta, di koalisi ini mesin partai telah hidup. Hal itu pula ditegaskan dalam riset Indo Barometer yang mengungkapkan partai politik pendukung pasangan ini telah berjalan. "Mesin koalisi Prabowo-Hatta mulai bangkit," tegas Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari. [mdr]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar