BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Kamis, 24 April 2014

Begini Praktik Politik Uang Terjadi di Pileg 2014

ERWIN DARIYANTO - detikNews

Jakarta - Pemilihan umum mestinya menjadi ajang pesta demokrasi. Sarana para politisi menawarkan visi dan misinya kepada calon pemilih. Namun faktanya sejak 2009 pemilu disebut banyak dikotori oleh praktik politik uang.

Tahun ini praktik politik uang malah terjadi begitu masif terjadi, hampir di semua lini. "Transaksional itu terjadi mulai dari masyarakatnya, calon anggota legislatif, saksi, partai hingga petugas PPS maupun PPK," kata politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Eva Kusuma Sundari saat berbincang dengan detikcom, Rabu (23/4/2014).

Seorang caleg jika ingin terpilih harus berani 'menyebar' uang di semua lini tersebut. Menjelang pemungutan suara mereka harus membayar calon pemilih. "Istilahnya tak lagi one man one vote, tapi one envelope one vote," kata Eva.

Untuk mengamankan perolehan suara, caleg harus membayar saksi yang akan mengawal data mulai dari tempat pemungutan suara sampai ke Panitia Pemilihan Kecamatan.

Saksi sebuah partai yang bertugas di TPS tentu tak akan mengawasi secara detail perolehan suara si caleg, kecuali dia mendapat perintah dari politisi tertentu.

"Bisa saja saksi dibayar untuk mengamankan perolehan suara si Caleg A misalnya. Dia bisa berkolusi dengan petugas untuk memindahkan perolehan suara ke caleg tertentu," kata Eva.

Saksi saja tak cukup, karena rentan dikelabuhi dan tak bisa 'mengakali' jika perolehan suara si caleg kurang. Maka jika ingin terpilih caleg harus membayar petugas PPS maupun PPK. "Petugas PPS dan PPK ini bahkan berani terang-terangan minta (uang)," kata Eva.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan Ahmad Yani pun mengakui maraknya praktik transaksional di pemilu tahun ini. Bahkan dia mengaku dimintai uang oleh petugas PPK di salah satu kecamatan di Sumatera Selatan.

Petugas tersebut secara halus mengatakan bahwa, terpilih tidaknya Ahmad Yani sebagai anggota DPR tergantung dari mereka.

"Mereka menawari Rp 30 ribu untuk satu suara. Saya marahi mereka, saya ingin lurus tidak mau menyuap, saya menolak politik uang," kata Ahmad Yani.

Tidak ada komentar: