VIVAnews - Polisi hingga kini belum juga menyelesaikan dugaan kasus korupsi Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan Nasional. Menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Anton Bachrul Alam, banyaknya rumah sakit maupun sekolah yang terlibat membuat kasus ini lama penanganannya.
Anton mengatakan untuk kasus pengadaan barang-barang oleh Kemenkes, terdapat 17 rumah sakit di 12 provinsi. Berbagai rumah sakit ini disinyalir menerima barang-barang tersebut. "Penyidik memerlukan waktu dan meminta keterangan dari 12 provinsi," kata Anton di Jakarta, Jumat, 22 Juli 2011.
Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, ditafsirkan kerugian negara terkait kasus ini mencapai 15 milyar. Saat ini, kata Anton, polisi sudah memeriksa 79 saksi dari 12 provinsi itu. "Minggu depan akan dimintai keterangan dari pihak rumah sakit dari 17 rumah sakit itu," kata Anton.
Sementara untuk kasus korupsi pada Kementerian Pendidikan Nasional, terdapat 30 provinsi yang harus diperiksa, sehinga butuh waktu yang lama. Untuk kasus ini, polisi baru memeriksa 39 saksi dan sudah di keluarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan diserahkan ke Kejaksaan Agung.
Ditanya apakah polisi sudah menetapkan tersangka, Anton mengatakan terlalu dini untuk menetapkan itu. "Jangan ngomongin tersangka dulu, nanti lah kami sampaikan," kata Anton.
Saat ini, kepolisian tengah mengusut dugaan korupsi dalam proyek pengadaan sarana peningkatan mutu pendidikan di Kementerian Pendidikan Nasional. Proyek dengan nilai besar ini antara lain dimenangkan oleh PT. Mahkota Negara di Kementerian Kesehatan.
Perusahaan ini didirikan oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, bersama saudaranya, Muhammad Nasir. Perusahaan itu memenangkan proyek pengadaan alat bantu belajar-mengajar pendidikan dokter dan dokter spesialis di 17 rumah sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan. Kontrak proyek pada 2009 itu bernilai Rp492,98 miliar. (kd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar