JAKARTA - Kalangan direksi dan mantan direksi PT Merpati Nusantara Airlines berharap-harap cemas. Kejaksaan Agung (Kejagung) segera menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyewaan dua pesawat MA-60 dari Amerika Serikat. Kejagung mengindikasikan tersangka berasal dari pembuat kebijakan dari kalangan direksi.
"Kami tidak melihat kasus ini sampai ke kabinet atau Menteri BUMN. Kebijakan menyewa pesawat ditentukan di tingkat direksi, baik itu di kalangan direksi yang sekarang atau mantan," kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Jasman Panjaitan, Rabu(27/7).
Jasman mengungkapkan, pihaknya masih terus menelusuri siapa di antara pembuat kebijakan yang paling ngotot menyewa pesawat dari perusahaan asal Amerika, TALG, tersebut. Sebab, sejatinya kalangan direksi mengetahui bahwa dua pesawat Boeing 737 yang disewa dari perusahaan Amerika itu sedang dipakai di Tiongkok. "Mereka tahu kalau pesawatnya memang tidak ada, tapi mengapa diteruskan kebijakan ini"? katanya.
Jasman mengungkapkan, kejanggalan lain kerja sama sewa pesawat tersebut juga tampak dari pihak yang ditunjuk untuk melakukan transaksi. Alih-alih langsung berkomunikasi dengan TALG, Merpati malah bertransaksi dengan firma hukum Hume and Associates. "Tersangka belum, tapi yang jelas kami akan mendapatkannya," katanya.
Mantan kepala pusat penerangan hukum (Kapuspenkum) Kejagung itu membantah bahwa kasus tersebut ranah perdata. Kasus perdata, kata dia, adalah kerjasama pihak swasta antara orang per orang. "Semua kasus kerjasama antara swasta dan negara adalah domain pidana," tegasnya.
Seperti diketahui, dugaan korupsi penyewaan pesawat itu sudah sampai tahap penyidikan meski belum ada tersangka. Kasus bermula pada 2007 saat Merpati menyewa dua pesawat dari perusahaan makelar pesawat terbang asal Amerika Serikat. Dua pesawat tersebut disewa untuk dijajal dulu sebelum akhirnya benar-benar dibeli dengan ongkos sewa masing-masing pesawat sebesar USD 500 ribu. Namun, setelah duit dibayarkan, broker pesawat itu tidak pernah menyerahkan burung besi yang dijanjikan.
Jasman menambahkan, saat ini pihaknya masih terus menyelidiki bagaimana praktek wanprestasi broker pesawat itu bisa terjadi. Karena itu, mereka akan menyelidik proses penyewaan dua pesawat itu. Mulai dari tender, persetujuan, pihak-pihak yang bertanggungjawab hingga pencairan dana sewa. Kejagung saat ini juga memprioritaskan supaya duit USD 1 juta (setara Rp 8,5 miliar) itu bisa kembali ke kas negara. (aga/iro)
"Kami tidak melihat kasus ini sampai ke kabinet atau Menteri BUMN. Kebijakan menyewa pesawat ditentukan di tingkat direksi, baik itu di kalangan direksi yang sekarang atau mantan," kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Jasman Panjaitan, Rabu(27/7).
Jasman mengungkapkan, pihaknya masih terus menelusuri siapa di antara pembuat kebijakan yang paling ngotot menyewa pesawat dari perusahaan asal Amerika, TALG, tersebut. Sebab, sejatinya kalangan direksi mengetahui bahwa dua pesawat Boeing 737 yang disewa dari perusahaan Amerika itu sedang dipakai di Tiongkok. "Mereka tahu kalau pesawatnya memang tidak ada, tapi mengapa diteruskan kebijakan ini"? katanya.
Jasman mengungkapkan, kejanggalan lain kerja sama sewa pesawat tersebut juga tampak dari pihak yang ditunjuk untuk melakukan transaksi. Alih-alih langsung berkomunikasi dengan TALG, Merpati malah bertransaksi dengan firma hukum Hume and Associates. "Tersangka belum, tapi yang jelas kami akan mendapatkannya," katanya.
Mantan kepala pusat penerangan hukum (Kapuspenkum) Kejagung itu membantah bahwa kasus tersebut ranah perdata. Kasus perdata, kata dia, adalah kerjasama pihak swasta antara orang per orang. "Semua kasus kerjasama antara swasta dan negara adalah domain pidana," tegasnya.
Seperti diketahui, dugaan korupsi penyewaan pesawat itu sudah sampai tahap penyidikan meski belum ada tersangka. Kasus bermula pada 2007 saat Merpati menyewa dua pesawat dari perusahaan makelar pesawat terbang asal Amerika Serikat. Dua pesawat tersebut disewa untuk dijajal dulu sebelum akhirnya benar-benar dibeli dengan ongkos sewa masing-masing pesawat sebesar USD 500 ribu. Namun, setelah duit dibayarkan, broker pesawat itu tidak pernah menyerahkan burung besi yang dijanjikan.
Jasman menambahkan, saat ini pihaknya masih terus menyelidiki bagaimana praktek wanprestasi broker pesawat itu bisa terjadi. Karena itu, mereka akan menyelidik proses penyewaan dua pesawat itu. Mulai dari tender, persetujuan, pihak-pihak yang bertanggungjawab hingga pencairan dana sewa. Kejagung saat ini juga memprioritaskan supaya duit USD 1 juta (setara Rp 8,5 miliar) itu bisa kembali ke kas negara. (aga/iro)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar