BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 06 Januari 2020

Bagaimana Implementasi Inpres Moratorium Izin Kebun Sawit? Ini Kajian Sawit Watch

dikutip dari : MONGABAY
oleh di 30 July 2019
  • Sawit Watch melakukan kajian soal Inpres Moratorium Izin Kebun Sawit ini. Dari 25 provinsi dan 247 kabupaten, kota yang mempunyai perkebunan sawit, mayoritas belum memberikan respon terhadap inpres ini. Ada 19 provinsi dan 239 kabupaten kota belum memberikan respon.
  • Data Sawit Watch, terdapat 22,2 juta hektar perkebunan sawit di Indonesia, 30% dimiliki petani. Sektor ini, menyumbang kontribusi ekspor 12% dengan nilai produksi pada 2016 mencapai 31 juta ton.
  • Ada beberapa kendala dalam mengimplementasikan inpres, seperti belum ada alokasi anggaran pemerintah daerah untuk operasional implementasi inpres, dan tidak ada panduan lebih teknis yang dapat diadopsi pemerintah daerah untuk mengimplementasikan inpres. Juga tidak ada akses keterbukaan bagi masyarakat sipil untuk mendapatkan perkembangan implementasi Inpres tim kerja nasional.
  • Pada level nasional, pemerintah sudah membentuk Tim Kerja Inpres Moratorium Izin Perkebunan Sawit. Tim ini bertugas, memverifikasi data pelepasan hutan atau tukar-menukar kawasan hutan untuk perkebunan, peta Izin usaha perkebunan (IUP) atau surat daftar usaha perkebunan (STDUP), izin lokasi, dan hak guna usaha (HGU).


Pada September 2018, Presiden Joko Widodo, mengeluarkan Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit. Sayangnya, implementasi kebijakan itu masih minim, setidaknya, terlihat dari hasil kajian Sawit Watch di beberapa daerah di Indonesia, seperti Papua, Papua Barat, Sulawesi Selatan dan lain-lain.
Dari pantauan Sawit Watch, implementasi inpres ini belum berjalan optimal.  Kerja-kerja di tingkat nasional selama beberapa bulan ini, katanya, sebatas persiapan dan koordinasi antar kementerian serta belum terlihat hal teknis berarti. Respon pemerintah daerah pun masih terbilang kecil, ada 19 provinsi dan 239 kabupaten kota belum memberikan respon.
“Enam provinsi dan delapan pemerintah kabupaten mempunyai komitmen mengimplementasikan inpres ini,” kata Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, dalam diskusi di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dia bilang, tujuan kebijakan ini menata ulang perizinan perkebunan sawit, menciptakan industri perkebunan sawit berkelanjutan, kepastian hukum, serta menjaga lingkungan dan peningktan produktivitas sawit.
Baca juga :  Akhirnya, Inpres Moratorium Perkebunan Sawit Terbit
Presiden memberikan instruksi kepada kementerian dan lembaga terkait untuk memperbaiki tata kelola kebun sawit dalam jangka waktu selama tiga tahun.
Dia bilang, ada kendala dalam mengimplementasikan inpres ini. Pertama, belum ada alokasi anggaran pemerintah daerah untuk operasional implementasi inpres. Kedua, tidak ada panduan lebih teknis yang dapat diadopsi oleh pemerintah daerah untuk mengimplementasikan inpres.
Ketiga, tak ada akses keterbukaan bagi masyarakat sipil untuk mendapatkan perkembangan implementasi Inpres tim kerja nasional.
Berdasarkan catatan Sawit Watch, terdapat 22,2 juta hektar perkebunan sawit di Indonesia, 30% dimiliki petani. Sektor ini menyumbang kontribusi ekspor 12% dengan nilai produksi pada 2016 mencapai 31 juta ton.
Nilai ekspor dari komoditas sawit US$17,8 miliar atau setara Rp231,4 triliun. Di tengah sumbangan devisa cukup tinggi, komoditas kelapa ini juga menimbulkan banyak permasalahan.
Setidaknya, terdapat 782 komunitas masyarakat berkonflik dengan perkebunan besar sawit. Selain itu, luasan perkebunan sawit juga sekitar 2,3 juta hektar tumpang tindih dengan kawasan hutan.
Pada level nasional, katanya, pemerintah sudah membentuk Tim Kerja Inpres Moratorium Izin Perkebunan Sawit. Tim ini bertugas memverifikasi data pelepasan hutan atau tukar-menukar kawasan hutan untuk perkebunan, peta izin usaha perkebunan (IUP) atau surat daftar usaha perkebunan (STDUP), izin lokasi, dan hak guna usaha (HGU).
Selain itu, juga menetapkan standar minimum kompilasi data, sinkronisasi dengan pelaksanaan kebijakan satu peta yang berkaitan dengan kesesuaian perizinan antara yang dikeluarkan kementerian dan lembaga pemerintah dengan pemerintah daerah, IUP dengan HGU. Juga surat keputusan mengenai penunjukan ataupenetapan kawasan hutan dengan HGU. Kemudian, mengeluarkan rekomendasi kepada menteri, gubernur, bupati atau walikota.
“Secara garis besar, tim kerja ini harus melaporkan kepada presiden berkenaan tugasnya itu. Dia harus dapat memberikan informasi dan perkembangannya. Sampai saat ini, belum ada perkembangan berkenaan wilayah itu,” kata Inda.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, tengah menyiapkan standar operasi prosedur (SOP) untuk persiapan moratorium sawit, yaitu, membuat penyusunan pemetaan dan validasi data.
SOP oleh Kemenko Kemenko Perekonomian, katanya, berisi data mengenai tipologi permasalahan sawit dalam kawasan hutan yang akan direkomendasikan ke kementrian teknis.
Selain itu, katanya, Kemenko Perekonomian juga menginstruksikan ke jajaran untuk menyiapkan database peta dan perizinan. Untuk database sendiri, Indonesia baru memiliki data tutupan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Beberapa provinsi dan kabupaten kota memiliki perkembangan maupun dinamika menarik. Inpres ini, katanya, sebagai pintu masuk bagi beberapa daerah dalam mengimplementasikan program-program Nawacita, seperti tanah obyek reforma agraria (tora) dan perhutanan sosial.
Bahkan, katanya, beberapa pemerintah provinsi, dan kabupaten kota telah mengeluarkan satu kebijakan internal sebagai turunan agar inpres dapat terimplementas dengan baik.
Meski begitu, katanya, masih banyak provinsi, kabupaten dan kota hingga kini belum memberikan respon berarti terkait inpres itu.
Di Papua, misal, pemahaman pemerintah daerah soal inpres ini masih lemah. Pemprov Papua, katanya, masih memahami inpres sebatas tak ada izin baru. Juga belum ada instruksi lanjutan Gubernur Papua, terkait inpres ini.
“Kondisi ini, sangat memprihatinkan. Sejak dikeluarkan, September 2018, focus group discussion tentang inpres ini di Papua pada November 2018, pemerintah daerah belum menganggap hal ini penting.”
Bahkan, katanya, kala melihat pemahaman Dinas Pertanian dan Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Satu Pintu, masih minim. Bila tak ada perubahan, katanya, dia pesimis inpres ini dapat terimplementasi dengan baik di Papua.
Meski begitu, kata Inda, proses pemantauan dan evaluasi perkebunan sawit di Papua sebenarnya sudah berjalan sebelumiInpres ada. Dinas Perizinan Papua, katanya, bahkan mencabut izin tiga perusahaan perkebunan sawit di Boven Digoel.
“Ini menunjukkan, proses evaluasi sudah berjalan. Perlu dilihat kembali bagaimana mengevaluasi semua perizinan di Papua, termasuk kebun masyarakat kalau ada.”
Kajian juga dilakukan di Papua Barat. Papua Barat, katanya, telah membuat komitmen Deklarasi Manokwari. Komitmen ini antara lain, meningkatkan fungsi lindung hinggal 70% dalam alokasi pola ruang provinsi. Hal ini sebagai wujud komitmen provinsi konservasi yang dideklarasikan pada 2015. Meski begitu, katanya, pelaksanaan inpres ini di Papua Barat juga belum optimal.
“Saat ini, Papua Barat mengumpulkan data sekunder berkenaan perkebunan sawit, di mana luas perkebunan sawit di Papua Barat, seluas 300.000 hektar. Ini bersinergis dengan Inpres Moratorium Sawit.”
Dia bilang, publik menunggu implementasi dari Deklarasi Manokwari dan Inpres Moratorium Sawit, dalam bentuk kebijakan publik. “Baik itu, peraturan daerah atau bentuk kebijakan lain,” katanya.
Di Sulawesi Selatan, pemerinyah provinsi menunjukkan ketertarikan mengimplementasikan inpres ini. Inpres, katanya, dipandang peluang baik memperbaiki permasalahan dalam sektor perkebunan sawit.
“Sebagai langkah awal, Pemprov Sulsel akan merancang pertemuan dengan menghadirkan sejumlah organsiasi perangkat daerah. Mereka juga berencana membentuk tim kerja yang melibatkan berbagai kalangan mulai dari pemerintah daerah, akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil,” katanya.
Di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, pemeirntah kabupaten menyatakan siap perbaikan tata kelola perkebunan sawit lebih berkelanjutan dan berkeadilan. Bupati Banyuasin, Askolani Jasi menegaskan, segera membentuk kebijakan lokal merespon inpres ini.
Mereka rencanakan kebijakan berupa surat edaran atau peraturan bupati (perbup). Selain itu, Pemkab Banyuasin juga berkomitmen membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di wilayah mereka.
Gorontalo, juga menyambut baik inpres ini. Bupati Gorontalo telah berkoordinasi dengan seluruh OPD untuk menindaklanjuti inpres dalam bentuk tim kerja di tingkat kabupaten. Untuk mendukung inpres ini, katanya, bupati akan mengeluarkan surat edaran kepada OPD terkait. Kondisi geografis Kabupaten Gorontalo, katanya, tidak mendukung pengembangan perkebunan sawit di kabupaten itu.
Pemerintah kabupaten, sedang fokus pengembangan produk lokal seperti kelapa dan jagung. Pemkab Gorontalo juga akan membentuk GTRA.
Serupa dengan Kabupaten Sanggau, juga berkomitmen melaksanakan inpres ini. Kondisi ini dibuktikan dengan Surat Edaran Bupati Sanggau Nomor 065 soal pelaksanaan Inpres No 8/2018, tertanggal 29 November 2018.

Komitmen Bupati Sanggau, katanya, terelaborasi dalam beberapa hal seperti moratorium pemberian izin usaha baru khusus dari pelepasan kawasan hutan untuk budidaya.
Kemudian, mendorong optimalisasi pembangunan kebun pada lahan yang ada perizinan, peningkatan peran TP5K untuk pembinaan perusahaan perkebunan dan kelembagaan, penanaman kembali kebun plasma pola PIR dengan pemanfaatan dana peremajaan sawit dari BPDP-KS.
Juga, mendorong pembangunan kebun rakyat dengan pemberian bantuan benih unggul dan saran produksi lain, penyediaan pupuk bersubsidi untuk perkebunan rakyat, serta mewujudkan keterbukaan informasi usaha perkebunan online.
Kabupaten Buol, Sulawesi tengah, katanya, juga berkomitmen menertibkan perizinan perkebunan sawit. Hal itu sejalan dengan hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Buol yang tak lagi bisa membuka kawasan hutan buat perkebunan sawit.
“Buol dapat dikatakan sebagai salah satu kabupaten yang memiliki perkembangan cukup progresif dalam merespon inpres ini.”
Buol, telah menerbitkan Peraturan Bupati Nomor 8/2019 tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan sawit. Pemerintah Buol, katanya, juga memiliki surat keputusan tentang pembentukan GTRA.
Yang menjadi tantangan, katanya, mensinkronisasikan dan sinergis antara kerja-kerja tim GTRA dengan memasukkan poin-poin implementasi perbup tadi.

Banyak masalah
Yosi Amelia, dari Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan,
implementasi inpres masih lamban. Banyak kasus- belum selesai, seperti silang sengkarut perkebunan sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. Padahal, Tesso Nilo, salah satu taman nasional. Tesso Nilo merupakan habitat penting satwa dilindungi terancam punah seperti harimau Sumatera dan gajah Sumatera.
Berdasarkan inventarisasi KLHK ada 360 jenis flora, 82 jenis tanaman obat, 114 jenis burung, 50 jenis ikan, 33 jenis herpetofauna, dan 644 jenis kumbang.
Praktik perambahan, katanya, mengubah wajah dari taman nasional Tesso Nilo. Dengan luasan awal 81.793 hektar, perambahan mencapai 54%, setara 44.544 hektar.
“Soal perkebunan sawit di kawasan hutan Riau juga belum terselesaikan. Kejahatan hutan di Riau, masih terus berlangsung hingga kini. Satu per satu hutan Riau terus tergerus.”
Perkembangan kerja-kerja implementasi inpres ini, katanya, dalam enam bulan sejak terbit, beberapa kementerian dan lembaga belum optimal. Kerja-kerja, katanya, masih bersifat persiapan dan koordinasi.
“Dari 25 provinsi dan 247 kabupaten, kota yang mempunyai perkebunan sawit, mayoritas belum memberikan respon terhadap inpres ini. Hasil pemantauan kami, menunjukkan, 19 provinsi dan 239 kabupaten kota belum memberikan respon.”
Pemerintah pusat, katanya, perlu menyiapkan anggaran khusus bagi pemerintah daerah dalam mengimplementasikan inpres ini di tingkat daerah. Tim kerja nasional perlu menyusun dokumen peta jalan dan panduan yang jadi rujukan pemerintah daerah. “Hingga bisa mempermudah kerja, agar lebih terarah.”
Wilayah-wilayah yang belum memiliki perkebunan sawit atau perkebunan sawit tak luas, katanya, perlu jadi prioritas.
Dia menyarankan, pemerintah membangun sebuah mekanisme atau platform komunikasi antara tim kerja nasional dengan pemerintah daerah.
“Ini perlu agar koordinasi kerja-kerja antara keduanya lebih terkomunikasikan dengan baik dan sistematis.”

Tidak ada komentar: