BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 06 Januari 2020

Lisensi dan Perizinan

dkutip dari MONGABAY
Lisensi dan izin berfungsi untuk mengatur operasi untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat lokal, dan menghasilkan pendapatan untuk kegiatan pemerintah. Dalam bidang industri ekstraktif dan kehutanan proses lisensi dan izin dilakukan untuk memastikan bahwa kegiatan yang berlangsung di hutan dan lahan gambut sesuai dengan peruntukan penggunaan lahan, mematuhi peraturan lingkungan dan kewajiban yang dilakukan di area konsesi.
Lisensi diperlukan untuk semua kegiatan industri ekstraktif dan darat yang berlangsung di Indonesia. Kegiatan seperti pertambangan, pembalakan, dan pembukaan hutan dan lahan untuk perkebunan (termasuk kelapa sawit dan kayu) memerlukan serangkaian izin dari instansi pemerintah yang berbeda, dan dari berbagai tingkatan pemerintahan tergantung pada jenis kegiatan dan tanah yang direncanakan.
Proses perizinan berbeda untuk setiap izin atau kegiatan jenis, dan dengan persetujuan dari berbagai instansi pemerintah yang berbeda tergantung pada masing-masing sektor.
Lisensi yang diperlukan bagi perusahaan diperlukan untuk memperjelas kepemilikan maupun hak pengelolaan tanah negara. Kegiatan yang berlangsung di Kawasan Hutan atau di darat perawan memiliki persyaratan izin khusus.
Kewenangan untuk administrasi sistem lisensi di Indonesia dipegang oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ada juga peraturan daerah khusus yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi atau kabupaten. Kewenangan untuk memungkinkan kegiatan, termasuk perkebunan, pertambangan, dan penebangan, di Kawasan Hutan adalah dengan Kementerian Kehutanan, yang bertanggung jawab untuk hutan produksi dan konservasi.
Industri ekstraktif yang bekerja di kawasan hutan adalah industri pertambangan, perkebunan (utamanya kelapa sawit)  serta pembalakan kayu dan pulp and paper.
Pertambangan
Berdasarkan Undang-Undang nomor 4/2009 tentang Minerba, pertambangan  di Indonesia diatur dalam wilayah pertambangan, pemerintah pusat menunjuk wilayah pertambangan dalam rencana tata ruang nasional setelah berkonsultasi dengan parlemen dan pemerintah daerah. Sebuah wilayah pertambangan dikategorikan dalam lima jenis mineral yaitu: radioaktif, mineral logam, batubara, non logam dan/atau batuan.
Wilayah pertambangan dikategorikan dan ditetapkan menjadi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Sebuah Izin Usaha Pertambangan (IUP) hanya dapat diberikan kepada perusahaan pertambangan untuk lokasi yang telah ditunjuk WIUP-nya. Pemegang izin pertambangan tidak memiliki kepemilikan tanah terhadap area yang dialokasikan, dan hanya diperbolehkan untuk mengambil satu jenis mineral di area konsesi mereka dan tidak otomatis untuk mengeksploitasi mineral lainnya di konsesi yang sama.
Proses lisensi
Lisensi dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), gubernur atau bupati tergantung kepada skala operasi pertambangan. Bupati memiliki otoritas untuk area tambang di dalam kabupaten dan konsesi yang lintas kabupaten otoritasnya terletak pada gubernur.
Ada dua tahap izin pertambangan: eksplorasi (sesuai dengan tahap awal pertambangan) dan operasi (untuk semua tahapan). Izin eksplorasi dialokasikan untuk kegiatan yang melibatkan survei dan melakukan studi kelayakan, dan produksi operasi untuk konstruksi, operasi pertambangan, penyulingan, pengolahan, pengangkutan dan pemasaran.
Izin eksplorasi pertambangan
Untuk mendapatkan hak atas tanah, sebuah perusahaan harus mendapatkan izin lokasi. Jika lahan termasuk daerah tanah adat, kompensasi harus dibayar. Proses ini melibatkan identifikasi pemegang adat, keberadaan masyarakat adat, dan jumlah kompensasi yang harus dibayar untuk penggunaan lahan. Perusahaan harus melengkapi dengan:
  1. Izin Prinsip dari Bupati, yang mengharuskan sejumlah kewajiban, dan memiliki konsultasi yang telah dilakukan dengan masyarakat setempat;
  2. Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi (IUP-explorasi) dari Bupati;
  3. Jika lahan berada dalam kawasan hutan, izin diperlukan dari Kementerian Kehutanan, yang disebut Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Izin penggunaan memungkinkan suatu perusahaan untuk menggunakan area tertentu dalam hutan Kawasan untuk tujuan eksplorasi, termasuk memungkinkan penebangan pohon.
Izin Produksi Pertambangan
Untuk izin operasi produksi pertambangan (di mana eksploitasi mungkin terjadi di hutan produksi, hutan konversi, atau hutan lindung), langkah-langkah yang sama seperti dengan izin eksplorasi pertambangan harus diikuti, serta mengikuti izin tambahan:
  1. Izin operasi pertambangan untuk beroperasi (IUP-Operasi-produksi) yang didapat dari Bupati, dan
  2. Izin pinjaman untuk operasi (Izin pinjam pakai Kawasan untuk Operasi-produksi) diperoleh dari Kementerian Kehutanan.
  3. Persyaratan tambahan berikut harus dipenuhi:
  • Teknis – peta daerah lengkap dengan koordinat geografis; laporan eksplorasi; studi kelayakan; Rencana reklamasi (termasuk: penggunaan lahan sebelum dan sesudah operasi; rencana untuk membuka lahan, program reklamasi lahan setelah gangguan, penutupan lahan, penyimpanan tailing, pembuangan tailing); Rencana revegetasi; berencana untuk menutup biaya langsung dan tidak langsung dari revegetasi; peta dan deskripsi wilayah; deskripsi kegiatan pertambangan; Rincian informasi lingkungan pascatambang; Rencana dan anggaran keuangan bekerja; rencana pembangunan.
  • Ijin Pelepasan Hutan – Untuk perusahaan pertambangan atau perkebunan yang ingin mengkonversi lahan di dalam hutan konservasi, lahan harus dibebaskan dari Kawasan Hutan untuk menjadi ‘daerah untuk keperluan lain (Areal Penggunaan Lain/APL). Proses untuk melepaskan tanah dari Kawasan Hutan memerlukan keputusan dari Kementerian Kehutanan, yang disebut Pelepasan Kawasan Hutan.

Perkebunan dan Usaha Kehutanan
Peraturan tentang Perkebunan diatur dalam Undang-undang nomor 18/2004 dengan aturan pelaksanaanya lewat peraturan Menteri Pertanian nomor 26/2007.
Pada prinsipnya terdapat dua jenis utama perkebunan di Indonesia, kelapa sawit dan kayu. Ketika perkebunan terletak di kabupaten, semua izin perkebunan diperoleh dari Bupati. Pengecualian adalah untuk lisensi untuk menggunakan Kawasan Hutan, yang membutuhkan izin pelepasan hutan. Rekomendasi dari Gubernur provinsi juga diperlukan untuk beberapa izin. Ketika perkebunan di wilayah lebih dari satu daerah, maka Gubernur adalah otoritas penerbit untuk semua izin lainnya dari pelepasan hutan. Sebuah perusahaan atau pemohon wajib telah membangun fasilitas perkebunan, dan telah melakukan pembukaan lahan (tanpa pembakaran) dalam waktu dua tahun dari IUP yang diterbitkan.

Perkebunan kelapa sawit
Sebuah perusahaan perkebunan hanya dapat memiliki atau mengontrol maksimal 20.000 hektar dalam satu provinsi atau dua kali lipat di Papua, dan maksimal 100.000 hektar lahan total di Indonesia. Terdapat tiga jenis izin perkebunan yang dialokasikan untuk kegiatan yang berkaitan perkebunan kelapa sawit:
  • Izin Usaha Perkebunan (IUP)
  • Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B)
  • Izin Usaha Perkebunan untuk pengolahan (IUP-P)
Lisensi perkebunan kelapa sawit untuk skala komersial budidaya kelapa sawit (lebih dari 25 ha) membutuhkan langkah-langkah berikut:
  1. Semua perusahaan memerlukan izin usaha.
  2. Izin lokasi – langkah pertama membangun perkebunan dimulai dengan permintaan Izin Lokasi. Izin dimintakan di Kantor Pertanahan dengan mengusulkan area target dan memberikan rencana pengembangan. Daerah lokasi harus sesuai dengan area budidaya dalam rencana tata ruang. Keputusan akhir adalah dengan Bupati atau Gubernur, yang mengeluarkan surat rekomendasi untuk menerima izin ini.
Izin Usaha Perkebunan (IUP) – untuk memulai operasi, perusahaan memerlukan izin untuk beroperasi dari Kementerian. Untuk mendapatkan izin, pemohon wajib mengajukan permohonan dengan peta daerah di bawah permohonan izin (yaitu, lokasi izin), proposal teknis (studi kelayakan), rencana kerja tahunan, rencana kerja jangka panjang, dan kewajiban sosial dan lingkungan, termasuk:
  • Melengkapi Lisensi lingkungan selesai, yang meliputi hasil AMDAL atau UKL-UPL;
  • Bukti bahwa lahan akan digunakan tanpa pembakaran;
  • Rencana untuk membangun kebun masyarakat sekitar setidaknya 20 persen dari perkebunan;
  • Bukti bagaimana pekerja lokal akan didukung;
  • Prosedur penyelesaian konflik yang ditandatangani oleh Bupati.
Hak Guna Usaha (HGU) atau hak untuk eksploitasi. Setelah sebuah perusahaan memperoleh IUP, perusahaan harus segera mengurus HGU dalam waktu dua tahun setelah penerbitan lisensi. HGU dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), dengan informasi pajak, peta wilayah yang disetujui, salinan izin Izin Lokasi serta semua izin pelepasan hutan jika relevan. Setelah HGU berakhir, tanah menjadi milik negara.
Hanya setelah semua izin ini telah diberikan, perusahaan kemudian dapat membangun sebuah perkebunan kelapa sawit di dalam area tertentu.
Izin dalam Kawasan Hutan 
Luas maksimum untuk kegiatan kehutanan yang dapat dilelang di setiap provinsi adalah maksimum 100.000 hektar (kecuali Papua yang memiliki maksimum 200.000 hektar), dan 400.000 hektar di Indonesia secara total.
Seperti disebutkan dalam Permenhut nomor 31/2014 tentang Tatacara Pemberian dan perluasasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di hutan produksi, maka terdapat tiga macam izin yang dapat dikeluarkan, masing-masing IUPHHK-Hutan Alam (HA), IUPHHK-Hutan Tanaman (HT), dan IUPHHK-Restorasi Ekosistem (RE).
Perbedaan dari tiga macam izin ini yaitu:
  • IUPHHK-HA (dahulu disebut Hak Pengusahaan Hutan/HPH) adalah izin untuk penebangan, pengangkutan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan hingga pemasaran kayu. Diutamakan di area yang masih banyak potensi tegakan kayunya.
  • IUPHHK-HT (dahulu disebut Hutan Tanaman Industri/HTI) adalah izin untuk membangun hutan tananam (monokultur) di area hutan produksi oleh suatu kelompok industri untuk memenuhi bahan baku industri. Diutamakan di area yang sudah tidak produktif.
  • IUPHHK-RE, adalah izin unuk membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang memiliki ekositem penting sehingga dapat dipertahanka fungsinya, melalui pemeliharaan, perlindungan, pemulihan ekosistem lewat pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora fauna untuk mengembalikan unsur hayati dan non hayati sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistem. Diutamakan di area yang sudah terdegradasi ekosistemnya.
IUPHHK-HA (IUPHHK-Hutan Alam)
Diberikan dalam jangka waktu 55 tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi Menhut setiap 5 tahun sekali. IUPHHK-HA diberikan oleh Menteri Kehutanan setelah mempertimbangkan permohonan yang diajukan oleh pemohon izin. Izin tersebut diberikan berdasarkan rekomendasi yang diberikan oleh gubernur setelah mendapatkan pertimbangan dari bupati/walikota.
Pemohon izin dibedakan menjadi empat kategori yaitu perseorangan, koperasi, BUMN/BUMD dan swasta (berbentuk PT, CV dan Firma). Bagi pemegang ijin IUPHHK-HA dimungkinkan mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan [IUPK] atau Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan [IUPJL] di areal kerjanya.
Izin IUPHHK-RE (IUPHHK_Restorasi Ekosistem)
Restorasi Ekosistem (RE) merupakan upaya untuk memulihkan kondisi hutan alam sebagaimana sedia kala sekaligus meningkatkan fungsi dan nilai hutan baik ekonomis maupun ekologis agar kembali mendekati ekosistem sebelum terdegradasi dengan cara suksesi alam, penunjangsuksesi alam, pengkayaan tanaman atau penanaman.
Izin RE dinamakan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) yang dikeluarkan oleh  Menteri Kehutanan yang berlokasinya berada di hutan alam produksi. Izin dikeluarkan berdasarkan Permenhut Nomor P.31/Menhut-II/2014. Perizinan meliputi langkah:
  • Rekomendasi Gubernur kepada Menteri Kehutanan yang didasarkan pertimbangan teknis    Bupati/Walikota (sesuai dengan format dalam Permenhut Nomor P.31/Menhut-II/2014).
  • Pertimbangan Teknis dari Bupati/Walikota kepada Gubernur yang berisi tentang informasi tata ruang wilayah Kabupaten/Kota atas areal yang dimohon yang berada di dalam Peta Indikatif Arahan Pemanfaatan Kawasan Hutan pada Hutan Produksi yang tidak dibebani Izin untuk Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan kayu
IUPHHK HTI (IUPHHK-Hutan Tanaman)
IUPHHK-HTI adalah izin yang diberikan oleh Menteri Kehutanan, yang dapat menyerahkan kewenangan kepada Gubernur untuk areal di bawah 10.000 hektar. Izin diberikan tidak lebih dari 35 tahun untuk setiap konsesi. Izin ini dicari oleh perusahaan kayu untuk membangun dan memanen hutan tanaman.
Proses persetujuan untuk IUPHHK-HTI di bawah 10.000 hektar – memerlukan izin dari Menteri Kehutanan dan Gubernur. Proses persetujuan lisensi termasuk langkah-langkah berikut:
  • Surat rekomendasi dari Menteri Kehutanan kepada Gubernur; proposal proyek; perusahaan neraca keuangan selama 3 tahun terakhir; akte pendirian perusahaan yang disahkan oleh kementerian luar negeri; persyaratan gubernur lainnya.
  • Proses persetujuan untuk IUPHHK-HTI antara 10.000-50.000 hektar – permohonan kepada Kementerian Kehutanan mirip dengan di atas; tetapi mencakup langkah-langkah berikut: citra satelit; rekomendasi dari Gubernur; proposal proyek; peta; proposal proyek; sertifikat pendirian; laporan perusahaan keuangan selama 3 tahun terakhir; jumlah wajib pajak; studi kelayakan; dan AMDAL.
  • Proses persetujuan untuk IUPHHK-HTI lebih dari 50.000 ha harus mengikuti langkah-langkah di atas, serta:
    • Mengumumkan lelang oleh Kementerian Kehutanan melalui media massa, nasional dan/atau regional;
    • Surat niat, termasuk bank garansi;
    • Proposal Teknis yang mencakup tutupan hutan, batas hutan, identifikasi lapangan dan daerah;
    • Rincian sistem silviculture yang akan digunakan;
    • Rencana pengelolaan lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL);
    • Kemitraan dengan lokal kecil dan menengah dan koperasi; dan rincian pembangunan kapasitas.
Pemanfaatan Hutan oleh Masyarakat
Secara prinsip, kawasan hutan negara dikuasai oleh negara dan selanjutnya diberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, menetapkan wilayah tertentu sebagai kawasan hutan dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan.
Sejak era reformasi kebijakan kehutanan diarahkan kepada pengembangan ekonomi rakyat. Dalam hal ini Kementerian Kehutanan mengeluarkan sejumlah kebijakan pengelolaan kehutanan yang memungkinkan masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya yang ada di hutan.
Hal ini mengubah paradigma dari pengelolaan hutan yang berbasis kepada hasil produksi, dengan masyarakat yang hanya menjadi “penonton” dan “orang upahan” berubah menjadi pengelolaan yang melibatkan masyarakat untuk memiliki rasa memiliki terhadap hutan. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Brown (2004) dan CES-UI (2005) adanya pemberdayaan penting karena terdapat lebih kurang 50 juta orang miskin yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan.
Terdapat tiga skema yang dikembangkan untuk pelibatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yaitu Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
Hutan Desa (HD)
Berdasarkan penjelasan UU 41/1999 tentang Kehutanan, khususnya pada penjelasan pasal 5, hutan desa adalah hutan negara yang berada di dalam wilayah suatu desa, dimanfaatkan oleh desa, untuk kesejahteraan masyarakat desa tersebut.
Selanjutnya di dalam PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, hutan desa didefinisikan sebagai hutan negara yang belum dibebani izin atau hak yang dikelola oleh desa dan untuk untuk kesejahteraan masyarakat desa. Prinsip dasar dari Hutan Desa adalah untuk membuka akses bagi desa-desa tertentu, tepatnya desa hutan, terhadap hutan-hutan negara yang masuk dalam wilayahnya.
Pemberian akses ini dituangkan dalam Peraturan MenteriKehutanan Nomor P.49/Menhut-I/2008, tentang Hutan Desa. Peraturan ini kemudian dikuti dengan perubahan-perubahannya (Permenhut No. P.14/Menhut-I/2010 dan Permenhut No. P.53/Menhut-I/2011). Di dalam Hutan Desa, hak-hak pengelolan secara permanen diberikan oleh Menteri Kehutanan/Pemerintah Daerah kepada lembaga desa dengan waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang. Perizinan Hutan Desa dapat diberikan di areal hutan lindung dan juga produksi yang berada di dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan.
Adapun perizinan Hutan Desa dilakukan lewat Penetapan Areal Kerja (PAK) Hutan Desa adalah Menteri Kehutanan, berdasarkan surat usulan dari Bupati dan telah diverifikasi oleh UPT Kementerian Kehutanan. Adapun ijin yang harus diperoleh adalah Hak Pengelolan Hutan Desa (HPHD) yang diterbitkan oleh gubernur sehingga lembaga desa bisa mengelola kawasan hutan tersebut. Kemudian bila lembaga desa ingin memanfaatkan kayu, maka harus mengurus lagi untuk mendapatkan IUPHHK-HD (ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu) di hutan desa.  Ijin ini akan diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan.
Hutan Kemasyarakatan (HKm)
Aturan tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm) dilakukan berdasarkan peraturan Menteri Kehutanan nomor P.37/2007 jo P.13/2010. HKm hanya diberlakukan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang tidak dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan dimana kawasan tersebut menjadi sumber mata pencarian masyarakat setempat.
Izin Usaha Pemanfaatan Pengelolaan HKm (IUPHKm) diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun. HKm diperuntukkan bagi masyarakat miskin yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan serta menggantungkan penghidupannya dari memanfaatkan sumberdaya hutan.
Adapun izin HKM dilakukan berdasarkan Penetapan Areal Kerja (PAK) dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan, berdasarkan surat usulan dari Bupati dan telah diverifikasi oleh UPT Kementerian Kehutanan.
Izin yang harus diperoleh adalah  Ijin Usaha Pemanfaatan/IUP-HKm yang diterbitkan oleh gubernur untuk area lintas kabupaten dan bupati yang di dalam satu kabupaten. Kemudian bila kelompok masyarakat (berbentuk badan hukum koperasi) ingin memanfaatkan kayu, maka harus mengurus lagi untuk mendapatkan IUPHHK-HKm (ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu) di HKm.  Ijin ini akan diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan.
Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah pengelolaan hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan produksi dan potensi kayu lewat cara-cara silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Aturan tentang HTR diatur dalam bab 1 (pasal 1) Peraturan Pemeritah (PP) nomor 6 Tahun 2007 (hasil revisi PP 34/2002) tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.
Dalam HTR sasarannya adalah masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan produksi yang tidak produktif, tidak dibebani izin/hak dan diutamakan dekat dengan lokasi industri hasil hutan. Pembangunan HTR dilakukan perorangan/ kelompok tani atau koperasi masyarakat yang mendapat izin pengelolaan hutan.
Karena bersifat membangun hutan tanaman, pemerintah menyediakan peluang pendanaan lewat Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan (BP2H) satu instansi yang menerapkan pola pembangunan hutan lewat Badan Layanan Umum (BLU). Fungsi dari BP2H adalah mengatur dan mengelola pemberian pinjaman dana bergulir bagi pembangunan HTR.
Terdapat tiga pola HTR yaitu:
  • HTR Pola Mandiri:  adalah HTR yang dibangun oleh Kepala Keluarga pemegang IUPHHK-HTR secara mandiri
  • HTR Pola Kemitraan: adalah HTR yang dibangun oleh Kepala Keluarga pemegang IUPHHK-HTR bersama mitra yang difasilitasi pemerintah
  • HTR Pola Developer, adalah HTR yang dibangun oleh BUMN atau BUMS dan selanjutnya diserahkan oleh Pemerintah kepada Kepala Keluarga pemohon IUPHHK-HTR dan biaya pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang ijin dan dikembalikan secara mengangsur.
Alokasi dan Penetapan Areal Pembangunan HTR dilakukan oleh Menteri Kehutanan dengan Kriteria berdasarkan peta arahan indikatif lokasi HTR dari Ditjen Planologi. Selanjutnya Bupati/Walikota mengusulkan rencana pembangunan HTR kepadan Menteri Kehutanan lewat peta usulan lokasi. Setelah dilakukan verifikasi administrasi dan teknis oleh Ditjen BUK Kemenhut penetapan lokasi pencadangan areal HTR dilakukan oleh Menteri Kehutanan.
Kritisi terhadap sistem Perizinan di Indonesia
Sistem perizinan di Indonesia menderita karena berbagai masalah birokrasi, serta persyaratan perizinan yang memakan waktu dan mahal. Permasalahan yang sering dijumpai pada proses perizinan industri berbasis ekstraktif atau lahan diantaranya penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan, perusahaan yang beroperasi tanpa set izin lengkap, izin hampir selalu kurang ditegakkan, dan mekanisme penanganan keluhan yang tidak berfungsi dengan baik, atau tidak ada sama semua.
Kesulitan dalam memperoleh izin menyebabkan banyak perusahaan mulai beroperasi tanpa izin yang diperlukan, yang mengakibatkan hilangnya penerimaan negara dan memunculkan konflik tanah. Menurut data Kementrian Kehutanan, di Kalimantan saja, 1.236 perusahaan pertambangan dan perkebunan kelapa sawit 537 beroperasi secara ilegal, tanpa izin penuh atau hukum. Ekonomi Indonesia kehilangan USD 36 miliar per tahun sebagai akibat dari operasi yang tidak lengkap atau ilegal.
Masalah dalam Perpetaan
Sering dijumpai masalah yang mempengaruhi perizinan adalah peta tidak akurat, dan kurangnya kejelasan atas kepemilikan lahan adat. Sering izin dialokasikan di tempat yang diklaim oleh masyarakat setempat atau digunakan oleh masyarakat untuk bermatapencarian. Jika hal ini terjadi perusahaan harus bernegosiasi dengan masyarakat setempat untuk mencari kesepakatan atas bagaimana cara agar masyarakat tetap dapat mengakses tanah atau memberikan kompensasi.
Kurangnya transparansi dalam proses perizinan.
Proses perizinan di Indonesia sangat beresiko menimbulkan korupsi, di mana suap sering dibayar untuk mengeluarkan izin tanpa mengikuti prosedur. Modus suap diantaranya adalah untuk mengubah zonasi dari suatu daerah untuk memungkinkan dilakukannya konversi, dan untuk memberikan izin yang melanggar rencana tata ruang.
Kurangnya transparansi juga membatasi kemampuan kelompok masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam pemantauan penggunaan lahan dan alokasi lahan. Informasi tentang aplikasi lisensi, dan lahan yang dialokasikan untuk diberikan izin juga tidak tersedia untuk umum.
Kurangnya kejelasan atas kebijakan penggunaan lahan.
Berbagai kementerian yang ada di pemerintah (yaitu kehutanan, pertanian, energi dan sumber daya mineral) sering memiliki kebijakan yang berbeda atau bertentangan penggunaan lahan, termasuk proses untuk mendapatkan izin. Tak jarang, hal ini telah menyebabkan dua atau lebih izin yang diberikan tumpang tindih untuk bagian yang sama dari tanah.
Desentralisasi memberikan kewenangan perizinan lahan kepada pemerintah kabupaten tanpa adanya kewajiban untuk mempertahankan jasa ekosistem. Banyak kasus pemberian izin hanya untuk memperoleh kas PAD dan pada akhirnya menimbulkan freerider (pihak lain yang hanya coba cari untung).
Karena pendapatan yang menguntungkan dari pemberian izin, telah menyebabkan beberapa pemerintah kabupaten telah mengalokasikan hingga 50 persen dari tanah mereka untuk lisensi ekstraksi di wilayah administrasinya. Menangani tumpang tindih izin dan operasi ilegal akan memerlukan tinjauan terhadap alokasi lisensi, dan diperlukan upaya transparansi dalam proses perizinan.

Tidak ada komentar: