Lembaga yang dikomandoi Harifin Tumpa itu memberikan sanksi kepada delapan hakim yang terbukti melakukan pelanggaran. Tiga diantaranya diberikan hukuman disiplin berat. Lima hakim diberikan hukuman ringan. Adalah hakim berinisial Syf yang mendapatkan hukuman disipilin berat.
Berdasarkan laporan MA, hakim Syf menjabat sebagai hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dia mendapatkan sanksi berupa pemberhentian sementara sebagai hakim dan juga PNS.
Menurut laporan MA, hakim Syf merupakan salah satu hakim yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekaligus menjadi tahanan lembaga superbodi tersebut. Dia mendapatkan rekomendasi pemberhentian sementara setelah surat keputusan MA Nomor 088/KMA/SK/V1/2011terbit pada 6 Juni 2011. Jika dilihat dari inisial dan latar belakang masalahnya, kemungkinan besar hakim berinisial Syf ini ialah hakim Syarifuddin Umar yang ditangkap KPK lantaran disangka menerima suap sebesar Rp 250 juta pada penanganan kasus PT Sky Camping Indonesia (PT SCI).
Selanjutnya, ada hakim berinisial Ed yang juga diberikan sanksi berat berupa mutasi sebagai hakim non palu selama dua tahun, ditambah pencabutan tunjangan remunerasi selama masa menjalani hukuman tersebut. Menurut laporan MA, hakim Ed merupakan hakim Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Pada 24 Mei 2011, Majelis Kehormatan Hakim (MKH) mengeluarkan rekomendasi bahwa hakim Ed terbukti menerima uang sebesar Rp 102,5 juta untuk jasa memberikan bantuan pengurusan perkara di tingkat kasasi.
Hakim yang mendapatkan sanksi disiplin berat lainnya ialah hakim yang berinisial ImD. Berdasarkan laporan triwulan MA, hakim ImD merupakan hakim Adhoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung. Hakim ImD direkomendasikan untuk diberhentikan sementara sebagai hakim mulai tanggal 1 Juli 2011 dengan memberikan surat keputusan MA kepada Presiden Nomor 093/KMA/H K.Ol/V11/2011.
Berdasarkan laporan MA, hakim ImD diberhentikan sementara sebagai hakim lantaran yang bersangkutan tertangkap tangan oleh KPK sekaligus menjadi tahanan lembaga superbodi itu. Jika dilihat dari jabatan dan latar belakang kasus yang membelitnya, hakim ImD ini ialah hakim Imas Dianasari yang tertangkap tangan KPK lantaran disangka menerima suap sebesar Rp 200 juta untuk memenangkan perkara sengketa antara PT Onamba Indonesia dengan serikat buruh pada tingkat kasasi di MA.
Selain memberikan hukuman berat, MA juga memberikan sanksi ringan terhadap lima orang hakim yang melakukan pelanggaran. Adalah hakim berinisial TDJ yang menjabat sebagai Kepala Pengadilan Tinggi Ambon.
Berdasarkan laporan MA, hakim TDJ diberikan sanksi ringan berupa teguran tertulis dengan tidak dikurangi tunjangan remunerasi. Saat ini belum ada surat keputusan dari MA yang terbit untuk hakim TDJ. Perkaranya masih diperiksa dan direkomendasikan ke Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Badilum) di MA pada 27 April 2011.
Namun, laporan triwulan MA tak menyebutkan secara pasti pelanggaran yang dilakukan hakim TDJ, sehingga yang bersangkutan mendapatkan hukuman ringan dari MA. Pihak MA hanya menulis, yang bersangkutan telah melanggar SKB Ketua MA dan Ketua KY Nomor 047 /KMA/SKB/IV /2009-02/SKB/P. KY/IV /2009 huruf C angka 2 ayat 1 dan angka 2 jo SK KMA No 215/KMA/SK/XI1/2007 pasal 4 ayat 4 dan ayat 5, pasal 12 A jo PP No 53 Tahun 2010 pasal 7 ayat 2 huruf b.
Selanjutnya, hakim berinisial ABS. ABS merupakan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram. Dia diberikan sanksi ringan berupa teguran tertulis dengan dikurangi tunjangan remunerasi selama tiga bulan sebanyak 75 persen tiap bulannya. Perihal surat keputusan hakim ABS, MA juga belum menerbitkannya. Saat ini yang bersangkutan telah direkomendasikan ke Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara pada 27 April 2011.
Namun, lagi-lagi MA tak memberikan gambaran yang jelas mengenai perkara yang membelit hakim ABS. Laporan MA hanya menyebutkan, hakim ABS telah melanggar SKB Ketua MA dan Ketua KY Nomor 047 /KMA/SKB/IV /2009- 02/SKB/P. KY/IV /2009 huruf C angka 2 butir 2.2 ayat 1, SK KMA No. 215/KMA/SK/XI1/2007 pasal 13 ayat 1 jo SK KMA No. 071/KMA/SK/V /2008 pasal 21 ayat 1 huruf a angka 1.
Hakim yang diberikan sanksi ringan lainnya ialah MAPR. Dia merupakan hakim PTUN Semarang. Berdasarkan laporan MA, hakim MAPR diberi sanksi ringan berupa teguran tertulis dan pemotongan tunjangan remunerasi selama tiga bulan sebanyak 75 persen. Namun, pihak MA tak menyebutkan lagi dengan jelas perkara apa yang dilanggar hakim PTUN Semarang ini. MA hanya menulis bahwa yang bersangkutan telah melanggar SKB Ketua MA dan Ketua KY Nomor 047 /KMA/SKB/IV /2009-02/SKB/P. KY/IV /2009 huruf C angka 2 butir 2.2 ayat 1, SK KMA No. 215/KMA/SK/XII/2007 pasal 13 ayat 1 juncto SK KMA No. 071/KMA/SK/V/2008 pasal 21 ayat 1 huruf a angka 1.
Selanjutnya, hakim berinisial PP yang menjabat sebagai Kepala Pengadilan Negeri di salah satu kota yang tidak disebutkan dengan jelas oleh MA. Kemudian, HW yang menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri di suatu daerah yang juga tidak disebutkan dengan jelas oleh MA. Mereka berdua diberi sanksi ringan berupa teguran lisan dengan tanpa dikurangi tunjangan remunerasi. Data tersebut dapat dilihat dalam situs MA, mahkamah agung.go.id.
Kisah Hakim Syarifuddin Dan Imas
Dari delapan hakim yang diberikan sanksi disiplin oleh Mahkamah Agung (MA), terdapat dua nama hakim yang cukup menghebohkan dunia peradilan di Tanah Air. Betapa tidak, kedua hakim itu tertangkap tangan oleh KPK karena diduga menerima suap dari pihak yang berperkara. Mereka ialah hakim Syarifuddin Umar dan Imas Dianasari.
Penangkapan Syarifuddin di kawasan Sunter, Jakarta Utara, Rabu (1/6), berbuntut adegan pengejaran Kurator PT Skycamping Indonesia, Puguh Wirawan hingga kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. “Ketika hakim Syarifuddin ditangkap, Puguh Wirawan sudah keluar sehingga dikejar dan didapatkan di daerah pancoran,” ujar Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Johan Budi Sapto Prabowo.
Menurut Johan, penangkapan Puguh terjadi pada pukul 22.45 WIB, Rabu malam. Sementara, Syarifuddin ditangkap pada pukul 22.00 WIB di kediamannya, di kawasan Sunter, Jakarta Utara.
Tim penyidik KPK sudah mengintai rumah Syarifuddin sejak pukul 20.00 WIB. Kala itu, tim yang terdiri dari 18 orang itu melihat bahwa Puguh bertamu ke rumah hakim Syarifuddin. “Setelah proses diskusi dan ngobrol, maka pada pukul 22.00 WIB, tim penyidik masuk,” ujar Johan seraya menambahkan, ketika penyidik masuk ke rumah Syarifuddin, ditemukan duit senilai Rp 250 juta di dalam tiga buah amplop cokelat yang dimasukkan ke dalam tas kertas warna merah.
Seusai ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Syarifuddin dan Puguh digiring ke mobil tahanan KPK guna dibawa ke rumah tahanan yang berbeda, Kamis (2/6), sekitar pukul 18.00 WIB. Syarifuddin ditahan di Rutan Cipinang, sedangkan Wirawan ditahan di Rutan Polda Metro Jaya.
Sementara itu, hakim Imas ditangkap KPK pada 30 Juni 2011 saat disangka menerima sogokan sebesar Rp 200 juta dari Manajer HRD PT Onamba Indonesia Odih Juanda di Restoran La Ponyo, Cinunuk, Bandung. Sogokan itu diduga bertujuan agar MA menolak gugatan serikat pekerja terhadap PT Onamba.
Nggak Nendang Kalau Cuma Laporan Tertulis
Buchori Yusuf, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Buchori Yusuf mengimbau Mahkamah Agung (MA) jangan hanya sekadar memberikan sanksi administratif dalam bentuk laporan tertulis. Tetapi, katanya, MA harus membuktikan pemberian sanksi itu secara nyata dan terbuka kepada masyarakat. Sehingga, lanjut dia, MA dapat menjaga nama baiknya dalam hal transparansi kepada masyarakat.
“Kalau bahasa anak gaulnya, nggak nendang bro kalau cuma laporan tertulis tanpa adanya pembuktian nyata terhadap delapan orang hakim itu,” katanya.
Buchori menambahkan, untuk menjaga kemurnian lembaga peradilan dari jeratan mafia peradilan bukanlah pekerjaan rumah yang mudah. Tetapi, katanya, dibutuhkan suatu keseriusan untuk menindak tegas setiap anggota lembaga peradilan yang terbukti terlibat dalam lingkaran mafia peradilan. “Soalnya, mafia peradilan itu menyentuh oknum yang menjabat di lembaga peradilan,” ucapnya.
Dia kembali menjelaskan, sesungguhnya roda mafia peradilan itu terbagi menjadi empat ruang. Pertama ialah pengadilan, kedua ditempati oleh kepolisian, ketiga kejaksaan dan yang terakhir ialah para advokat. “Keempat ruang itu hampir bisa dikatakan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas carut marutnya lembaga peradilan di Tanah Air,” ujarnya.
Politisi PKS ini kembali menyerukan MA supaya memutus salah satu roda mafia peradilan tersebut. Menurutnya, jika salah satu mata rantai mafia peradilan itu putus, maka ruang gerak mafia peradilan dapat diminimalisir. “Jadi, jika lembaga peradilan kita kokoh, maka tidak akan terpengaruh dengan intervensi kepada polisi, jaksa serta advokat,” katanya.
Mengapa Hanya Delapan Hakim Yang Kena Sanksi
Jhonson Pandjaitan, Direktur Advokasi & Bantuan Hukum AAI
Direktur Advokasi dan Bantuan Hukum Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Jhonson Pandjaitan menilai, delapan hakim yang diberikan sanksi oleh Mahkamah Agung (MA) belum bisa dikatakan mewakili seluruh hakim yang melakukan pelanggaran di Tanah Air.
Soalnya, hakim di seluruh Indonesia jumlahnya ribuan. Sehingga, katanya, jumlah tersebut masih tergolong sangat kecil untuk mewakili keseluruhan hakim di Indonesia.
“Menjadi suatu pertanyaan penting, apakah MA telah benar dalam menyeleksi siapa hakim yang melanggar kode etik itu. Kalau mereka bilang benar, mengapa hanya berjumlah delapan orang,” katanya.
Jhonson menambahkan, Indonesia saat ini membutuhkan lembaga peradilan adhoc selain Komisi Yudisial (KY) yang bertugas mengawasi pelanggaran hakim dan mampu melakukan eksaminasi terhadap putusan hakim. Menurutnya, lembaga adhoc yang ada saat ini belum bekerja secara maksimal. “Kita lihat saja, apa yang bisa dilakukan oleh KY untuk memajukan lembaga peradilan kita. Tidak ada,” tegasnya.
Dia kembali mengingatkan bahwa tugas hakim di pengadilan ialah pemutus suatu perkara dan pemecah kebuntuan suatu masalah. Sehingga, katanya, seorang hakim bisa disebut sebagai wakil Tuhan di dunia dan keputusannya tidak dapat diganggu gugat. “Karena itu, suatu ketetapan hakim harus betul-betul terbebas dari intervensi pihak manapun,” tandasnya.
Karena itu, Jhonson sangat berharap MA mampu melakukan pengawasan yang lebih kompleks terhadap para hakim yang bertugas di Tanah Air. Jika tidak, katanya, maka lembaga peradilan tidak akan terbebas dari cengkeraman mafia peradilan yang saat ini sudah menggerogoti lembaga peradilan tingkat manapun.
“Tak hanya hakim saja yang kena. Bahkan, sekelas panitera pun dapat berperan sebagai mafia peradilan. Inilah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan MA,” katanya. [rm]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar