Prins David Saut - detikNews
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menilai pemberian ganti rugi korban lumpur Lapindo menjadi dua bagian menyebabkan ketidakadilan. Bagian pertama adalah korban yang berada di luar peta area terdampak (PAT) yang menjadi tanggung jawab negara, dan bagian di dalam PAT yang menjadi tanggung jawab Lapindo.
Pembagian tanggung jawab ini menjadi dikotomi karena korban lumpur Lapindo di luar PAT telah mendapatkan ganti rugi penuh. Sementara korban di dalam PAT masih tak jelas nasibnya.
"Adanya perbedaan tersebut telah menimbulkan perbedaan perlakuan yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan UUD 1945," tulis MK dalam salinan putusan dari situs resminya, Kamis (27/3/2014).
Putusan nomor 83/PUU-XI/2013 ini dimohonkan oleh 6 warga Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka menggugat Pasal 9 UU APBN TA 2013 yang mengatur ganti rugi lahan dan bangunan untuk warga di luar PAT lumpur Lapindo. MK pun mengabulkan permohonan ini pada Rabu (26/3) kemarin.
"Karena adanya ketentuan dikotomis tersebut, maka lahir ketentuan ganti kerugian untuk masyarakat di dalam PAT adalah menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc. Sedangkan untuk di luar PAT adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah," bunyi pertimbangan MK.
Masalah pembagian tanggung jawab yang menimbulkan dikotomi dan kesenjangan ini antara warga di luar PAT dan di dalam PAT. Sehingga menurut MK, negara seharusnya memberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan kepada seluruh warganya.
"Sehingga antara masyarakat yang berada di dalam PAT dan yang berada di luar PAT sama-sama mendapatkan ganti kerugian sebagaimana mestinya," bunyi putusan MK yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva.
Pertimbangan MK selanjutnya, implikasi dari dikotomi tanggung jawab ini menyebabkan absennya fungsi negara terkait pemenuhan hak ganti kerugian masyarakat yang berada di dalam PAT. Warga di dalam PAT semestinya mendapatkan ganti rugi dari PT Lapindo.
"Negara harus menjamin dan memastikan masyarakat yang berada di dalam PAT harus memperoleh ganti kerugian. Jika tidak, maka negara telah mengabaikan tanggung jawabnya melindungi dan mensejahterakan masyarakatnya," tulis MK dalam pertimbangan putusan.
Sebelumnya, para pemohon yakni Siti Askabul Maimanah, Rini Arti, Sungkono, Dwi Cahyani, Tan Lanny Setyawati, dan Marcus Johny Ranny adalah warga Sidoarjo yang sebelumnya tinggal di dalam PAT. Mereka mengaku dirugikan hak konstitusionalnya dan diperlakukan tidak adil dengan adanya UU APBN TA 2013 tersebut.
Warga di dalam PAT mengaku belum mendapatkan ganti rugi, padahal warga di luar PAT telah mendapatkan ganti rugi. Tuntutan mereka, korban lumpur Lapindo di dalam PAT mendapatkan hak yang sama dengan warga di luar PAT. Perbedaan ini yang membuat MK mengabulkan permohonan enam warga Sidoarjo tersebut.
"Pasal 9 ayat (1) huruf a UU No 15 Tahun 2013 tentang perubahan atas UU No 19 Tahun 2012 tentang APBN TA 2013 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sepanjang UU tersebut tidak dimaknai sebagai negara dengan kekuasaan yang ada harus dapat menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian sebagaimana mestinya terhadap masyarakat di dalam wilayah PAT oleh perusahaan yang bertanggungjawab untuk itu," kata Hamdan dalam persidangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar