BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Sabtu, 01 Maret 2014

Caleg perempuan harus "zero tolerance" politik uang

Pontianak (ANTARA News) - Calon legislatif perempuan yang akan bertarung dan maju dalam pemilihan legislatif 2014 harus mempersiapkan mental bertarung, namun tetap dengan prinsip "zero tolerance" (toleransi nol) untuk politik uang, kata Direktur Lembaga Gemawan Kalbar, Laily Khairnur di Pontianak.

"Para caleg yang pernah kami latih, 50 persen di antaranya sudah siap mental untuk menjadi caleg. Tetapi elektabilitas dalam Pemilu tidak bisa hanya modal mental. Ada banyak aspek yang harus dipenuhi," kata Laily Khairnur, Jumat.

Beberapa aspek yang juga harus dipenuhi itu, misalnya dukungan basis, dukungan partai politik, dukungan logistik, popularitas, dan strategi pemenangan, kata dia.

Namun menurut Laily, persoalan itu tidak bisa dihadapi caleg perempuan itu sendiri, namun harus mendapat dukungan dari partai politik pengusungnya. 

Apalagi kata dia, partai politik sudah selama 10 tahun mempersiapkan kader-kader perempuan terbaiknya. Karena isu kuota 30 persen sudah diakomodasi sejak tahun 2003, dan semakin diperjelas dengan undang-undang partai politik terbaru, bahwa kepengurusan tingkat nasional harus minimal ada pengurus perempuan 30 persen. 

"Peluang itu harus ditangkap dan diterapkan juga di level daerah," kata aktivis perempuan itu. 

Dia menambahkan, partai politik dapat melakukan peningkatan kapasitas kader-kader parpol yang melibatkan akademisi dan organisasi masyarakat sipil (Ormas, OMS dan NGO). Sementara dari caleg itu sendiri, mereka harus mempersiapkan mental bertarung namun tetap dengan prinsip "zero tolerance" untuk politik uang. 

Selain itu mereka harus merepresentasikan diri sebagai perwakilan konstituen atau masyarakat, sehingga maju ke politik bukan untuk diri pribadi, parpol, atau desakan suami, tapi maju ke politik untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat. 

Tetapi diakuinya, hal itu cukup sulit bagi caleg perempuan karena parpol sendiri saja masih berpikiran bahwa pemilu itu untuk merebut kekuasaan dan kepentingan parpol semata. Bukan merebut kekuasaan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat dan Indonesia yang lebih baik. 

"Kita bisa lihat bagaimana korupsi politik masih menjadi masalah besar di negeri ini," kata Direktur lembaga yang concern terhadap pemberdayaan masyarakat itu. (*)

Tidak ada komentar: