BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Kamis, 16 Juni 2016

Lompatan Besar Jenderal Tito Karnavian


Oleh : Aryo Wicaksono, Lilis Khalisotussurur , Bayu Nugraha , Filzah Adini Lubis , Agus Rahmat , Reza Fajri
VIVA.co.id – Presiden Joko Widodo akhirnya menetapkan pilihan, mengganti Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti yang akan memasuki masa pensiun bulan ini, dengan mengajukan Komisaris Jenderal Polisi Tito Karnavian menjadi calon penggantinya. Surat Presiden ini sudah dikirimkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disetujui.
Kepastian itu disampaikan Juru Bicara Presiden, Johan Budi Sapto Pribowo. Dia juga menyampaikan alasan Jokowi memilih Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
"Untuk meningkatkan profesionalisme Polri sebagai pengayom masyarakat, memperbaiki kualitas penegakan hukum terutama terhadap kejahatan luar biasa seperti terorisme, narkoba maupun korupsi," kata Johan saat dihubungi, Rabu, 15 Juni 2016.
Jokowi juga berharap sosok Tito bisa meningkatkan sinergitas antara lembaga penegak hukum, sekaligus menguatkan citra polisi dalam isu krusial penegakan hukum. Meskipun relatif muda dibandingkan calon lainnya, Kepala BNPT itu dinilai Presiden memenuhi syarat, terutama karena pernah memimpin Polda tipe A-K, saat menjadi Kapolda Metro Jaya.
Nama Tito mulai dikenal publik pada periode 2000-2001, saat masih menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse Umum Polda Metro Jaya, dengan pangkat Komisaris Polisi. Kala itu, Dia diberikan tanggung jawab memimpin tim kobra. Tim ini bertugas memburu Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, putra Presiden kedua RI Soeharto, karena menjadi dalang pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita.
Tim Kobra berhasil membekuk Tommy yang saat itu bersembunyi dengan menggunakan identitas Ibrahim, di bilangan Bintaro, Jakarta Selatan. Keberhasilan ini menuai pujian banyak pihak, sehingga semua anggota Tim Kobra mendapatkan kenaikan pangkat. Khusus Tito, dia memperoleh kenaikan pangkat luar biasa menjadi Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP), sehingga menjadi satu-satunya lulusan Akademi Polisi angkatan 1987 yang menyandang pangkat melati dua.
Karirnya semakin terang, ketika pada periode 2004-2009 berkecimpung dalam dunia terorisme. Keterlibatan Tito di Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror, berhasil menumpas salah satu buronan teroris paling dicari di Indonesia dan Malaysia, yaitu Dr. Azahari di Batu, Malang, Jawa Timur. Selain itu, menangkap para pelaku dibalik konflik Poso, Sulawesi Tengah.
Keberhasilan ini membawa Tito menjadi Kepala Densus 88 Antiteror. Salah satu prestasi yang mencolok adalah menembak mati gembong teroris Noordin M. Top di Solo pada 17 September 2009.
Peraih Adhy Makayasa Akpol 1987 ini juga pernah menjabat sebagai Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT, Kapolda Papua, Asisten Kapolri Bidang Perencanaan Umum dan Anggaran, Kapolda Metro Jaya. Sampai akhirnya pria kelahiran Palembang 26 Oktober 1964 ini, dilantik Presiden menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) 16 Maret 2016 lalu, dan menyandang bintang tiga di pundaknya.
Kontroversi Senioritas
Penunjukan Tito cukup mengejutkan banyak pihak. Sebab, namanya tidak masuk sebagai kandidat calon di Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) Polri. Dismaping itu, ada beberapa nama yang sebelumnya lebih santer menjadi bakal calon Kapolri. Diantaranya, Wakil Kapolri Komjen Pol. Budi Gunawan (Ak pol 1983) dan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Budi Waseso (Akpol 1984).
Lompatan angkatan ini bisa terjadi karena selama karirnya, Tito seringkali mendapatkan kenaikan pangkat luar biasa. Tercatat kenaikan pangkat ini telah empat kali terjadi, mulai dari Komisaris Polisi ke AKBP pada 2001, kemudian pada 2005 dari AKBP menjadi Komisaris Besar Polisi. Lalu di 2009 menjadi Brigadir Jenderal saat menjabat sebagai Kepala Densus 88 Antiteror, dan terakhir di 2011 menjadi Inspektur Jenderal saat menjadi Deputi di BNPT.
Kenaikan pangkat terakhir yang membuat Tito mengalami lompatan pangkat dan unggul diantara rekan satu angkatannya adalah, ketika Tito dilantik menjadi Kepala BNPT setelah merasakan sembilan bulan menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya, sejak Juni 2015 hingga Maret 2016. Sebagai Kepala BNPT, Tito mendapatkan tambahan satu bintang menjadi Komisaris Jenderal.
Lompatan angkatan ini pun mendapatkan kritik dari Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane. Menurutnya dalam menggunakan hak prerogatif untuk menunjuk calon Kapolri, Presiden mestinya juga memperhatikan jenjang karier dan kepangkatan anggota Polri sebagaimana diamanatkan Pasal 11 Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian.
"Artinya, kalau Tito dijadikan Kapolri tentunya harus diperhatikan, karena dia masih terlalu muda. Masih ada lima angkatan di atasnya. Dan pensiunnya masih sangat panjang, sampai tahun 2022. Tentu kurang sehat bagi organisasi Polri," kata Neta dalam keterangannya kepada VIVA.co.id. Rabu, 15 Juni 2016.
Di mata Neta, banyak senior Polri lain di atas Tito, sehingga mestinya lulusan terbaik Akpol angkatan 1987 itu perlu mendukung perwira lain yang lebih senior menjadi Kapolri.
Neta menilai pemilihan Tito bisa merusak tatanan dan sistem kaderisasi Polri.
"Kalau dipaksakan dan didorong Tito untuk menjadi Kapolri dipastikan dia tidak akan nyaman memimpin para seniornya. Kalaupun Tito akan menjadi Kapolri, mungkin bisa saja di masa mendatang, mengingat masa pensiunnya masih lama, yakni 2022," ucapnya.
Kekhawatiran serupa juga diungkapkan Anggota Komisi III DPR dari fraksi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu. Kata dia, Tito memenuhi syarat menjadi calon Kapolri dari segi karier. Hanya saja, dia berharap lompatan karier ini tidak menyebabkan resistensi dari internal Polri.
"Mudah-mudahan dalam lompatan beberapa angkatan ini, tidak ada turbulensi di institusi kepolisian," kata Masinton di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu 15 Juni 2016.
Turbulensi yang dia maksud mengarah pada faktor psikologis, mengingat banyak perwira senior dilangkai Tito. Meski begitu, Masinton menghormati pilihan Presiden ini. Dia yakin Jokowi punya pertimbangan lain. "Mungkin beliau punya pertimbangan sendiri dengan visi presiden, dengan generasi lebih fresh," ujar Masinton.
Dukungan Politik
Terlepas dari kekhawatiran itu, Ketua DPR Ade Komarudin menilai penunjukan Tito sebagai langkah tepat. Kinerja Tito terbukti baik dan dia mendukung penuh pilihan Presiden

"Kenaikan pangkat karena prestasi cemerlang, prestasi oke, hebat, dipastikan tidak ada calon lain, pilihan Presiden tepat," ungkap Ade saat menggelar inspeksi mendadak di Stasiun Gambir, Jakarta, Rabu, 15 Juni 2016.
Ade Komarudin pun yakin, "semua rakyat Indonesia tahu track record beliau, sangat profesional, tegas, santun, cerdas, kenaikan pangkat tercepat karena prestasi, bukan karena apa-apa. Jadi wajar beliau mendapat penugasaan dari Presiden."
Hal ini juga diungkapkan Anggota Komisi III DPR fraksi PPP, Arsul Sani. Menurutnya, budaya di kepolisian sudah terbentuk mapan sehingga siapa pun yang menjadi Kapolri, pasti akan dihormati.
"Tradisi itu kan sudah terpatri di lingkungan Polri. Dengan soliditas yang ada, kalau pun ada sedikit masalah psikologis (soal senioritas) pasti bisa diselesaikan," kata Arsul di Gedung DPR, Jakarta, Rabu 15 Juni 2016.
Arsul juga yakin, resistensi di tubuh Polri dengan ditunjuknya Tito tidak akan terjadi. Hal ini karena Kapolri merupakan bawahan Presiden, sehingga semua jajaran di institusi negara harus tunduk pada kebijakan ini. "Akan setara, kan nanti sama-sama bintang empat. Cuma beda umur saja. Kan dilihat bukan umurnya tapi bintangnya," kata Asrul.
Sementara Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto, bersyukur terhadap pilihan Presiden. Baginya, Tito adalah sosok jenderal polisi muda yang kapasitas, integritas dan prestasinya tidak dapat diragukan lagi, karena sudah teruji.
Menurut Novanto, komunikasi Tito dengan semua pihak baik, termasuk dengan DPR. Gaya kepemimpinan Tito juga dinilai mumpuni, seperti saat menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya. "Komjen Tito yang saat itu berpangkat Irjen dapat menjaga keamanan ibukota negara kita," sanjung Novanto, dalam siaran persnya, Rabu, 15 Juni 2016.
"Saya jadi teringat peristiwa ledakan bom di Sarinah dan Mal Alam Sutera, beliau dengan cepat dapat bergerak untuk menjaga kondusivitas ibukota," tambahnya.
Internal Siap Dukung Tito
Menanggapi polemik dibalik penunjukan Tito ini, Kepala BNN Komisaris Jenderal Polisi Budi Waseso atau akrab disapa Buwas menyatakan komitmennya untuk mendukung Tito menjadi Kapolri.
"Saya dukung Pak Tito," kata Buwas di kantor BNN, Cawang, Jakarta Timur, Rabu, 15 Juni 2016.
Mantan Kabareskrim Polri ini juga tidak mempermasalahkan Presiden lebih memilih Tito yang merupakan juniornya. "Ya sudah, ikuti itu dong. Itu adalah haknya Presiden. Ikuti saja ya," ujarnya.
"Dia yang terbaik. Iya dong (tidak ada masalah). Itu terbaik untuk Polri ke depan. Dalam hal ini tidak ada senior junior. Saya ingatkan pimpinan kesatuan tidak ada berkaitan dengan senior junior. Artinya kemampuan seseorang," tambahnya.
Jaminan serupa juga diungkapkan Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti. Saat menanggapi polemik mengenai pemilihan Tito, Badrodin memastikan penunjukan Tito bisa diterima pejabat Mabes Polri lainnya. Selain itu, dia juga menilai tidak ada yang salah pada keputusan Presiden.
"Kalau muda punya potensi, kan sekarang zamannya sudah zaman siapa yang punya kemampuan, itu lah yang bisa memimpin," kata Badrodin di Istana Negara, Rabu 15 Juni 2016.

Badrodin pun melihat Presiden memilih tidak hanya berdasarkan angkatan Akpol sebagaimana lazim dilakukan selama ini. "Pak Tito punya keunggulan, dia cukup smart, bagus dalam komunikasi, pendekatannya juga cukup bagus. Saya kira bisa diterima oleh semua pejabat Polri. Kalau dipilih Presiden ya pasti menerima, tidak ada masalah," ucapnya.
Pada kesempatan ini Badrodin juga mengungkapkan alasan Wanjakti tidak memasukan nama Tito sebagai bakal calon. Hal ini terjadi karena Tito tidak mau menjadi calon.
"Memang waktu itu kan kami masih mendengar masing-masing. Ada beberapa hal yang harus didiskusikan di dalam internal Polri karena waktu itu Pak Tito sendiri kalau bisa jangan (dicalonkan), (Tito) mengatakan seperti itu," tuturnya. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti di Istana Negara, Jakarta, Rabu 15 Juni 2016.
Alasannya, Tito ingin fokus dalam tugasnya sebagai Kepala BNPT. "Dia sendiri sedang berkonsentrasi untuk menangani masalah terorisme ini. Itu kan ancaman ke depan juga cukup serius, sehingga harus dilakukan pembenahan-pembenahan dan dilakukan strategi dalam kebijakan penanggulangan terorisme itu," katanya.
Atas pertimbangan itu, rapat Wanjakti tidak mengusulkan nama Komjen Tito. Namun Kompolnas, menurut Badrodin, memang memasukkan nama Tito dalam calon yang diusulkan ke Presiden.
Kini setelah Presiden sudah resmi mengajukan nama calon Kapolri, kedepannya DPR berencana menggelar uji kepatutan dan kelayakan. "Yang jelas kita kalau bisa cepat, paripurna mengumumkan surat itu, kemudian rapat Bamus (Badan Musyawarah) untuk menjadwalkan keputusan. Komunikasi dengan Bambang (Ketua Komisi III), kemungkinan bisa tanggal 22 Juni. Yang penting proses DPR fit dan proper," ujar Ade Komarudin.
Jika Tito lolos ujian politik di Komisi III DPR itu, dan disahkan dalam sidang paripurna DPR, maka Presiden tinggal melantik Tito menjadi Kapolri. Setelah itu, Tito pun akan melompat jabatan lagi, menjadi jenderal polisi.

Tidak ada komentar: