KY berencana meminta keterangan dari pelapor, saksi, dan ahli balistik.
VIVAnews - Komisi Yudisial (KY) menemukan indikasi pelanggaran kode etik dan perilaku hakim yang menangani perkara pembunuhan berencana dengan terpidana Antasari Azhar, mantan Ketuak Komisi Pemberantasan Korupsi.
KY menduga majelis hakim tingkat pertama hingga kasasi telah mengabaikan bukti penting. "Kesimpulan sementaranya, ada potensi pelanggaran perilaku hakim terutama dalam hal profesionalitas karena mengabaikan bukti-bukti kuat yang ada di persidangan," kata Juru Bicara KY, Asep Rahmat, saat dihubungi VIVAnews.com, Rabu 13 April 2011.
Bukti-bukti kuat yang dimaksud adalah adanya pengabaian keterangan ahli balistik dan forensik. Selain itu, juga pengabaian atas bukti berupa baju korban yakni Nazarudin Zulkarnain, yang tidak pernah dihadirkan dalam persidangan.
Untuk itu, lanjut Asep, KY berencana meminta keterangan dari pelapor, saksi, dan ahli seperti ahli balistik dan teknologi informasi. "Termasuk para terlapor yakni majelis hakim yang akan dimintai keterangan paling akhir nanti," ujarnya. "Ada kemungkinan majelis hakim dari semua tingkatan. Tergantung hasil pemanggilan dan pemeriksaan para pihak nanti."
Sebelumnya, KY diketahui akan memeriksa vonis 18 tahun bagi Antasari.
"Secara otomatis kami akan menelaah putusan ini, karena ini kasus yang mengundang perhatian publik," kata Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas usai menghadiri pelantikan Ikatan Alumni UII di Gedung Departemen Perhubungan, Jakarta, Minggu 14 Februari 2010
Antasari pada tingkat kasasi, divonis 18 tahun penjara. Ia terbukti terlibat dalam pembunuhan berencana Nasrudin Zulkarnain, bos PT Putra Rajawali Banjaran.
Dalam putusan kasasi, salah satu hakim, Surya Jaya, menyatakan pendapat berbeda. Menurut dia, hakim dapat saja mengenyampingkan keterangan ahli sepanjang keterangan tersebut tidak relevan ataukah merupakan bidang kompetensi dari hakim yang memeriksa perkara.
Sebaliknya, kata dia, dapat menjadi imperatif manakala keterangan ahli tersebut bersifat menentukan, misalnya keterangan ahli pemeriksaan sidik jari, forensik atau balistik tidak dapat dikesampingkan. Oleh karena itu keterangan ahli dalam perkara a quo tidak dapat dikesampingkan berhubung sangat urgen dan bersifat guna menentukan siapa pelaku sesungguhnya.
Menurut Surya, konsekuensi hukum yang ditimbulkan dengan tidak digunakannya keterangan ahli balistik dan forensik oleh Judex Facti, merupakan suatu kekeliruan karena telah mengesampingkan tujuan dari pemeriksaan perkara pidana untuk mencapai kebenaran materiil atau kebenaran yang sesungguhnya.
Tujuannya adalah untuk menghindari terjadi peradilan sesat (menghukum orang yang tidak bersalah). Adapun urgensinya hal tersebut adalah untuk menghilangkan keragu-raguan mengenai siapa sesungguhnya orang yang melakukan penembakan terhadap korban Nasaruddin, apakah betul Edo dan kawan-kawan?
Hal ini, kata Surya, harus dijelaskan secara benar, jujur dan obyektif dalam perkara a quo, sebab menjadi dasar bagi Jaksa Penuntut Umum mendakwa Antasari dalam perannya sebagai “penganjur pembunuhan berencana”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar