Biaya baiat Rp2,5 juta. Tiap bulan setor Rp500 ribu. Tak bisa bayar berarti utang.
VIVAnews - Maraknya pemberitaan media tentang cuci otak Negara Islam Indonesia (NII), membuat sejumlah orang yang pernah jadi korban organisasi itu memberanikan diri memberikan testimoni.
Salah satunya, Novie (20), mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Ia mengaku terjerat NII setelah bertemu dua mahasiswa perempuan, dengan dalih dijadikan objek wawancara penelitian. Ia tak sadar jadi target. Setelah terjerumus, Novie yang baru semester satu, rela menyerahkan barang-barang berharganya untuk 'mencuci dosa'.
Novie mengisahkan, saat itu di bulan Ramadhan 2009. Dia pun tak curiga sama sekali saat kawan lama beserta dua kawan barunya mengalihkan topik pembicaraan dari seputar masalah tugas penelitian ke dalil-dalil keagamaan.
"Siapa yang tidak percaya, saat bulan puasa bicara soal dalil-dalil Islam. Kami berdiskusi dari sebelum buka puasa, sampai tengah malam baru selesai," ujar Novie kepada VIVAnews.com di Jakarta, Kamis, 28 April 2011.
Keesokan harinya, pertemuan kembali berlanjut. Meski sebelumnya Novie sempat menolak, namun ketiga kawannya itu mengancam akan mendatanginya ke kampus, maka akhirnya pertemuan pun kembali terjadi di mal seperti sebelumnya.
Dalam pertemuan itu, Novie lebih banyak diajak berdiskusi soal sodaqoh, pencucian dosa, dan aturan NII. Secara sadar, Novie pun kemudian menjual handphone dan menguras habis tabungannya di ATM untuk menebus dosa-dosanya di dunia, total sekitar Rp2 juta.
"Saya dijelaskan dalam kitab suci itu ada dua negara, yaitu negara yang bathil dan benar. Indonesia merupakan negara bathil menurut mereka dan negara yang akan mereka bentuk ini adalah yang benar," ungkapnya.
Hari itu pula mereka membawa Novie ke daerah Pondok Cabe, kemudian dari sana dengan mata tertutup dan menggunakan motor, dia dibawa menuju Ciputat. Melintasi kampus UIN, Ciputat.
Malam itu dia menginap disebuah rumah yang berisi sejumlah wanita yang hendak dibai'at menjadi warga negara NII. Meski Novie malam itu menangis dan menolak untuk masuk ke dalam kelompok mereka, dia tak diizinkan pulang.
"Saya dibilang bodoh, kafir kalau tidak ikut bergabung. Mereka mengerubungi saya, menekan dan memaksa saya," katanya.
Keesokan paginya, Novie bersama tiga gadis seumurannya dan empat gadis usia belasan tahun dibawa ke daerah Bintaro dengan menggunakan mobil. Dari perkenalan itu, Novie tahu salah seorang dari mereka berasal dari Semarang dan satu lagi dari Bekasi. Sedangkan, keempat gadis lainnya adalah NII keturunan, yakni orangtua mereka merupakan NII.
"Untuk bisa hijrah kemudian dibai'at itu ada syaratnya, tidak boleh pacaran, tidak merokok, tidak punya anggota keluarga yang aparat hukum, dan wajib sodaqoh. Untuk bai'at biayanya Rp2,5 juta, waktu itu saya cuma punya Rp2 juta jadi saya utang Rp500 ribu dan harus lunas segera," tuturnya.
Usai dibai'at nama Novie berubah menjadi Jahira. Namun, kewajiban sodaqoh tak berhenti begitu saja, per bulannya anggota NII wajib menyetor Rp500 ribu. Apabila sekali saja tak menyetor, maka akan diakumulasikan pada bulan berikutnya.
Novie pun kerap dilarang menanyakan kemana uang sodaqoh itu disetorkan, itu haram hukumnya. Sama seperti menceritakan masalah NII kepada orang-orang terdekatnya, terutama keluarga.
"Saat dibai'at kami diberi kerudung, wajib memanggil abi kepada anggota laki-laki dan umi kepada perempuan. Kami juga dituntun mengucap Proklamasi NII dan UUD NII, redaksional kata-katanya selayaknya birokrasi pemerintahan, itu berlangsung selama dua jam," terangnya.
Novie mengaku sepulangnya ke rumah ada banyak pertanyaan dalam benaknya yang ingin diluapkan terkait peristiwa yang dialaminya selama dua hari itu, namun karena takut dia tak mengutarakan sedikitpun ke orang tuanya. Namun, sebulan kemudian, setelah lelah dengan pertemuan demi pertemuan, dan kewajiban sodaqoh yang harus dipenuhi, Novie pun memberanikan diri jujur kepada orangtuanya atas apa yang dialaminya.
"Cukup dua bulan saya bergabung dengan NII. Akhirnya beban saya lepas setelah orangtua mengirim saya ke NII Crisis Center, lalu saya ganti nomor handphone dan tak datang lagi ke pertemuan-pertemuan mereka yang kerap digelar di mal-mal," ucapnya.
Hingga saat ini, Novie masih sering bertemu dengan para anggota NII di beberapa mal kawasan Jakarta Selatan dan Barat.
"Kalau bertemu, mereka suka mengejek saya bilang kalau saya sudah terkena virus dan terkontaminasi. Tapi saya cuek saja, yang penting saya bisa terus melanjutkan kuliah dan tetap bersama keluarga," tutupnya. (umi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar