Transaksi mencurigakan yang melibatkan pegawai negeri sipil (PNS), menduduki posisi teratas, yakni 148 terlapor atau mencapai 50,3 persen. Dengan rincian, 22,8 persen PNS daerah dan 29,3 persen PNS pusat.
“Ada 67 PNS di daerah yang menjadi terlapor, sedangkan PNS Pusat sebanyak 86 terlapor,” kata Kepala PPATK Muhammad Yusuf dalam Refleksi Akhir Tahun 2011 di Gedung PPATK, Jakarta.
Selanjutnya, TNI/Polri menduduki posisi kedua transaksi mencurigakan. Dari kategori TNI/Polri, terdapat 29 terlapor.
Pada kategori swasta terdapat 26 terlapor, legislatif (DPR/DPRD) 20 terlapor, wiraswasta 19 terlapor, gubernur/bupati/walikota 18 terlapor, ibu rumahtangga 10 terlapor, dan lainnya 19 terlapor.
Secara keseluruhan, lanjut Yusuf, dari semua profesi terlapor yang terdapat dalam hasil analisis PPATK berdasarkan nominal transaksi, 23,8 persen terlapor bertransaksi antara Rp 1 miliar hingga kurang dari Rp 2 miliar.
Dalam data PPATK disebutkan, nominal transaksi di bawah Rp 1 miliar terdapat 42 terlapor, Rp 1 miliar-Rp 2 miliar 70 terlapor, Rp 2 miliar-Rp 3 miliar 33 terlapor, Rp 3 miliar-Rp 4 miliar 13 terlapor, Rp 4 miliar-Rp 5 milar 7 terlapor, Rp 4 miliar ke atas 60 terlapor, dan yang tidak teridentifikasi 69 terlapor.
“Sebanyak 70 terlapor tercatat bertransaksi antara Rp 1 miliar hingga kurang dari Rp 2 miliar. Sedangkan 69 terlapor belum bisa diidentifikasikan nominalnya,” ujar bekas Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan ini.
Yusuf menambahkan, mayoritas terlapor transaksi mencurigakan berdasarkan umur, yakni di bawah 30 tahun ada 10 orang. Selanjutnya, 30-34 tahun 26 terlapor, 35-39 tahun 27 terlapor, 40-44 tahun 49 terlapor, 45-49 tahun 36 terlapor, 50-54 tahun 55 terlapor, 55-59 tahun 55 terlapor, 60-64 tahun 18 terlapor, dan 65 lebih 6 terlapor.
“Terlapor mayoritas berumur di bawah 40 tahun sebesar 21,4 persen, terlapor yang berumur antara 40 hingga 49 tahun sebesar 28,9 persen, sedangkan terlapor yang berumur di atas 50 tahun sebesar 45,6 persen,” kata Yusuf.
Menurut Yusuf, data tersebut dianalisis jajarannya berdasarkan laporan transaksi keuangan mencurigakan (LKTM) sampai dengan 20 Desember 2011.
Berdasarkan hasil analisis PPATK, terdapat 83.435 laporan transaksi mencurigakan. Transaksi itu dilaporkan oleh 359 Penyedia Jasa Keuangan (PJK) selama periode 2007 sampai dengan 20 Desember 2011.
“Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang kami terima, sebagian besar masih berasal dari PJK bank, yaitu 54,5 persen. Selebihnya sebesar 45,5 persen berasal dari PJK non-bank,” ujarnya.
Dari 83.435 laporan tersebut, 19.511 laporan terjadi pada 2011, terdiri dari 9.188 laporan bank dan 10.323 dari non-bank.
Hal lainnya yang dijelaskan dalam hasil analisis PPATK, pada kategori tindak pidana, dugaan korupsi masih menduduki peringkat pertama, dengan total 175 terlapor atau 59,5 persen. Kemudian, tindak pidana penyuapan 25 terlapor dan penggelapan 9 terlapor.
Sedangkan pada tindak pidana pembalakan liar, penggelapan pajak dan teroris, masing-masing terdapat 3 terlapor. Pada tindak pidana narkotika dan perjudian, masing-masing terdapat 2 terlapor. Sedangkan pada bidang perbankan, hanya terdapat 1 terlapor.
“Korupsi masih menduduki peringkat pertama, artinya kita harus lebih keras lagi bekerja memberantasnya,” kata dia.
REKA ULANG
Yang Mencurigakan 148, Yang Dipecat 7
Tujuh pegawai Kementerian Keuangan yang diduga memiliki rekening gendut berdasarkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), telah dipecat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).Sedangkan di kementerian lain, belum terdengar ada PNS yang dipecat lantaran terbukti melakukan transaksi haram. Padahal, transaksi mencurigakan yang melibatkan pegawai negeri sipil (PNS) dari berbagai instansi, menduduki posisi teratas, yakni 148 terlapor atau 50,3 persen. Begitulah menurut data PPATK tahun 2011.
Kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Yudi Pramadi, audit investigasi internal Kemenkeu terhadap 33 laporan PPATK membuktikan, tujuh PNS itu melakukan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan tugas. Tindak lanjutnya berupa pengenaan hukuman disiplin. “Tujuh pegawai telah diberhentikan dengan tidak hormat sebagai PNS, bahkan dilakukan proses hukum,” katanya lewat siaran pers.
Yudi menjelaskan, Kementerian Keuangan telah menerima 86 laporan transaksi keuangan yang mencurigakan dari PPATK. Seluruh laporan tersebut, kata dia, telah ditindaklanjuti dan diproses secara profesional.
Menurut Wakil Ketua PPATK Agus Santoso, banyak PNS berusia 28 tahun yang terindikasi korupsi. Modusnya, bersama istri, para PNS itu mencoba menghilangkan jejak harta yang diduga didapat secara haram.
Agus mempertanyakan, apakah pimpinan para PNS muda itu tidak pernah melakukan pengawasan, sehingga anak buahnya mampu meraup uang negara dengan berbagai cara, kemudian mencucinya.
Menurut Ketua PPATK Muhammad Yusuf, banyak pelaku tindak pidana pencucian uang yang menggunakan rekening pihak ketiga, seperti istri dan anak mereka. “Bahkan, pembantunya.”
Selanjutnya, kata Yusuf, uang hasil tindak pidana tersebut biasanya diinvestasikan ke dalam berbagai instrumen keuangan seperti deposito atau perusahaan asuransi.
Modus lainnya, lanjut Yusuf, yakni menyalahgunakan APBD dengan memindahkannya ke rekening pribadi bendahara pemerintahan daerah.
Sebelumnya, PPATK menyerahkan sekitar seribu kasus serupa yang terjadi di seluruh Indonesia kepada aparat berwenang. Menurut Kapolri Jenderal Timur Pradopo, Polri sedang menyelidiki temuan PPATK mengenai rekening jumbo pegawai negeri. “Kasus itu masih dalam penyelidikan,” ujarnya.
Timur menyampaikan hal itu seusai penandatanganan nota kesepahaman antara Bank Indonesia, Polri, dan Kejaksaan Agung untuk penanganan kejahatan perbankan di Gedung Sjafrudin Bank Indonesia, Senin, 19 Desember 2011.
Menurut Timur, kesepemahaman ini akan membantu perbankan mengungkap kejahatan lewat bank. “Terkait kasus rekening gendut ini, kami masih melakukan penyelidikan lebih lanjut,” katanya.
Mereka Bekerja Secara Sistematis
Rouf Qusyairi, Sekjen Kaukus Muda Indonesia
Sekjen LSM Kaukus Muda Indonesia (KMI), Rouf Qusyairi mendesak KPK, Polri dan Kejaksaan Agung serius menindaklanjuti laporan PPATK mengenai transaksi mencurigakan tahun 2011.Rouf curiga, ada modus pejabat birokrasi untuk mengamankan dirinya dari jerat korupsi, dengan membentuk tim untuk melakukan negosiasi dengan para pemenang tender, dan menggunakan rekening bawahannya.
“Saya menduga, PNS muda dilibatkan petinggi di atasnya, karena mereka belum cukup mengerti sehingga dimanfaatkan,” katanya seusai menghadiri acara refleksi akhir tahun KMI di Jakarta, kemarin.
Meski demikian, lanjut Rouf, PNS muda juga menikmati keadaan tersebut, sehingga menjadi ajang untuk mengumpulkan kekayaan dengan cara mudah.
Lantaran itu, dia meminta aparat penegak hukum tidak melihat PNS muda sebagai oknum yang melakukan aksi secara perorangan. “Mereka tidak bekerja sendiri, tapi secara sistematis. Mereka ditugasi sebagai kasirnya pada pemenang tender,” kata dia.
Untuk itu, tambah Rouf, KPK harus menyelidiki hasil temuan PPATK segera karena ini persoalan bangsa yang sangat serius. “Percuma mengaku melakukan perang melawan korupsi kalau kader muda bangsa terjangkit korupsi tidak dibersihkan,” ujarnya.
Tindak pidana korupsi yang terorganisir dan sistematik perlu ditelusuri segera dengan melibatkan semua pihak, termasuk pengawas di internal kelembagaan atau departeman. “Di birokrasi ada pengawasan internal dan eksternal, maka perlu dimaksimalkan perannya.”
Selain itu, penegak hukum juga harus memberikan shock therapy karena modus ini sudah berjalan sejak lama. Salah satunya dimulai dari rekrutmen yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
“Jika KKN tetap ada, lembaga negara atau departemen bisa menjadi ladang subur dan tumbuh kembangnya para koruptor baru,” katanya.
Yang Penting Tindak Lanjutnya
Nudirman Munir, Anggota Komisi III
Anggota Komisi III DPR Nudirman Munir menilai, hasil temuan PPATK mengenai transaksi mencurigakan itu bagus.Tapi, yang lebih penting adalah tindak lanjut penegak hukum terhadap data tersebut. “Sebagus apa pun data yang diberikan PPATK, kalau tidak ada tindakan, sama juga bohong,” katanya.
Dia mengingatkan, KPK, Polri dan Kejaksaan Agung jangan sekadar menerima hasil analisa PPATK. Namun, mesti diteruskan dengan penelusuran kepada pemilik rekening-rekening gendut tersebut.
Menurut Nudirman, PNS pemilik rekening mencurigakan itu sangat mencoreng semangat pemerintah menciptakan pemerintahan yang sehat dan bersih. “Satu Gayus Tambunan saja sudah bikin repot, apalagi kalau ada yang lainnya.”
Secara logika, kata Nudirman tidak mungkin PNS muda memiliki uang miliaran rupiah di rekeningnya, karena uang yang mereka miliki bisa dihitung dengan besaran gaji dan masa kerja mereka. “Tidak mungkinlah PNS yang baru masuk memiliki uang miliaran rupiah, itu bisa ditelusuri dengan melihat berapa besar gaji mereka selama bekerja,” ujarnya.
Nudirman menambahkan, jika penegak hukum tidak melakukan tindakan setelah menerima laporan hasil analisis PPATK, masyarakat akan meragukan komitmen penegak hukum dalam pemberantasan korupsi.
Selain itu, Nudirman berharap lembaga pengawasan yang melekat pada institusi atau departemen bisa bekerja lebih maksimal dalam melihat celah korupsi yang dilakukan PNS.
“Saya khawatir karena satu korps ada timbang rasa dan menjadi lemah, hal itu disebabkan adanya kepentingan bersama untuk menjaga nama baik institusi mereka,” katanya.
Untuk itu, kata dia, meski ada pengawasan internal, pengawasan eksternal juga harus dilibatkan. “Pengawas independen juga sangat penting, keberadaan mereka bisa memperkuat sistem pengawasan internal. Tapi, BPK dan BPKP wajib jalan dan melakukan pengawasan lebih ketat,” katanya.
Nudirman juga meminta pimpinan baru KPK melakukan tugasnya memberantas korupsi, dengan tidak pandang bulu. [Harian Rakyat Merdeka]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar