BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 14 September 2015

Hakim Agung Takdir Rahmadi dan Ketokan Palu Seharga Rp 366 Miliar

Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Hakim agung Prof Dr Takdir Rahmadi LLM dan anggota majelisnya menolak kasasi PT Kallista Alam. Alhasil, putusan denda Rp 366 miliar ke pembakar seribu hektare hutan di Aceh itu dikuatkan. Tak hanya itu, aset tanah dan bangunan PT Kallista Alam juga disita.

Vonis itu diketok pada 28 Agustus 2015 dalam nomor perkara 651 K/PDT/2015. Duduk sebagai hakim anggota yaitu hakim agung Dr Nurul Elmiyah dan hakim agung I Gusti Agung Sumanatha. Siapakah hakim agung Takdir?

Takdir Rahmadi merupakan hakim agung dari kalangan masyarakat. Sebelum menjadi hakim agung pada 2009, Takdir merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand), Padang, Sumatera Barat. Di kampus itu, ia merupakan guru besar untuk hukum lingkungan. Alumnus Unand tahun 1979 ini menyelesaikan pendidikan tertingginya di program doktor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya pada 1997.

Perjuangan membela keberlangsungan lingkungan tidak hanya dilakukan di dalam kampus, tetapi juga aktif dalam kegiatan penguatan lembaga swadaya masyarakat di Pusat Hukum Lingkungan Indonesia (Indonesian Center for Environmental Law/ICEL).

Usai memakai jubah emas hakim agung, Takdir menjadi wakil Koordinator Tim Reformasi Kehakiman. Kiprahnya itu mengantarkannya ke kursi pimpinan MA sebagai Ketua Muda MA bidang Pembinaan pada 2014 lalu.

"Hukum lingkungan Indonesia berkembang selain karena perkembangan legislasi seperti melalui pengundangan UU Lingkungan Hidup tahun 1982, UU Lingkungan Hidup tahun 1997 dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tahun 2009, juga berkembang melalui putusan-putusan pengadilan," kata Takdir dalam makalahnya 'Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia' yang dikutip detikcom dari website MA, Senin (14/9/2015).

Dua putusan pengadilan yang dapat dipandang sebagai putusan-putusan penting (landmark decisions) adalah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dalam perkara WALHI melawan PT IIU. Putusan ini kemudian memberikan inspirasi bagi pembuat UU untuk merumuskan hak gugat organisasi lingkungan hidup ke dalam UU, yaitu Pasal 38 UU Lingkungan Hidup tahun 1997.

Putusan penting kedua yaitu putusan PN Garut antara warga melawan Perhutani dalam kasus longsornya Gunung Mandalawangi pada tahun 2000-an. Perhutani dkk dihukum membayar Rp 30 miliar kepada warga dan biaya pemuliaan lahan.

"Meskipun prinsip keberhati-hatian belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia pada waktu perkara ini diadili, hakim ternyata telah menggunakan prinsip tersebut sebagai dasar pertimbangan putusan. Pemikiran dan pertimbangan hakim dalam kasus ini tidak terlepas dari fakta bahwa salah seorang majelis hakim di tingkat pertama yang mengadili pernah mengikuti pelatihan hukum lingkungan yang antara lain membahas fungsi prinsip-prinsip yang tercantum dalam Deklarasi Rio sebagai sumber hukum," ujar Takdir yang meraih master dari Universitas Dalhousie, Kanada, pada 1987.

Komitmennya itu diuji dalam perkara PT Kallista Alam yang membakar hutan di Aceh pada 2012. Pemerintahan SBY menggugat PT Kallista Alam Rp 366 miliar, penyitaan aset, larangan menanam kelapa sawit dan uang paksa per hari. Permintaan ini lalu dikabulkan PN Meulaboh dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Aceh. Takdir lalu mengamini putusan itu pada 28 Agustus 2015 lalu.

Kini ada dua perkara besar yang disodorkan sisa pemerintahan SBY ke MA. Yaitu pembakaran hutan di Meranti, Riau, oleh PT National Sago Prima (NSP) dengan tuntutan Rp 1 triliun dan pembalakan hutan oleh PT Merbau Pelalawan Lestari kurun 2006-2009 dengan tuntutan Rp 16 triliun. Nasib alam Indonesia kini di ketokan palu MA. 

Tidak ada komentar: