BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Jumat, 13 Mei 2016

Moratorium Reklamasi Jangan Rugikan Pengembang

 Tempo.co
Buntut dari perdebatan panjang atas kewenangan pemberian izin pelaksanaan reklamasi teluk Jakarta apakah berada di tangan Gubernur DKI atau Menteri KKP, saat ini berujung pada moratorium yang dikeluarkan Menteri Koordinator Kemaritiman yang sekaligus merupakan kesepakatan bersama dari pemerintah.
Moratorium dilakukan untuk mengevaluasi pelaksanaan reklamasi terkait Amdal, dan sekaligus dalam rangka penyelarasan aturan reklamasi lintas instansi yang berada dalam naungan pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Tentu sikap pemerintah seperti ini menjadi pilihan dilematis, di satu sisi pemerintah sudah mengeluarkan izin reklamasi, di sisi lain terdapat perdebatan tentang kewenangan perizinan. Namun, pengembang tentunya tidak boleh juga disalahkan begitu saja, toh mereka sudah menggantongi izin pelaksanaan reklamasi itu sendiri.

Pakar Hukum Tata Negara, Iman Putra Sidin dalam komentarnya mengatakan, Pengembang tidak bisa dianggap bersalah soal keluarnya polemik siapa yang berwenang terhadap pemberian izin reklamasi apakah Gubernur atau Menteri. “Mereka sudah mendapatkan izin untuk membangun pantai utara Jakarta dan karenanya izin itu tidak bisa dengan mudah dihentikan begitu saja oleh pemerintah,” ujarnya disalah satu surat kabar, 9/5/2016.
Karena itu tidak jika beberapa pengamat kebijakan pemerintah serta pakar hukum tata Negara berpendapat, kalau moratorium atau penghentian sementara proyek reklamasi itu masih sangat bias tanpa adanya dasar hukum yang jelas, dan hal itu bisa saja menjadi perbuatan melawan hukum. Sebab moratorium itu sama saja memberikan sanksi bagi pengembang.
Ketidakpahaman cara berpikir pemerintah dalam menyelesaikan masalahnya dengan cara moratorium itu. Saya menilai sebagai bentuk ketidakan adilan pemerintah terhadap investor dalam hal ini para pengembang proyek reklamasi 17 pulau di teluk Jakarta, karena bagaimanapun pengembang adalah warga Negara yang harus dijamin haknya oleh konstitusi/pemerintah yakni, berupa hak atas perlindungan dan kepastian hukum.

Oleh karena itu, sangat beralasan jika kekhawatiran Gubernur DKI Jakarta serta beberapa pengamat dan pakar menilai penghentian proyek reklamasi melalui moratorium itu sangat memungkinkan dapat digugat oleh para pengembang untuk meminta ganti rugi atas investasi mereka dalam pengerjaan proyek reklamasi yang selama ini telah mereka kerjakan.
Jadi tak heran jika pakar hukum tata Negara Iman Putra Sidin itu mengatakan, berapa besar biaya yang dikeluarkan? Solusi apa yang diberikan pemerintah kepada pengembang yang sudah menghabiskan triliunan rupiah untuk membiayai proses pengerjaan proyek reklamasi pantai utara Jakarta itu?
Menurut saya, apa yang disampaikan oleh pakar hukum tata Negara itu tentunya memiliki dasar hukum yang kuat. Beliau sangat memahami betul, pelanggaran hukum apa yang telah dilakukan pemerintah atas keputusannya itu. Karena seperti diketahui moratorium itu putuskan sepihak oleh pemerintah tanpa mempertimbangkan dampak kerugian yang akan ditimbulkan yang akan diterima pengembang dari penghentian proyek reklamasi tersebut.
Padahal, pengembang hanyalah menjalankan program pembangunan pemerintah DKI yang diamanatkan melalui surat izin pelaksanaan reklamasi yang telah diberikan Gubernur DKI Jakarta sesuai peraturan UU dan Keppres nomor 52 tahun 1995 untuk melakukan reklamasi dan revitalisasi pantai utara Jakarta, yang belakangan diketahui proyek reklamasi 17 pulau tersebut sebagai bagian yang terintegrasi dengan program pemerintah pusat dalam proyek garudanya.
Katanya, proyek reklamasi 17 pulau dan proyek Garuda di teluk Jakarta itu diyakini Presiden sebagai upaya pemerintah dalam mengatasi persoalan Ibukota Negara dari masalah banjir rob, penurunan muka tanah yang diprediksi puluhan tahun kedepan akan menenggelamkan Jakarta, dan selain itu proyek reklamasi tersebut juga sebagai usaha pemerintah untuk menanggulangi kepadatan penduduk serta menata Ibukota dari kesemerautan tata kota Jakarta akibat keterbatasan lahan hunian di DKI Jakarta.
Oleh sebab itu, saya menilai kebijakan moratorium reklamasi itu merupakan contoh yang tidak baik dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Langkah ini dapat menjadi pelajaran buruk yang membuat investor jera karena tidak adanya kepastian hukum.
Seharusnya, penyelesaian polemik reklamasi Teluk Jakarta akibat perebutan kewenangan antarinstansi kementerian terkait dan pemerintah daerah dalam memberikan izin reklamasi seperti ini, pemerintah pusat cukup mengambil solusi dengan melakukan penyesuaian izin terhadap syarat-syarat yang dibutuhkan, bukan malah member sanksi dengan mengeluarkan moratorium. Semoga pemerintah dapat mengambil langkah yang jauh lebih bijaksana dalam menyelesaikan masalahnya kedepan.

Jakarta, 11 Mei 2016

Tidak ada komentar: