Guru
Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Prof. Firmanzah, PhD,
mengakui adanya perubahan ekonomi dunia yang ditandai dengan kejamuan di
negara-negara berpenghasilan tinggi seperti Amerika Serikat (AS),
Jerman, Inggris ataupun Jepang. Namun demikian, ia menilai, ekonomi
Indonesia tetap memiliki prospek yang baik di tengah konsolidasi ekonomi
dunia menuju keseimbangan baru itu.
“Meskipun proyeksi Bank Dunia menunjukkan perlambatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia tahun ini, namun Pemerintah optimistis pembangunan ekonomi tetap menguat bersamaan dengan sinyal positif lainnya, misalnya hasil survei Global Consumer Confidence Index yang dilakukan lembaga riset Nielsen yang menempatkan Indonesia sebagai pasar paling optimistis di kuartal keempat 2013,” kata Firmanzah dalam perbincangan di Jakarta, Senin (3/2) pagi.
Pernyataan Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan itu menanggapi hasil pertemuan tahunan World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss yang mengangkat tema“The Reshaping of the World: Consequences for Society, Politics and Business” , dimana para pemimpin ekonomi dunia dalam forum ini sepakat bahwa ekonomi global perlahan menunjukkan arah pemulihan, angka pertumbuhan
global mulai menguat, krisis fiskal mulai berkurang, lembaga dan sistem
keuangan semakin membaik, dan likuiditas di pasar cukup memadai. Namun
demikian, dunia perlu untuk tetap mewaspadai potensi risiko yang masih
tersisa khususnya krisis fiskal negara-negara maju.
Diakui Firmanzah, dinamika
perekonomian dunia sepanjang triwulan terakhir 2013 hingga januari 2014
memang memperlihatkan adanya kemajuan khususnya di negara-negara
berpenghasilan tinggi seperti Amerika, Jerman, Inggris ataupun Jepang.
Kemajuan positif negara maju ini tentunya memiliki korelasi yang kuat dengan dinamika ekonomi di negara berkembang mengingat negara-negara ini (negara maju) merupakan penopang struktur ekonomi global.
“Menguatnya
perekonomian seperti Amerika telah berimbas dan memaksa negara-negara
berkembang untuk merestrukturisasi perekonomiannya,” ujar Firmanzah.
Ia menunjuk, salah
satu fenomena yang dapat dirasakaan saat ini adalah melemahnya nilai
tukar mata uang di beberapa negara berkembang akibat menguatnya mata
uang dollar AS (US$), capital outflows atau perlambatan capital inflows,
dan ancaman inflasi yang tinggi. Negara-negara berkembang seperti
Argentina, Turki, Afrika Selatan, Brazil, dan India merupakan negara
yang saat ini mengalami tekanan tersebut.
Firmanzah juga menunjukkan laporan Bank Dunia awal 2014, yang menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini dmenjadi 3,2 persen (dari proyeksi 3 persen sebelumnya) dan 3,4 persen tahun 2015. “Revisi ke atas proyeksi pertumbuhan global ini sebagai imbas atas perkembangan positif negara-negara maju seperti Amerika dan zona Euro sepanjang kuartal terakhir 2013 hingga awal 2014,” jelas Firmanzah.
Menurut laporan Bank Dunia itu, pertumbuhan
ekonomi negara-negara maju diperkirakan menguat 20 basis poin dari
proyeksi sebelumnya 2 persen ke level 2.2 persen pada tahun 2014.
Penguatan ini didorong oleh bergairahnya ekonomi Amerika yang menguasai
20 persen perekonomian dunia. Perekonomian Amerika diproyeksikan dapat tumbuh 2.8 persen tahun ini atau meningkat dari dari 1,8 persen tahun lalu.
Sedangkan zona Euro diperkirakan menguat 0,2 persen dari perkiraan sebelumnya (0.9) menjadi 1,1 persen di tahun 2014. Penguatan kawasan ini, menurut Firmanzah. dipicu oleh tumbuhnya sektor industri khsusunya di negara seperti Jerman, Perancis, juga Inggris setelah dua tahun ini mengalami kontraksi.
Bank
Dunia juga merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi di negara-negara
berkembang ke level 5,3 persen pada tahun ini atau turun dari proyeksi
sebelumnya 5.6 persen. Namun revisi ini. Menurut Prof. Firmanzah, masih
tetap lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan negara berkembang di 2013
yang sebesar 4.8 persen. Sementara tahun 2015 dan 2016, Bank Dunia
memprediksi ekonomi negara berkembang akan tumbuh berturut-turut 5,5 persen dan 5,7 persen.
Beberapa
negara berkembang yang disebutkan masih akan tumbuh di atas 5 persen di
tahun 2014 menurut Bank Dunia antara lain Angola (8 persen), China (7,7
persen), India (6,2 persen) dan Indonesia (5,3 persen). Sementara negara seperti Brazil dan Rusia diperkirakan hanya mampu tumbuh di kisaran 2 persen.
Firmanzah menjelaskan, perlambatan
di negara berkembang selain perlambatan mesin utama China, terutama
dipicu oleh tekanan restrukturisasi arus modal keluar dan penataan
kembali sumber pertumbuhan yang lebih berkesinambungan.
“Restrukturisasi arus modal keluar dilakukan setelah The Fed mengeluarkan kebijakan pengurangan stimulus Quantitative Easing (QE) secara bertahap dan diperkirakan selesai di tahun ini,” papar Firmanzah sembari menyebutkan, di awal 2014, The Fed sudah mengeluarkan kebijakan pengurangan US$ 20 miliar (US$ 10 miliar di Januari dan US$ 10 miliar di Februari) dari program stimulus US$ 85 per bulan menjadi US$ 65 miliar.
Mitigasi Potensi Risiko
Mengenai
Indonesia, Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Prof.
Firmanzah PhD menyampaikan alasannya untuk bersikap optimistis. Selain
melihat pada hasil survei Global Consumer Confidence Index lembaga riset Nielsen yang menempatkan Indonesia sebagai pasar paling optimistis di kuartal keempat 2013, menurut Firmanzah, Indonesia
juga tercatat mempunyai indeks kepercayaan konsumen tertinggi secara
global yaitu 124 pada kuartal keempat 2013 naik empat poin dari kuartal
sebelumnya yang diikuti Filipina dan Thailand dengan indeks 114 dan 109.
Begitu juga di sektor usaha, sesuai laporan
Bank Dunia terkait kemudahan berusaha (Doing Business 2014) menaikkan
peringkat investasi Indonesia ke peringkat 120 (naik dari peringkat 128
tahun sebelumnya).
Meski demikian, guna memitigasi potensi risiko dan ketidakpastian ekonomi dunia, menurut Firmanzah, Pemerintah terus meningkatkan lima hal utama, yakni: Pertama, terus mendorong penguatan daya beli masyarakat (keep buying policy)
melalui sejumlah program baik dari sisi pasok (ketersedian dan pasokan
barng/jasa) maupun permintaan (insentif langsung/tidak langsung kepada
masyarakat).
Kedua, percepatan pembangunan infrastruktur untuk mendorong konektivitas dan daya saing logistik nasional. Firmanzah menyebutkan, realisasi investasi pembangunan infrastuktur melalui alokasi APBN 2013 mencapai Rp 203 triliun atau naik 16.4 persen dari tahun 2012 sebesar Rp. 174.9 triliun.
“Dalam APBN 2014, alokasi belanja infrastuktur ditargetkan sebesar Rp.208 triliun. Sementara
realisasi investasi pembangunan infrastruktur pada MP3EI per akhir 2013
mencapai Rp. 828,7 triliun (sektor riil dan infrastruktur). Di akhir 2014, realisasi investasi program MP3EI diperkirakan dapat mencapai Rp.1.000 triliun,” ungkap Firmanzah.
Ketiga, terus mendorong investasi sebagai salah satu motor pertumbuhan. Ia menyebutkan, sesuai rilis Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) realisasi investasi Januari-Desember 2013 mencapai Rp. 398,6 triliun atau melebih target sebesar Rp.390 triliun. Untuk tahun 2014, Pemerintah menargetkan investasi yang masuk baik PMA maupun PMDN dapat mencapai Rp.506,7 triliun.
Keempat, penguatan sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Penguatan UMKM sebagai basis penopang perekonomian nasional (mengingat hingga 95 persen unit usaha di Indonesia adalah UMKM), kata Firmanzah, perlu terus didorong dalam meningkatkan daya saing, kapasitas, cakupan, dan akses permodalan.
Dan kelima,
dengan pembangunan infrastruktur, investasi sektor riil dan penguatan
UMKM diharapkan dapat memperlebar pasar tenaga kerja nasional sehingga
ekonomi dapat terus tumbuh positif dan berkualitas. (ES)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar