Oleh: Ahmad Farhan Faris
INILAHCOM, Jakarta - Partai Amanat Nasional (PAN) mengkritisi
pernyataan politisi PDI Perjuangan Pramono Anung yang menyebutkan
sepanjang sejarah pemilihan pimpinan MPR tidak pernah dilakukan dengan
cara voting, tapi dilakukan dengan musyawarah mufakat.
Anggota
DPR Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay mengatakan, pernyataan Pramono
Anung tersebut tidak benar dan jauh dari fakta. Karena, pemilihan Ketua
MPR lewat mekanisme voting sudah dilaksanakan sejak pemilu 1999 dimana
kala itu ada banyak calon yang muncul untuk ikut bertarung.
Antara
lain, kandidat ketua MPR yang ada saat itu M. Amin Rais, Husnie
Thamrin, Nazri Adlani, Matori Abdul Djalil, Ginandjar Kartasasmita, Kwik
Kian Gie, Hari Sabarno, dan Yusuf Amir Faisal. Masing-masing kandidat
itu dinominasikan oleh para pendukungnya untuk menduduki kursi ketua
MPR.
"Fakta historis seperti ini semestinya tidak dilupakan, kan
belum begitu lama. Semuanya masih mudah diingat dan segar dalam memori
dan ingatan banyak orang," katanya kepada INILAHCOM, Senin (6/10/2014).
Ia
menjelaskan, pemilihan pimpinan baru MPR saat itu dilaksanakan pada
malam hari tanggal 3 Oktober 1999, kemudian anggota MPR yang ikut
memilih tercatat 647 anggota. Menurut dia, sebelum pemilihan, konstalasi
politik mengerucut kepada dua nama, yaitu M. Amin Rais dan Matori Abdul
Jalil.
Namun, setelah pemungutan suara M. Amin Rais akhirnya keluar sebagai pemenang dengan 305 suara dan Matori Abdul Jalil 279 suara.
"Pemilihan
itu berlangsung sangat demokratis. Syukurnya, semua pihak menerima
hasil itu dengan lapang dada. Tidak ada yang walk out dan membuat
pernyataan yang menyudutkan pemenang," ujarnya.
Selain itu,
voting dalam pemilihan pimpinan MPR pernah juga dilaksanakan pada tahun
2004. Bedanya, pemilihannya dilaksanakan dengan sistem paket dan ada
tiga paket kala itu.
Yakni, paket A (Koalisi Kebangsaan)
mengusulkan nama Sutjipto (PDIP), Theo L Sambuaga (Golkar), Aida Zulaika
Ismeth Nasution (DPD) dan Sarwono Kusumaatmaja (DPD). Kemudian, paket B
(Koalisi Kerakyatan) mencalonkan Hidayat Nurwahid (PKS), AM Fatwa
(PAN), HM Aksa Mahmud (DPD), dan Dr Mooryati Soedibyo (DPD). Sementara,
paket C memilih abstain.
Pemilihan yang diikuti 668 dari 675
anggota MPR dilaksanakan siang hari tanggal 6 Oktober 2004. Hasil akhir
pemungutan suara adalah Paket A 324 suara, Paket B 326 suara, Paket C 13
suara (abstain), dan terdapat 10 suara tidak sah.
Jadi, kata
Saleh, berdasarkan fakta historis itu, pemilihan ketua MPR lewat voting
sudah pernah ada dan tidak ada masalah. Karena itu, tidak tepat dan
tidak benar disebut bahwa voting dalam memilih pimpinan MPR sebagai
sesuatu yang ahistoris di pentas politik nasional.
"Perlu
ditelusuri apa motif Pramono Anung dalam menyampaikan pernyataan seperti
itu. Jangan-jangan hanya untuk menggiring opini bahwa pemilihan
pimpinan MPR lewat voting dianggap tidak sah. Kalau itu yang dimaksud,
tentu muatan politiknya sangat besar. Kasihan masyarakat dengan opini
yang tidak berdasar seperti itu," tandas Ketua DPP PAN itu. [fad]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar