BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Minggu, 20 Juni 2021

Beda Nasib Eks Dirut PTK Suherimanto dan Ahmad Bambang

Konten ini diproduksi oleh Toekang Tjoekoer

Kasus Korupsi pengadaan kapal Anchor Handling Tug Supply (AHTS) atau Kapal Transko Andalas dan Kapal Transko Celebes pada 2011 lalu, akhirnya menyeret mantan Dirut PT Pertamina Trans Kontinental (PTK) periode Juni 2010-Juli 2012, Suherimanto.

Suherimanto dalam sidang di PN Tipikor Jakarta, Rabu (20/3/2018) lalu, divonis 2,4 tahun penjara karena terbukti bersalah melakukan korupsi terkait kasus tersebut. Selain hukuman penjara, Suherimanto juga dikenakan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan. Suherimanto pun harus membayar uang pengganti sekitar Rp 8 miliar subsider satu tahun penjara.
Vonis ini dijatuhkan karena hakim menilai Suherimanto telah memenuhi unsur menguntungkan diri sendiri dan korporasi dengan menerima uang dari pihak pemenang pengadaan dua unit kapal sebesar USD 617.561,97.
Suherimanto menurut hakim juga telah mengarahkan PT Vries Maritime Shipyard (VMS) sebagai pemenang pengadaan kapal. Dari penilaian BPKP, akibat kasus korupsi ini Suherimanto ini negara dirugikan Rp 35 miliar.

Kasus korupsi di PTK ini bermula saat PTK melakukan pengadaan kapal AHTS dengan PT VMS, dimana harga yang ditawarkan sekitar USD 28,4 juta atau hampir Rp 254 miliar dengan kurs dolar saat itu Rp 9.000.
Masalah muncul ketika pengadaan kapal tersebut dilakukan dengan manipulatif dimana proses negosiasi harga, penandatanganan perjanjian jual beli, dimanipulatif sebelum terjadinya negosisasi harga atau backdate.
Padahal PT VMS jika diselidiki lebih dalam tidak mempunyai kualifikasi yang pantas untuk menjadi pelaksana pengadaan, baik dari pengalaman, SDM, Modal, Peralatan sesuai kriteria. Ditambah lagi belum adanya SIUP, TDP, Nomor Identitas Kepabeaan, dan Angka Pengenal Impor Produsen saat ditetapkan sebagai pelaksana pengadaan.
Masalah ini diperparah dengan adanya persetujuan dari Suherimanto untuk memberikan pinjaman tanpa persetujuan Dewan Komisaris kepada PT VMS sebesar USD 3,5 juta, jelas saja hal ini bertentangan dengan Surat Perjanjian yang berlaku.
Belum lagi dimana PT VMS mendapat perlakuan khusus oleh Suherimanto terkait keterlambatan penyerahan kapal dengan memberikan perpanjangan waktu tanpa dikenakan denda keterlambatan, padahal tidak memenuhi alasan force majeure.
Dari kasus ini, Suherimanto mendapatkan uang dari Dirut PT VMS Aria Odman sebesar USD 517.561,97 dan Rp 900 juta.
Keputusan majelis hakim terhadap kasus korupsi ini yang hanya menjerat Suherimanto seorang juga patut dikritisi. Sebenarnya dalam beberapa kali persidangan ada nama yang sering disebut para saksi dan terdakwa. Nama tersebut adalah Ahmad Bambang (AB) yang juga merupakan Dirut PTK periode Agustus 2012-November 2014, sebagai pengganti Suherimanto.
Misalnya terkait denda keterlambatan penyerahan kapal Transko Andalas dan Transko Celebes, saksi Aria Odman dalam persidangan mengakui, bahwa AB sebagai Dirut PTK saat itu yang berperan dalam penghapusan denda tersebut sebesar USD 900 ribu atau setara Rp 12,5 miliar.
Menurut Aria, padahal sesuai perjanjian karena keterlambatan itu, pihaknya harus membayar denda sebesar USD 5 ribu per hari per unit kapal. Selain itu Aria menjelaskan bahwa kedua kapal yang didatangkan dari Tiongkok itu, mengalami keterlambatan sesuai jadwal, masing-masing 77 hari untuk Transko Andalas dan 105 hari untuk Transko Celebes.
Atas keterangan saksi Aria Odman dipersidangan, kuasa hukum Suherimanto pun meminta penyidik Kejagung untuk melakukan pemeriksaan ulang kasus tersebut. Menurutnya tindakan AB yang berperan dalam penghapusan denda bisa dijadikan bukti atas kasus itu.
Kuasa hukum Suherimanto pun menyayangkan penyidik yang tidak melakukan pemeriksaan secara utuh dan terkesan tebang pilih dalam menetapkan tersangka pada kasus tersebut. Apalagi fakta dipersidangan yang dijelaskan saksi menyebutkan kata-kata cincai-cincailah agar denda keterlambatan dihapuskan diucapkan oleh AB.
Dari uraian diatas terkait vonis terhadap mantan Dirut PTK Suherimanto ini, bisa dilihat bahwa peran AB sebagai salah satu aktor kasus korupsi pengadaan kapal AHTS yang telah merugikan negara ini, telah luput dari jangkauan hukum. Padahal dari keterangan saksi di persidangan, perannya yang ikut andil dalam penghapusan denda keterlambatan bisa lebih diselidiki lagi.
Bahkan Indonesian Corruption Watch (ICW) pernah menyerahkan hasil investigasinya ke Kejagung pada Rabu (8/2/2017) silam. Koordinator Divisi Investigasi ICW Febri Hendri saat itu mengatakan adanya keterlambatan penyerahan kapal dari PT VMS ke PT PTK. Dalam kontrak, semestinya kapal pertama bernama Trans Andalas diserahkan pada 25 Mei 2012 dan kapal kedua bernama Trans Celebes pada 25 Juni 2012.
Pada kenyataannya, kapal baru diserahkan pada 10 Agustus 2012 dan 8 Oktober 2012. Semestinya, kata Febri, ada denda dalam kontrak yang wajib dibayar jika mengalami keterlambatan. Denda tersebut sebesar US$ 5.000 per kapal per hari. "Kalau dihitung keterlambatan 175 hari dan tidak ditagih oleh direksi PT PTK. Ada US$ 875.000 yang tidak ditagih," kata Febri.
Soal keterlambatan itu, PT VMS beralasan karena faktor cuaca di tempat pembuatan kapal, yaitu di Guangzhou, China.
Tim investigasi ICW kemudian memastikannya ke Hongkong Observatory. Diketahui ada sekitar 23 angin topan yang terjadi di China tahun itu. Namun, kejadian itu hanya berlangsung pada Juli hingga September 2012. "Itu juga terjadi setelah tenggat waktu dalam kontrak. Jadi mestinya tidak berpengaruh ke jadwal penyerahan kapal," kata Febri.
Sebagai kompensasi keterlambatan itu, akhirnya PT VMS menambah peralatan kapal senilai Rp 322 juta dan US$ 2.200. Padahal, kompensasi denda tidak diatur dalam kontrak. Dengan demikian, kata Febri, direksi PT PTK dan PT VMS melanggar kontrak dan membuat aturan sendiri yang tak tertera dalam kontrak.
Dari laporan investigasi ICW, masalah denda keterlambatan juga menjadi salah satu yang disoroti dalam kasus korupsi pengadaan kapal itu. Namun entah faktor keberuntungan atau memang ada tangan-tangan yang tak terlihat yang ikut menarik AB lolos dari sangkaan para penegak hukum. Padahal masalah denda ini menjadi tanggung jawab AB sebagai Dirut PTK.
Bahkan ketika saat AB menjabat Dirut PTK, ia juga pernah terlibat permasalahan terkait pemutusan kontrak kerja yang dinilai sepihak. Adalah mantan sekretaris pribadinya Irma Trisnawati yang diputus kontrak kerjanya pada oktober 2014, padahal kontrak kerjanya habis masa berlaku sampai November 2015.
Kasus ini sempat mencuat ke permukaan dikarenakan Irma tidak puas dengan alasan pemecatan dirinya sebelum selesai masa kerjanya berakhir. Irma pun sempat mengancam ingin membuka sikap AB atas perlakuan melecehkan sebagai perempuan. Namun entah kenapa kasus ini pun hilang ditelan bumi.
Seperti diketahui, AB saat ini merupakan Deputi Bidang Usaha Konstruksi dan Sarana dan Prasarana Perhubungan (KSPP) Kementerian BUMN. Lepas dari jabatannya sebagai Wadirut Pertamina, AB sempat nganggur, dan tak berapa lama diberdayakan oleh Menteri BUMN Rini Soemarno sebagai salah satu staf khususnya. AB menjabat sebagai Deputi di Kementerian BUMN sejak dilantik 3 November 2017.
Saat putusan vonis terhadap Suherimanto yang jatuh pada 20 Maret 2018 lalu, saat itu AB tengah disibukkan dengan aktivitasnya sebagai seorang Deputi Kementerian BUMN, yang membawahi 29 BUMN di sektor konstruksi dan transportasi.
( dikutip dari tulisan " Kumparan.Com ) tanggal 26 April 2018 )

Tidak ada komentar: