BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Jumat, 02 September 2011

Pemberian Gelar ke Raja Saudi Dikecam Keluarga Ruyati, Rektor UI Minta Maaf

Rachmadin Ismail - detikNews

Jakarta - Keluarga Ruyati, TKI yang dipancung di Arab Saudi mengecam pemberian gelar doktor honoris causa pada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Azis al-Saud oleh rektor Universitas Indonesia (UI), Gumilar R Sumantri. Menyadari hal itu, Gumilar pun meminta maaf.

Putri Ruyati, Een Nuraini menangis mendengar pemberian gelar doktor ini dan menyatakan ketidakikhlasannya. Een bahkan terisak saat menggelar jumpa pers tentang pernyataan sikapnya ini.

"Saya nggak ikhlas. Gelar itu sama saja mengakui pemancungan, biadab," ujar Een.

Saat dikonfirmasi detikcom, Gumilar menjelaskan duduk persoalan pemberian gelar tersebut. Menurut dia, momen pemberian memang dilakukan saat isu pemancungan sedang marak di Tanah Air. Namun, sebetulnya usulan gelar itu sudah diajukan sejak tiga tahun silam.

"Sebagai bangsa Indonesia, tentu mendengar WNI dipancung saya sedih dan prihatin. Kalau ada orang yang tersinggung, terlepas mereka tidak memahami konteks hukum di Saudi Arabia dan aturan yang dibuat UI dan mungkin mereka merasa tidak nyaman saya mohon maaf," kata Gumilar lewat telepon, Jumat (2/9/2011).

Gumilar menambahkan, prosedur pemberian doktor honoris causa di UI sudah aturan baku. Prosesnya cukup panjang mulai dari usulan hingga perdebatan di tingkat komite tetap yang terdiri dari para guru besar.

Dari hasil pembahasan tersebut, dicapailah sebuah keputusan untuk memberikan gelar pada Raja Saudi. Beberapa pertimbangan dijadikan acuan, terutama jasa-jasa raja terhadap pembangunan Islam di Indonesia.

"King pernah membantu menyelesaikan Masjid Arifin Rachman Hakim di Salemba. King juga membantu tsunami Aceh sebagai donatur terbesar dan banyak menyantuni anak-anak miskin yatim piatu di Aceh," terangnya.

Tidak hanya itu, Raja Saudi juga dianggap memiliki pemerintahan yang realistis dan visioner. Bahkan, untuk misi perdamaian di Palestina, raja juga tergolong aktif.

"Jadi yang kami lakukan sangat akuntabel," tegasnya.

Diakui Gumilar, waktu pemberian gelar memang kurang tepat karena isu Ruyati yang tiba-tiba muncul. Namun penentuan waktu di luar kuasa UI.

"Tiba-tiba menjelang puasa pemberian dokter HC di hari 10 terakhir bulan Ramadan, dan itu yang memutuskan Royal Court, protokoler istana yang sangat powerfull. Kalau kita menolak dianggap kurang menghargai keputusan mereka," paparnya.

Gumilar mengklaim, pemberian gelar ini justru memperbaiki hubungan Arab Saudi dan Indonesia. Bahkan dia optimistis, beberapa terpidana mati lain yang menunggu eksekusi di Saudi bisa sedikit tertolong dengan kebijakan ini.

"Kalau misalnya saya tidak jadi, itu mungkin akan mempengaruhi hubungan kedua negara. Mudah-mudahan akan juga meningkatkan hubungan positif Indonesia dan Saudi," ucapnya.

Tidak ada komentar: