Nograhany Widhi K - detikNews
Jakarta - Rektor UI memberikan gelar doktor honoris causa (HC) pada Raja Abdullah dalam bidang kemanusiaan dan iptek di Jeddah. Di Tanah Air, pemberian itu mendapatkan kecaman dari sejumlah aktivis dan guru besar UI sendiri.
Pemberian gelar doktor honoris causa (HC) memang dimungkinkan untuk kepentingan politis untuk memperbaiki hubungan dua negara yang hubungannya sedang tegang. Namun, harus ada unsur terdesak dan melewati proses penilaian dewan guru besar dari tingkat fakultas sampai universitas, dan bukannya diputuskan sepihak oleh rektor.
"Ya itu yang terjadi kalau terjadi penyimpangan yang kadang-kadang bisa ditolerir, karena kebutuhan politik. Tapi itu lewat proses musyawarah dan kesepakatan Guru Besar. Kalau untuk kepentingan politik yang sangat mendesak satu negara barngkali bisa dipertimbangkan. Kalau Presiden ingin memperbaiki hubungan dua negara bisa saja, tapi harus lewat Senat Guru Besar, nggak bisa diputuskan sendiri," ujar sosiolog Universitas Indonesia (UI) Thamrin Amal Tomagola. Thamrin tidak setuju pada pemberian gelar doktor HC pada Raja Abdullah.
Berikut wawancara detikcom dengan peraih PhD dari Universitas Essex, Inggris, Jumat (26/8/2011) ini:
Kriteria dan aturan-aturan pemberian HC seperti apa?
Ya itu semuanya ada kriterianya. Masalahnya itu adalah sesudah MK menyatakan bahwa UU BHMN batal, semua perangkat kelembagaan yang ada di UU tidak berlaku lagi, termasuk forum dan mekanisme yang menentukan gelar HC.
Kemudian dalam kasus Rektor UI, dia membuat sendiri, mengubah statuta (aturan universitas) sendiri. Penganugerahan doktor HC diputuskan sendiri, sama sekali nggak ada pertimbangan dari guru besar. Ada beberapa pelanggaran serius.
Tata cara seleksi HC bagaimana?
HC terbuka bagi semua pihak, untuk nominasi siapa saja, publik, wartawan mengajukan bahwa seseorang pantas. Harus masuk lewat senat guru besar fakultas yang membawahi bidang keilmuan itu. Sesudah diterima atau ditolak, kalau diterima diteruskan ke senat guru besar universitas.
Dengan alasan dan kriteria yang kuat, bisa wartawan yang bisa melakukan investigasi tentang seesorang dan tidak menempuh jenjang pendidikan formal tapi mempunyai jasa di bidang tertentu.
Kalau sosial di Fisip, kalau ada jasa di bidang budaya FIB (Fakultas Ilmu Budaya), teknik masuk FT. Di sana di proses di guru besar fakultas, diterima dan diteruskan ke guru besar universitas yang dipimpin rektor.
Kalau senat guru besar fakultas menerima, biasanya yang di atas meluluskan. Saringan yang paling utama akademis fakultas bukan universitas, universitas itu proses formalitas.
Apakah ada batasan jumlah calon penerima doktor HC untuk setiap fakultas?
Nggak ada batasan untuk pihak luar yang berjasa dalam bidang keilmuan.
Apakah calon penerima harus yang berpendidikan formal, S1 misalnya atau apa ukurannya? Apa bisa menciptakan teknologi tepat guna bagi masyarakat atau bisa memberdayakan masyarakat?
Tidak berdasar jenjang pendidikan, namun prestasi yang diterapkan kandidat levelnya setara S3. Yang nggak berpendidikan bisa dapat asal berjasa menghasilkan karya ilmiah yang tingkat signifikansinya selevel S3.
Kalau di bidang teknologi di bidang teknologi tepat guna, kalau kritikus sastra misalnya HB Jassin, tapi kritik-kritik dia buat itu levelnya S3 10 orang, itu pantas diberikan gelar doktor HC. Ada seorang mahasiswa ITB yg di Seram, Maluku memakmurkan beberapa di sistem persawahan, sehingga penduduk desa jadi mapan, itu karya yang bukan main, dia tidak menulis karya ilmiah tapi prestasinya nyata di lapangan. ITB tahu dan melaporkan ke universitas, akhirnya dipanggil.
Jadi untuk menelisik calon penerima doktor HC ada tim investigasinya?
Ada jelas. Mereka punya prosedur itu. Namanya Honoris Causa itu kehormatan, menghormati prestasi bisa dalam teknik bisa juga yang sosial. Tidak menjadi persoalan apakah dia buta huruf, itu penghargaan dari institusi.
Prosesnya berapa lama seleksi penerima doktor HC itu?
Bisa tahunan. Verifikasi ke lapangan sih nggak terlalu lama, yang mengikuti orang itu bisa tahunan. Sekarang ini bisa terjadi ada beberapa orang yang diikuti pastinya untuk penerima doktor HC.
Ketat sekali penilaiannya, tidak boleh diputuskan satu orang, walaupun rektor. Rektor itu kan birokrat, pejabat, (doktor HC) ini posisi akademis, rektor itu posisi birokratis.
Apa mudah memberikan gelar doktor HC?
Nggak bisa, nggak semudah itu. Ada tahap pemantauan dan tahap verifikasi yang harus dinilai oleh forum-forum tadi. Apakah tim dari fakultas kemudian ke universitas.
Apa selama ini ada tendensi tertentu untuk memberikan gelar doktor HC, misalnya agar mendapatkan bantuan kerjasama atau semacamnya?
Ya itu yang terjadi kalau terjadi penyimpangan yang kadang-kadang bisa ditolerir, karena kebutuhan politik. Tapi itu lewat proses musyawarah dan kesepakatan guru besar. Kalau untuk kepentingan politik yang sangat mendesak di satu negara mungkin bisa dipertimbangkan.
Kalau presiden ingin memperbaiki hubungan dua negara bisa saja, tapi harus lewat senat guru besar, nggak bisa diputuskan sendiri dan itu ada kepentingan politik yang mendesak dari negara. Nggak boleh diputuskan sendiri kemudian dikasihkan sendiri seperti sekarang, itu nggak boleh.
Selain dari politik, dipertimbangkan juga jasa yang sangat besar orang tertentu kepada lembaga pendidikan tertentu. Misalnya pendiri pengelola sekolah dari awal habis-habisan berupaya supaya sekolahnya beridiri, tapi pendidikannya cuma S1 atau S2 atau tetap harus lewat dewan guru besar, tidak bisa diputuskan rektor.
Jadi alasan politis dibolehkan untuk pemberian guru besar?
Bisa, kalau alasan SBY ingin memperbaiki hubungan dengan Arab Saudi yang ricuh karena pemancungan Ruyati kemarin, tapi itu harus lewat guru besar, tidak bisa diputuskan sendiri.
Kalau ada pemberian gelar doktor HC karena kebutuhan politik, apa ada jaminan diluluskan Dewan Guru Besar?
Mayoritas diluluskan kalau benar-benar bisa dipertanggungjawabkan, asal itu kepentingan politik mendesak dan sangat krusial dan menentukan. Nah dalam hal ini hubungan kita dengan Arab Saudi tidak ada yang mendesak, tidak ada yang memutuskan hubungan diplomatik, kita nggak ada ancaman, mereka juga nggak mengusir orang Indonesia. Yang mendesak dan krusial nggak ada, kalau dibawa ke Dewan Guru Besar ya pasti ditolak. Ini basa basi diplomasi untuk membujuk kembali, begitu saja, tidak ada keadaan genting.
Apa bisa Dewan Guru Besar menegur Rektor?
Repotnya itu, Dewan Guru Besar dibekukan sama dia. Bagaimana mau dibekukan, sejak UU BHMN dibatalkan MK, masuk akal memang dibekukan, tapi setelah dibekukan tapi harus dikembalikan pada lembaga yang sebelum ada UU BHMN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar