Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Ketua International Forum of Parlementarian on Population and Development (IFPPD)
Indonesia, Meutya Hafid menilai putusan MA di kasus Sidarta merupakan
langkah mundur. MA meminta anggota DPR tersebut jangan memakai kacamata
kuda.
Putusan Mahkamah Agung (MA) ini menerima maaf dan
pencabutan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami Kamini,
istri Sidarta. Padahal pencabutan aduan itu telah habis masa tenggang
waktu yang ditentukan Pasal 75 KUHP.
"Perkara KDRT harus dilihat
dan dipahami secara holistik, tidak kacamata kuda menghukum penjara
pelaku," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur kepada
detikcom, Senin (22/12/2014).
Kamini dianiaya Sidarta karena
tidak mau diajak berhubungan badan dan dituduh mempunyai pria idaman
lain (PIL). Selain itu, Sidarta juga menendang, memukul dan mencakar
Kamini supaya mau bercinta dengannya. Puncak penolakan itu, Kamini lalu
ditampar. Sidarta yang ditutupi amarah lalu menarik baju Kamini hingga
terlepas dan Kamini hanya memakai BH lari ke luar rumah dan
berteriak-teriak minta tolong.
Meski mengalami kekerasan, tapi
Kamini memaafkan suaminya, enam bulan setelah ia melaporkan ke aparat
kepolisian. MA menerima pencabutan perkara itu dan Sidarta pun lolos
dari ancaman 5 tahun penjara.
"Kepentingan korban dan relasi
domestik (anak-anak dan lain-lain) harus menjadi pertimbangan seperti
nafkah, kelanjutan biaya anak-anak sekolah, yang dalam banyak perkara
KDRT/ domestic violence, banyak persoalan itu," ujar hakim tinggi peraih
doktor di bidang mediasi penal terhadap perkara KDRT itu.
Trio
hakim agung, Zaharuddin Utama-Surya Jaya-Suhadi, dalam putusannya
menyatakan secara das sollen seharusnya pencabutan pengaduan tidak harus
dibatasi dengan jangka waktu. Sebab pencabutan pengaduan merupakan hak
asasi korban yang dapat dilakukan setiap waktu sebelum perkara diputus
pengadilan dengan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
"Keterlambatan pencabutan pengaduan saksi korban, jangan dimaknai secara
legalistic positivic, tetapi lebih dimaknai penyelesaian secara damai
berkeadilan yang menguntungkan saksi korban dan terdakwa demi
terciptanya kebenaran dan keadilan," putus Zaharudin, Surya Jaya dan
Suhadi dengan suara bulat.
Sebelumnya, Meutya menyesalkan putusan
MA yang melepaskan Sidarta dari ancaman 5 tahun penjara, meski Kamini
telah memaafkan penganiayaan yang dilakukan Sidarta kepadanya.
"Kita
sedang melawan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan memberi
edukasi untuk perempuan untuk melapor kekerasan. Ini malah begini
putusannya, kemunduran terhadap perlawanan KDRT di tanah air," kata
Meutya.
Qonstitutional Question
Buntut
dari putusan di atas,pakar hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono
mengusulkan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memiliki
kewenangan 'qonstitutional question'. Hal ini supaya mencegah
para hakim di bawah MA dalam menerapkan hukum tidak melanggar UU karena
yang berhak menafsirkan konstitusi adalah MA. Kasus di atas telah
menafsirkan Pasal 75 bertentangan dengan UUD 1945.
Namun usulan
itu dinilai belum tepat oleh pakar hukum tata negara lainnya, Margarito
Kamis. "Tentu sangat tidak sehat dan sekaligus membahayakan demokrasi
konstitusional yang kita kembangkan saat ini. Sebaiknya bangsa ini tidak
mengada-ada," ujar Margarito.
Sebab hak 'qonstitutional question' akan mengubah skema keseimbangan relatif antarlembaga negara. Dengan hak 'qonstitutional question' maka
memberi hak bagi MA dapat mempertanyakan segala ihwal yang dilakukan
oleh lembaga negara lain, termasuk DPR, Presiden, DPR, bahkan MA.
"Bila hak itu dipositifkan, maka MK menjadi Tuhan bagi Indonesia," cetus Margarito.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar