VIVA.co.id - Harga minyak dunia jatuh ke level terendah sejak 2003 pada Senin 18 Januari 2016. Pencabutan sanksi ekonomi pada Iran membuat harga minyak terjun bebas.
Sejumlah pengamat mengatakan, saat ini pasar bersiap menunggu
lompatan ekspor Iran setelah dunia mencabut sanksi ekonomi yang selama
ini mengembargo Iran.
Dilansir dari CNBC, Senin, pada hari Sabtu, 16 Januari
2016, Badan Pengawas Nuklir PBB mengatakan Teheran telah memenuhi
komitmennya untuk mengurangi program nuklirnya, dan Amerika Serikat
segera mencabut sanksi yang telah memangkas ekspor anggota OPEC itu
sekitar dua juta barel per hari (bph).
"Kini Iran bisa menjual sebanyak mungkin minyak pada siapa pun yang
mereka inginkan, termasuk dengan harga berapa saja yang mereka
inginkan," kata Richard Nephew, Direktur Program Keahlian Ekonomi,
Sanksi, dan Pasar Energi di Pusat Kebijakan Energi Global di Universitas
Columbia, seperti dikutip Reuters, Minggu 17 Januari 2016.
Deputi Kementerian Perminyakan Iran, sesaat setelah pengumuman
pencabutan sanksi mengatakan Iran siap meningkatkan ekspor minyak
mentahnya hingga di atas 500.000 barel per hari.
Harga minyak patokan internasional, Brent jatuh hingga US$27,67 per
barel pada pembukaan di Minggu pagi, harga terendah sejak 2003, meski
akhirnya kembali naik hingga US$28,25, namun angka itu masih kurang dua
persen dari harga penutupan pada Jumat, 15 Januari 2016.
Harga minyak berjangka AS turun hingga 58 sen menjadi US$28,84 per barel setelah jatuh hingga US$28,36 pada awal sesi.
Potensi ekspor baru dari Iran datang pada saat pasar global sudah
pulih dari kelebihan pasokan kronis karena produsen memompa produksinya
melebihi satu juta barel minyak mentah setiap hari.
Jumlah itu jauh melebihi permintaan, dan berakibat merobohkan harga
minyak mentah hingga lebih dari 75 persen sejak pertengahan 2014 dan
lebih dari seperempat persen sejak awal 2016.
Sementara itu The International Atomic Energy Agency (IAEA)
mengatakan diprediksi Barat akan mencabut sanksi terhadap Iran, menyusul
kepatuhan Iran terkait kesepakatan untuk mengekang program nuklirnya.
Selain itu, anjloknya pasar saham China juga berdampak pada turunnya harga minyak karena akan terjadi penurunan permintaan.
Pekan lalu, pasar saham China jatuh level terendah sejak Desember 2014, demikian seperti dilansir dari CNBC,
Senin 18 Januari 2016. Data ekonomi AS juga kurang bersahabat, yakni
penjualan ritel dan produksi industri pada Desember menunjukkan
penurunan.
Perusahaan jasa minyak Baker Hughes melaporkan jumlah rig
pengeboran minyak aktif turun satu rig, sehingga saat ini total rig
pengeboran minyak aktif menjadi 515 rig, jauh lebih sedikit dibandingkan
tahun lalu sejumlah 1.366 rig.
"Sebenarnya ini waktu yang tidak tepat bagi Iran untuk kembali
masuk ke pasar minyak, baik bagi pasar global maupun juga bagi Iran
sendiri," kata analis Philip Futures dalam sebuah catatan.
Analis Commerzbank, Carsten Fritsch, berbicara di Reuters Global
Oil Forum, memperingatkan bahwa pada tahun ini diprediksi harga minyak
bisa menyentuh level US$25 per barel, dan sangat mungkin untuk lebih
rendah dari itu.
Mulai berguguran
Jatuhnya harga minyak mentah dunia sangat berdampak pada
keberlangsungan perusahaan-perusahaan minyak dunia. Pasokan yang
berlimpah, namun harga yang anjlok otomotis berdampak pada biaya
operasional perusahaan.
Langkah besar dilakukan perusahaan minyak asal Inggris, British
Petroleum (BP) yang berencana berencana melakukan pemutusan hubungan
kerja (PHK) ke 4.000 pekerja di seluruh dunia. 600 Di antaranya, berasal
dari tambang yang beroperasi di Laut Utara.
Dilansir BBC, Rabu 13 Januari 2016, BP mengungkapkan terus
merugi akibat anjloknya harga minyak hingga 70 persen sejak tahun lalu.
BP lebih memilih melakukan efisiensi besar-besaran di industri minyak.
PHK pekerja tambang di Laut Utara, diperkirakan berlangsung hingga
dua tahun ke depan. Hal serupa juga dilakukan raksasa perusahaan minyak
asal Brasil, Petrobas, juga memangkas sebagian besar investasinya di
sektor minyak.
Petrobas mengurangi investasi hingga US$32 miliar, atau 25 persen
dari total investasi yang ditargetkan tahun ini. Pemangkasan investasi
yang dilakukan
Petrobas menjadi yang pertama kalinya sejak empat tahun terakhir.
Petrobas menyatakan hal itu, karena perusahaan menyesuaikan diri dengan prospek ekonomi baru.
Sementara itu, BP mengungkapkan, gelombang PHK memang diperkirakan
terus terjadi di bisnis eksplorasi dan pengeboran minyak, mengingat
harga minyak dunia yang terus berada di level rendah.
"Kami ingin menyederhanakan struktur dan mengurangi biaya. Secara
global, kami targetkan jumlah pegawai di hulu berjumlah 20 ribu orang
hingga akhir tahun ini," kata juru bicara perusahaan BP.
Meskipun mengurangi jumlah tenaga kerja, BP tetap berkomitmen untuk
melakukan eksplorasi di Laut Utara dan menganggarkan US$4 miliar pada
tahun ini.
Di dalam negeri, menurut VP Corporate Communication, PT Pertamina,
Wianda Pusponegoro, pihaknya telah melakukan efisiensi sejak 2015.
Menurut dia sebagai negara net importir, Pertamina juga melakukan
berbagai efisiensi untuk menjaga kinerja perusahaan. Adapun efisiensi
dilakukan mulai dari direktorat hulu, efisiensi impor minyak mentah dari
produk kilang, hingga menurunkan tingkat kerugian (loses).
"Nah, kalau rencana pengurangan karyawan sampai saat ini belum ada
yang di-PHK (pemutusan hubungan kerja) satu orang pun. Namun, karyawan
tetap harus melakukan performa kinerja yang maksimal. Efisiensi karyawan
itu langkah terakhir," ujar Wianda, Kamis 14 Januari 2016.
Wianda mengatakan, pada 2015, Pertamina telah menghemat angka yang
fantastis dalam efisiensi perusahaan. Bahkan, target efisiensi tahun
2015 telah melampaui dari target yang ditetapkan.
"Tahun 2015, target efisiensi kami US$500 juta atau sekitar Rp6
triliun. Artinya, nilainya kami bisa hemat US$500 juta. Sampai akhir
November (2015) kemarin saja sudah sampai US$572 juta, artinya lebih
tinggi," jelas Wianda.
Ia menjelaskan, keberhasilan efisiensi pada tahun 2015, juga akan
diterapkan pada tahun 2016, di mana semua proses bisnis dilakukan secara
efektif dan efisien.
Pertamina akan maksimalkan penghematan biaya transportasi minyak
mentah dan produk kilang, renegosiasi kontrak, pengeboran, serta
pengadaan barang dan jasa.
"Kemudian, pelatihan ke luar kota, seperti menginap di hotel, itu
akan kami tekan. Kami akan lakukan hal yang sama dengan 2015, pastinya
harus lebih baik," kata Wianda.
Kurangi produksi
Pengamat Perminyakan, Kurtubi mengatakan saat ini pasar minyak
dunia dari sisi suplai tengah mengalami kelebihan pasokan. Akibat
pasokan berlebih itulah harga minyak terus mengalami penurunan.
"Ditambah lagi dengan dicabutnya sanksi atas terhadap Iran,
tentunya negara itu butuh biaya begitu juga dengan Saudi Arabia butuh
biaya, karena pendapatan terbesar dari minyak, otomatis mereka terus
memproduksi minyak," kata Kurtubi saat dihubungi VIVA.co.id, Senin 18 Januari 2016.
Hal yang sama juga dilakukan Amerika Serikat (AS), jadi sambung
dia, dari sisi suplai memang sudah sangat berlebih. Sementara China
sebagai negara kedua pasar minyak mentah saat ini tengah mengalami
pelambatan ekonomi, yang berdampak menurunnya permintaan minyak.
Menurut Kurtubi, harga minyak bisa naik apabila negara-negara
pengekspor minyak baik yang tergabung dalam Organization of the
Petroleum Exporting Countries (OPEC) ataupun tidak, melakukan
pengurangan produksi.
"Kalau mereka (negera pengekspor) tidak melakukan pengurangan
produksi, jangan harap harga minyak akan naik dalam waktu dekat.
Ditambah lagi dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi di China dan
melimpahnya pasokan minyak, saya kira harga akan terus mengalami
penurunan," ujarnya.
Terkait dengan mulai banyaknya perusahaan minyak yang me-lay off
karyawannya, Kurtubi mengatakan hal itu adalah biasa. "Ya kalau
perusahaan tidak mau mengambil risiko, jika lapangan minyak yang cost produksinya tinggi mereka akan tutup karena tidak mampu membiayai. Inikan gradual sifatnya," kata dia.
Sementara untuk Indonesia, Kurtubi mengatakan tidak akan banyak
pengaruhnya terhadap eksplorasi dan produksi. Mengapa demikian? Karena,
sambung dia, produksi minyak di Indonesia tidak sebesar di negara lain.
Apalagi sistem produksi di Indonesia dilakukan dengan kontrak kerja
sama. Di mana seluruh biaya yang dikeluarkan untuk eksplorasi dan
eksploitasi akan diganti oleh negara setelah mereka berproduksi.
Direktur PT Pertamina, Dwi Sutjipto mengatakan saat ini Pertamina sedang berjuang meningkatkan efisiensi.
"Kami sedang berjuang untuk meningkatkan efisiensi sehingga biaya produksi sektor hulu bisa ditekan 30 persen," kata Dwi kepada VIVA.co.id lewat pesan tertulisnya di Jakarta, Senin 18 Januari 2016.
Ia juga mengatakan pihaknya mengusahakan agar tidak terjadi
pengurangan jumlah karyawan. "Bila mungkin, tidak mengurangi jumlah
karyawannya," kata eks direktur utama PT Semen Indonesia Tbk ini.
Sementara itu bagi pelaku usaha, harga minyak yang terjun bebas
dinilai sebagai peluang bagi sektor industri. Presiden Direktur PT Kilat
Wahana Jenggala (KWJ) Pontas Romulo Tambunan mengatakan bagi sektor
industri yang salah satu komponen produksinya menggunakan bahan bakar,
penurunan harga minyak dapat mengurangi biaya.
"Tapi kalau di industri ada positifnya karena salah satu komponen
biaya pembangkit itu bahan bakar. Kalau harga jatuh buat industri jelas
akan
menguntungkan," kata Pontas saat ditemui di kawasan Rasuna Episentrum, Jakarta, Senin 18 Januari 2016.
Meskipun begitu, ia mengaku akan berdampak negatif bagi negara
maupun perusahaan yang bergerak di ekspor minyak dari sisi pendapatan.
Maka, pemerintah maupun para pengusaha sebaiknya mencari cara usaha lain
untuk meraup keuntungan dengan memanfaatkan turunnya harga minyak.
"Kalau bicara harga minyak jatuh sebenarnya kalau dari sisi
Indonesia bergantung pada migas jelas pendapatan berkurang. Pengaruh
pada negara akan berdampak. Tinggal pemerintah melihat mana efektif
positif yang besar," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar