Nograhany Widhi K - detikNews
Jakarta - Pembatasan jam operasional truk di tol dalam kota oleh Pemprov DKI dan daerah di sekitarnya diprediksi akan berimbas pada kenaikan harga barang-barang alias inflasi. Padahal, gerbang tol keluar (exit tol) juga menjadi salah satu penyebab kemacetan. Sebaiknya, beberapa gerbang keluar tol di dalam kota ditutup.
"Gerbang exit tol Kuningan, Semanggi, DPR atau Slipi kalau itu ditutup, orang nggak masuk jalan tol. Kalau misalnya dari Cempaka Putih ke Semanggi kan nggak perlu lewat tol. Tapi kalau orang Jakarta yang ingin ke luar kota bisa masuk," jelas ujar pengamat sekaligus praktisi di bidang transportasi Rudy Thehamihardja saat berbincang dengan detikcom, Kamis (26/5/2011).
"Pak Royke (Dirlantas Polda Metro Kombes Royke Lumowa-red) juga pernah menyatakan untuk keluar Sudirman, antrenya panjang banget, mobil di jalan tol berhenti antre keluar. Jalan tol kan nggak boleh buat mobil berhenti satu jalur, kalau dibiarkan siapa yang konyol?" cetus dia.
Penutupan gerbang keluar tol dalam kota ini, imbuhnya, bisa mengurangi penggunaan jalan tol dari transportasi lokal. Jika penduduk dari Bekasi, misalnya, mau ke Jakarta, maka bisa keluar melalui gerbang keluar tol Cawang dan selanjutnya melalui jalan arteri.
"Kalau dari Bekasi ke Tangerang, ya terus saja di jalan tol," jelasnya.
Selain penutupan gerbang keluar tol dalam kota, Rudy juga mengusulkan agar operator tol dalam kota yaitu PT Jasa Marga bisa menyesuaikan kecepatan minimal. Karena kapasitas jalan dan kendaraan sudah tidak sebanding.
"Pengelola tol membuat kecepatan standar pelayanan yang baru. Kalau jalannya buat seratus mobil, tapi yang dimasukkan seribu mobil, ya tidak sampai kecepatan minimal. Jangan disalahkan yang masuk. Penjual karcisnya harus bertanggung jawab. Kecepatan (minimal) bisa diturunkan sampai 10 km per jam. Kalau ada truk yang jalan 20 km per jam, masa ditangkap? Kan dia (tol) sudah terima bayaran?" tuturnya.
Selain penutupan gerbang keluar tol dalam kota dan penurunan batas kecepatan minimal, Rudy mengusulkan ada prioritas bagi pengguna jalan. Rudy mencontohkan seperti di Amerika Serikat (AS) atau di negara maju lain.
Prioritas yang pertama, biasanya untuk pejalan kaki, kemudian untuk orang-orang yang tidak menggunakan kendaraan bermotor seperti sepeda. Prioritas ketiga adalah untuk angkutan berpenumpang banyak, kemudian angkutan barang serta prioritas terakhir untuk mobil-mobil pribadi.
"Mobil prioritas terakhir karena mobil pribadi orang-orang yang sudah mapan, sudah menikmati keberhasilan perekonomian. Penggunaan jalan itu kan untuk orang, bukan untuk kendaraan," jelasnya.
Dan prioritas pengguna jalan ini seharusnya ditentukan oleh Kementerian atau Dinas Pekerjaan Umum (PU) saat hendak membuat prasarana.
Kemudian, pemerintah juga harus berupaya menyediakan jaringan transportasi massal yang nyaman untuk mengurangi kendaraan bermotor di jalan. Kalau warga memiliki pilihan kendaraan umum yang nyaman seperti Mass Rapid Transit (MRT) di Singapura, maka kendaraan akan berkurang di jalanan.
"Di sana (Singapura) pemerintahnya memanusiakan rakyatnya, dianggap manusia. Pemerinta RI aparatnya tidak memanusiakan warganya, dia pikir rakyat itu seperti bebek. Di Singapura, terminal MRT sekelilingnya gedung-gedung bertingkat, tinggal jalan. Kalau stasiun MRT di Lebak Bulus, nanti (macetnya) bisa sampai ke Cinere," tegasnya.
Sekadar diketahui, Pemprov DKI Jakarta melarang kendaraan berat melintasi tol dalam kota pada pukul 05.00-22.00 WIB karena truk yang berjalan lelet dianggap sebagai pemicu kemacetan. Akibatnya truk mencari jalur alternatif, termasuk ke Jl Raya Serpong, Tangsel. Hal ini membuat penguasa Tangsel geram karena jalan itu menjadi macet dan rusak. Bogor juga akan membatasi tonase truk yang melintas.
Sebagai bentuk protes, 16 ribu truk anggota Organda DKI Jakarta akan mogok kerja pada Jumat 27 Mei. Namun rencana ini, menurut Menhub Freddy Numberi, batal karena telah terjadi kesepakatan tripartit antara Organda, Kemenhub dan Pemprov DKI Jakarta tentang pengaturan operasi truk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar