WASHINGTON DC - Pemerintah Amerika Serikat (AS) akhirnya menutup sementara (shutdown) layanan pemerintahan. Hal itu terjadi karena kongres (terdiri atas senat dan DPR) gagal mencapai kesepakatan mengenai anggaran rutin pemerintah hingga tenggat berakhir Senin (30/9) pukul 23.00 waktu Washington atau kemarin siang, Selasa (1/10), pukul 11.00 WIB.
Kegagalan kongres dalam menetapkan
anggaran rutin pemerintah itu mengakibatkan pemerintah tidak bisa
bekerja seperti biasa. Ini juga merupakan kegagalan pemerintahan
Presiden AS Barack Obama yang berusaha mencegah terjadinya shutdown.
Terganggunya penyaluran anggaran
pemerintahan dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut diperkirakan
berimbas ke perekonomian negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Namun, dirilisnya data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengungkap
terjadinya deflasi dan surplus neraca perdagangan membuat ekonomi
Indonesia seperti restart dari keterpurukan sebagai akibat terus
meningkatnya inflasi.
Pemicu terjadinya shutdown anggaran di
AS adalah keputusan Senat AS yang dikuasai Partai Demokrat, partai
Obama, menolak usulan anggaran belanja versi DPR AS yang dikuasai Partai
Republik. DPR rupanya membalas penolakan itu dengan berupaya
menggagalkan anggaran untuk UU Asuransi Kesehatan yang dicanangkan
Obama, yang populer disebut Obamacare.
Ketua Mayoritas Senat Harry Reid
mengatakan bahwa mereka menolak bernegosiasi selama Obamacare masih
dijadikan alat ancaman. "Kami tidak akan bernegosiasi dengan pistol di
kepala kami," tegas Reid. Baik Republik maupun Demokrat saling
menyalahkan atas drama shutdown yang pertama dalam 17 tahun itu. Hal
tersebut akan berdampak pada pemilihan anggota kongres tahun depan, saat
kedua kubu berlomba-lomba merebut suara.
Dengan shutdown ini, kinerja pemerintah
akan lumpuh. Sebanyak 800 ribu pegawai bakal dirumahkan tanpa gaji;
hanya 3 juta orang yang masih bekerja. Layanan lain yang akan mati
adalah pembuatan paspor, visa, taman nasional, dan layanan pajak.
Selain penonaktifan PNS, shutdown
mengakibatkan The Internal Revenue Service (IRS) atau Dinas Pajak AS
tidak bisa bekerja. Seluruh audit pajak akan dihentikan karena ketiadaan
sumber daya manusia.
Menurut CNN, para pekerja federal hanya
akan bekerja selama empat jam sebelum dipulangkan. Militer seharusnya
juga diliburkan dan tidak menerima gaji. Namun, Obama dan kongres telah
menandatangani peraturan yang memastikan bahwa gaji 1,4 juta tentara
bakal tetap dibayarkan tepat waktu.
Shutdown akan berdampak pada upaya
pemulihan sektor properti AS yang ambles. Tidak adanya layanan
pemerintah akan membuat penundaan di proses aplikasi kredit perumahan.
AS juga akan kehilangan pemasukan dari sektor pariwisata. Pasalnya,
proses paspor dan visa akan terhenti. Saat peristiwa ini terjadi pada
1995"1996, 20.000 hingga 30.000 aplikasi visa tidak diproses. Sebanyak
200.000 warga AS yang ingin membuat paspor pun gigit jari.
Di bidang kesehatan, Pusat Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit (CDC) juga tidak bisa beroperasi maksimal
dalam menyelidiki persebaran virus. Di bidang ilmu pengetahuan, operasi
NASA juga akan dihentikan sementara.
Menurut perusahaan konsultan IHS Inc,
shutdown bisa merugikan AS hingga sedikitnya USD 300 juta per hari atau
lebih dari Rp 3,4 triliun. Jumlah itu memang jauh lebih kecil jika
dibandingkan dengan ekonomi AS senilai USD 15,7 triliun. Tetapi, jika
dibiarkan, kepercayaan pengusaha dan konsumen akan merosot, membuat
dampaknya semakin lebar.
Shutdown bisa berlangsung berhari-hari,
bahkan berminggu-minggu, jika kongres tidak mencapai mufakat. Shutdown
terakhir terjadi pada 1996 selama 21 hari. Saat itu"terjadi perseteruan
anggaran antara Presiden Bill Clinton dari Partai Demokrat dan kongres
dari Partai Republik.
IHS memperkirakan, akibat shutdown,
pertumbuhan AS sebesar 2,2 persen per tahun akan berkurang 0,2 persen
jika shutdown terjadi selama sepekan. Namun, jika seperti yang terjadi
pada 1996, yaitu 21 hari, pengurangan bisa mencapai 0,9 atau 1,4 persen.
Goldman Sachs memperkirakan, jika shutdown terjadi tiga minggu,
dampaknya akan mengurangi GDP AS sebanyak 0,9 persen.
Dampak ke Indonesia
Perkembangan ekonomi terbaru dari AS menjadi perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam sidang kabinet paripurna kemarin, SBY beserta para menteri ikut membahas kebijakan pemerintah negara adikuasa itu. Menurut SBY, kebijakan tersebut akan berimbas pada Indonesia, meski tidak signifikan.
Dampak ke Indonesia
Perkembangan ekonomi terbaru dari AS menjadi perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam sidang kabinet paripurna kemarin, SBY beserta para menteri ikut membahas kebijakan pemerintah negara adikuasa itu. Menurut SBY, kebijakan tersebut akan berimbas pada Indonesia, meski tidak signifikan.
"Apa yang disebut government federal
shutdown memberikan implikasi pada perekonomian dunia. Dengan demikian,
kita harus terus mengikuti perkembangan dan dinamika di negara itu,"
jelas SBY sebelum memulai sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden
kemarin.
Kabar terjadinya inflasi negatif atau
deflasi pada September lalu betul-betul menjadi angin segar bagi
perekonomian Indonesia. Inflasi yang dalam beberapa bulan terakhir
menjadi momok bagi makro perekonomian Indonesia kini mulai jinak. Kepala
BPS Suryamin mengatakan, harga barang dan jasa kini cenderung turun
seiring dengan memudarnya imbas kenaikan harga BBM Juni lalu serta efek
musim Lebaran. "Ini yang mengakibatkan deflasi 0,35 persen periode
September 2013," ujarnya kemarin.
Dengan deflasi September ini, laju
inflasi tahun kalender (Januari"September) 2013 mencapai 7,57 persen,
sedangkan tingkat inflasi year-on-year (September 2013 terhadap
September 2012) sebesar 8,40 persen.
Selain deflasi, BPS juga membawa kabar
menggembirakan dengan posisi neraca perdagangan Indonesia untuk Agustus
mengalami surplus senilai ratusan juta dolar AS."Neraca perdagangan
Agustus surplus USD 132,4 juta," kata Suryamin. Meskipun perdagangan
Agustus mengalami surplus, secara akumulasi, neraca perdagangan RI masih
defisit USD 5,5 miliar.
Publikasi BPS tersebut berdampak
signifikan terhadap pasar modal dan pasar uang yang sempat dilanda
kepanikan. Menurut informasi dari Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG pada
penutupan perdagangan kemarin menguat 0,6 persen atau 29,7 poin menjadi
4.345,89. Demikian juga rupiah, menguat 150 poin menjadi Rp 11.345
dibanding sebelumnya di posisi Rp 11.495 per dolar AS.
Kepala Riset Danareksa Research
Institute Purbaya Y. Sadewa menyatakan, dampak shutdown AS terhadap
ekonomi global masih terlalu dini. Sebab, tidak lama lagi akan terjadi
kompromi antara kubu Republik dan Demokrat. "Karena suatu saat pasti
akan kompromi. Keduanya tidak ada yang mau disalahkan dalam keruntuhan
pemerintahan mereka sendiri," ucapnya. (owi/ken/gal/c9/kim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar