Gayus berpendapat, memang lebih baik penanganan sengketa pilkada diserahkan ke lembaganya. “Wewenang MA sebagai lembaga Pengadilan Keadilan (court of justice) dan Mahkamah Konstitusi sebagai Pengadilan Hukum (court of law) akan lebih tepat apabila tugas dan wewenang masing-masing lembaga tertinggi kekuasaan kehakiman ini dipisahkan agar tak saling berbenturan dan ada kepastian hukum,” kata Gayus kepada VIVAnews, Minggu 13 Oktober 2013.
Pemisahan wewenang itu, kata Gayus, berdasarkan UUD 1945 Pasal 24 ayat (2), Pasal 24A ayat (1), dan Pasal 24C ayat (1). Pasal 24 ayat (2) berbunyi, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Pasal 24 A ayat (1) berbunyi, “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.”
Sementara Pasal 24C ayat (1) berbunyi, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Jadi, kata Hakim Gayus, “Wewenang untuk menangani sengketa Pemilu atau Pilkada di MA.” Namun berdasarkan Pasal 24C ayat (1) itu, MK jelas diberi kewenangan untuk “memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Gayus mengatakan, MA tidak boleh mengadili sengketa mengenai Undang-Undang karena uji materi atau judicial review masuk pada kategori court of law. “Itu wilayahnya MK. Namun MK tak perlu mengadili masalah keadilan. Ini pendapat saya pribadi,” kata mantan anggota Komisi III DPR itu.
?Jika wewenang menangani sengketa pilkada kembali ke MA, kata Gayus, maka MA akan mendelegasikannya kepada Pengadilan Tinggi dengan pertimbangan mereka lebih tahu persoalan di lapangan, dan supaya bisa diperoleh fakta yang lebih komprehensif dari lapangan.?
Ditentang ICW
Sebaliknya, Peneliti ICW Emerson Yuntho menentang dicabutnya kewenangan MK dalam menangani sengketa pilkada – terlepas dari kasus suap yang kini menjerat Ketua MK Akil Mochtar. “Dari catatan kami, pengadilan umum termasuk institusi yang korup, selain kepolisian dan parlemen,” kata dia.
Emerson berpendapat MK masih lebih baik ketimbang pengadilan umum dan MA. Selama ini Komisi Yudisial mendata ada sekitar 1.000 lebih hakim nakal di daerah. Maka apabila kewenangan sengketa pilkada diserahkan ke pengadilan masing-masing daerah, akan lebih sulit mengawasi peradilan sengketa pilkada di berbagai wilayah yang terpisah itu.
Selama institusi pengadilan umum belum steril dari korupsi, ICW sangsi sengketa pilkada bisa diselesaikan secara jujur. “Sengketa pilkada bukan perkara mudah. Di MK, putusan hari itu bisa dibaca langsung di hari yang sama. Tapi MA, sengketa pilkada bisa diputus sampai dua tahun. Lambat sekali. Ini reputasi buruk bagi MA,” kata Emerson. (ren)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar