Pewarta: Desca Lidya Natalia
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi menjadwalkan ulang
pemeriksaan mantan Direktur Utama Pertamina EP Tri Siwindono dalam
perkara dalam penyidikan dugaan penerimaan suap terkait dengan jual beli
gas alam untuk pembangkit listrik di Gresik dan Gili Timur, Bangkalan
Madura.
"Tri Siwindono sudah pensiun. Surat panggilan tidak diterima yang
bersangkutan. Penyidik sudah mengirimkan kembali panggilan kepada yang
bersangkutan," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa
Nugraha di Jakarta, Selasa.
Hari ini rencananya KPK akan memeriksa Tri dalam perkara yang
menjadikan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bangkalan sebagai
Fuad Amin Imron sebagai tersangka.
Tri saat ini menjadi komisaris independen PT Elnusa Tbk (ELSA)
sedangkan PT Pertamina EP adalah perusahaan yang menyelenggarakan
kegiatan usaha di sektor hulu bidang minyak dan gas bumi, meliputi
eksplorasi dan eksploitasi, termasuk di Bangkalan.
Selain Tri, KPK juga sedianya memeriksa mantan Direktur Utama Pertamina EP Cepu, Haposan Napitupulu.
"Haposan Napitupulu sudah pensiun. Surat panggilan tidak diterima
yang bersangkutan. Penyidik sudah mengirimkan kembali panggilan kepada
yang bersangkutan," ungkap Priharsa.
Saksi lain yang tidak datang adalah Kepala BP Migas Tahun 2007 Kardaya Warnika.
"Kardaya Warnika tidak hadir karena sedang umrah," tambah Priharsa.
Sedangkan saksi lain yaitu dirut PT Pembangkitan Jawa Bali Samiudin,
Manager keuangan PT Pembangkitan Jawa Bali Andiani Rinsia dan Kepala
Divisi Pemasaran BP Migas Tahun 2007 Budi Indianto hadir memenuhi
panggilan KPK untuk diperiksa sebagai saksi dari Direktur PT Media Karya
Sentosa (MKS) Antonio Bambang Djatmiko yang menjadi tersangka dalam
kasus ini karena diduga menyuap Fuad.
Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja menjelaskan bahwa adanya keanehan
kontrak kerja antara PT Media Karya Sentosa dengan Pertamina EP sehingga
mendapatkan alokasi gas alam sebesar 40 BBTU sejak 2007.
"Misalnya kenapa kok tidak dibangun-bangun padahal sudah ada kontraknya tapi duitnya dibayar," kata Adnan.
Kaitan Fuad Amin dengan PT MKS dimulai saat Fuad Amin masih menjadi
bupati Bangkalan pada periode 2003-2008, yang dilanjutkan pada
2008-2013.
Fuad mengajukan permohonan kepada BP Migas agar Kabupaten Bangkalan
mendapatkan alokasi gas bumi yang berasal dari eksplorasi Lapangan Ke-30
Kodeco Energy Ltd di lepas pantai Madura Barat di bawah pengendalian PT
Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE-WMO).
Kabupaten Bangkalan dan Pulau Madura memiliki hak diprioritaskan
mendapatkan alokasi gas bumi untuk kebutuhan pembangkit berbahan bakar
gas (PLTG) karena berguna untuk pengembangan industri di sekitar kawasan
Jembatan Suramadu, kebutuhan kawasan industri dan kebutuhan rumah
tangga warga Bangkalan.
Namun, sampai sekarang PHE-WMO tidak juga memberikan alokasi gas
alam yang dimohonkan Fuad karena PHE-WMO menemui instalasi pipa penyalur
gas bumi sampai sekarang belum juga selesai dibangun.
Kewajiban pembangunan pipa gas bumi ke Bangkalan, Madura, merupakan
tanggung jawab PT MKS yang merupakan pihak pembeli gas alam berdasar
perjanjian jual beli gas alam (PJBG) untuk pembangkit listrik di Gresik
dan Gili Timur, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
Berdasar PJBG tersebut, PT MKS mendapatkan alokasi gas sebesar 40
BBTU dari BP Migas melalui Pertamina EP (PEP) atas pertimbangan MKS akan
memasok gas sebesar 8 BBTU untuk PLTG Gili Timur, Bangkalan, Madura.
Untuk memenuhi persyaratan PJBG, MKS bekerja sama dengan BUMD
Bangkalan PD Sumber Daya. Perjanjian yang mengatur Pembangunan
Pemasangan Pipa Gas Alam dan Kerja Sama Pengelolaan Jaringan Pipa antara
MKS dan BUMD PD Sumber Daya ternyata tidak pernah diwujudkan MKS
akibatnya, gas bumi sebesar 8 BBTU untuk PLTG Gili Timur tidak pernah
dipasok MKS.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Fuad sebagai tersangka penerima suap
berdasarkan pasal 12 huruf a, pasal 12 huruf b, pasal 5 ayat 2 atau
pasal 11 UU PEmberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah atau janji padahal patut diduga bahwa hadiah
atau janji tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan
terkait jabatannya.
Bila terbukti melanggar pasal tersebut dapat dipidana penjara seumur
hidup atau penjara 4-20 tahun kurungan ditambah denda minimal Rp200
juta dan maksimal Rp1 miliar.
Tersangka lain adalah Antonio Bambang Djatmiko dan Rauf sebagai
pemberi dan perantara yang dikenakan dugaan pasal 5 ayat 1 huruf a,
serta pasal 5 ayat 1 huruf b serta pasal 13 UU Tindak Pidana Korupsi jo
pasal 55 ayat 1 KUHP.
Pasal tersebut tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai
orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara terkait dengan jabatan penyelenggara negara
tersebut dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar