VIVAnews - Penyerapan anggaran pemerintah masih minim. Data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara menunjukkan bahwa hingga 30 Agustus lalu realisasi anggaran belanja negara baru mencapai 54,8 persen dari Rp1.726,2 triliun yang ditargetkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (ABPN-P) untuk Tahun Anggaran 2013.
Realisasi belanja pemerintah pusat baru mencapai 51,4 persen hingga bulan Agustus. Dari Rp1.196,8 triliun yang dianggarkan dalam APBN-P 2013 untuk pos belanja pemerintah pusat, realisasi pada bulan Agustus sebesar Rp615,6 triliun.
Sementara transfer ke daerah mencapai 62,4 persen. Dari anggaran yang ditargetkan APBN-P 2013 sebesar Rp529,4 triliun untuk pos transfer ke daerah, realisasi hingga Agustus mencapai Rp330,1 triliun.
Di sisi penerimaan dalam negeri, penerimaan perpajakan hingga Agustus mencapai Rp657,3 triliun atau 57,2 persen dari target APBN-P 2013.
Realisasi belanja pemerintah pusat baru mencapai 51,4 persen hingga bulan Agustus. Dari Rp1.196,8 triliun yang dianggarkan dalam APBN-P 2013 untuk pos belanja pemerintah pusat, realisasi pada bulan Agustus sebesar Rp615,6 triliun.
Sementara transfer ke daerah mencapai 62,4 persen. Dari anggaran yang ditargetkan APBN-P 2013 sebesar Rp529,4 triliun untuk pos transfer ke daerah, realisasi hingga Agustus mencapai Rp330,1 triliun.
Di sisi penerimaan dalam negeri, penerimaan perpajakan hingga Agustus mencapai Rp657,3 triliun atau 57,2 persen dari target APBN-P 2013.
OJK
Hal serupa juga terjadi pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK mengungkapkan bahwa serapan anggaran per 20 September 2013 baru mencapai Rp584 miliar. Penyerapan ini sekitar 35,54 persen dari pagu anggaran OJK pada tahun ini yang dipatok Rp1,64 triliun.
Dalam rapat dengar pendapat di gedung DPR RI, Jakarta, Kamis 26 September 2013, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad, mengatakan, minimnya penyerapan anggaran terjadi karena sebagai lembaga, OJK masih baru.
"Karena masih baru, OJK saat ini fokus untuk mempersiapkan pengembangan organisasi beserta infrastrukturnya," ujarnya.
Selama ini, menurut Muliaman, OJK mempersiapkan penyusunan regulasi atau pengaturan internal, seperti penyusunan sistem dan prosedur pelaksanaan tugas yang terkait dengan pengaturan kepegawaian, serta sistem keuangan internal.
Selain itu, dia menambahkan, harus ada penyusunan pengadaan barang dan jasa, tata kelola OJK, standar dan pedoman audit internal, serta manajemen risiko dan pengendalian kualitas.
Muliaman mengungkapkan, OJK juga fokus untuk menyusun dan menyinergikan regulasi dan pengaturan di sektor jasa keuangan. Selain itu, OJK sedang melakukan pengalihan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan serta pengawasan sektor perbankan dari BI ke OJK yang akan dilaksanakan pada 31 Desember 2013. Upaya ini nantinya terkait penyediaan sumber daya manusia.
"Dengan kondisi seperti ini, maka prognosa anggaran pada 31 Desember 2013 adalah Rp1,34 triliun atau 82,69 persen dari pagu," katanya.
Muliaman menuturkan, kegiatan penyerapan anggaran baru akan dilaksanakan pada triwulan ketiga dan empat tahun ini. Selain itu, OJK meminta adanya realokasi anggaran sebesar Rp300 miliar.
Realokasi anggaran ini, menurut dia, akan ditujukan untuk pengadaan kendaraan dan rumah jabatan/dinas kantor OJK di daerah. Jika disetujui, Muliaman mengungkapkan, perkiraan realisasi anggaran OJK pada 31 Desember 2013 bisa mencapai 98,11 persen dari pagu.
Dalam rapat dengar pendapat di gedung DPR RI, Jakarta, Kamis 26 September 2013, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad, mengatakan, minimnya penyerapan anggaran terjadi karena sebagai lembaga, OJK masih baru.
"Karena masih baru, OJK saat ini fokus untuk mempersiapkan pengembangan organisasi beserta infrastrukturnya," ujarnya.
Selama ini, menurut Muliaman, OJK mempersiapkan penyusunan regulasi atau pengaturan internal, seperti penyusunan sistem dan prosedur pelaksanaan tugas yang terkait dengan pengaturan kepegawaian, serta sistem keuangan internal.
Selain itu, dia menambahkan, harus ada penyusunan pengadaan barang dan jasa, tata kelola OJK, standar dan pedoman audit internal, serta manajemen risiko dan pengendalian kualitas.
Muliaman mengungkapkan, OJK juga fokus untuk menyusun dan menyinergikan regulasi dan pengaturan di sektor jasa keuangan. Selain itu, OJK sedang melakukan pengalihan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan serta pengawasan sektor perbankan dari BI ke OJK yang akan dilaksanakan pada 31 Desember 2013. Upaya ini nantinya terkait penyediaan sumber daya manusia.
"Dengan kondisi seperti ini, maka prognosa anggaran pada 31 Desember 2013 adalah Rp1,34 triliun atau 82,69 persen dari pagu," katanya.
Muliaman menuturkan, kegiatan penyerapan anggaran baru akan dilaksanakan pada triwulan ketiga dan empat tahun ini. Selain itu, OJK meminta adanya realokasi anggaran sebesar Rp300 miliar.
Realokasi anggaran ini, menurut dia, akan ditujukan untuk pengadaan kendaraan dan rumah jabatan/dinas kantor OJK di daerah. Jika disetujui, Muliaman mengungkapkan, perkiraan realisasi anggaran OJK pada 31 Desember 2013 bisa mencapai 98,11 persen dari pagu.
PU
Persoalannya minimnya penyerapan anggaran tak hanya terjadi pada lembaga baru macam OJK, tapi juga lembaga lama seperti Pekerjaan Umum (PU). Menteri PU Djoko Kirmanto, dalam paparannya saat rapat kerja dengan Komisi V DPR RI, Jakarta, Selasa 3 September 2013, menyatakan penyerapan anggaran di kementeriannya hingga Agustus baru mencapai 39 persen.
Djoko menjelaskan, pagu awal pada 2013 sebesar Rp77,98 triliun, pagu setelah pemotongan Rp74,17 triliun, dan pagu akhir APBN-P 2013 senilai Rp83,77 triliun.
Untuk pagu awal, Djoko melanjutkan, hingga 2 September terealisasi sebesar 42,67 persen. Angka ini lebih rendah dari perkiraan kementerian yang merencanakan penyerapan sebesar 46,27 persen. Dengan demikian, ada deviasi target -3,60 persen.
Sementara itu, pagu anggaran setelah pemotongan telah terealisasi sebesar 44,86 persen. Dalam perencanaannya, penyerapan itu sebesar 43,51 persen.
Adapun pagu akhir berdasarkan APBN-P 2013, terealisasi sebesar 39,72 persen. Angka ini lebih rendah dari rencana kementerian yang menargetkan penyerapan 42,26 persen.
"Penurunan tingkat penyerapan ini karena aktivitas penyerapan tambahan dana yang sebesar Rp9,09 triliun masih rendah," kata Djoko.
Anggaran tersebut, menurut Djoko, hingga kini masih diproses di Kementerian Keuangan. Adapun dana yang sudah terserap alokasinya adalah 12,3 persen untuk belanja barang, 64,3 persen bagi belanja modal, dan sekitar 9,1 persen guna belanja sosial.
Djoko menjelaskan, pagu awal pada 2013 sebesar Rp77,98 triliun, pagu setelah pemotongan Rp74,17 triliun, dan pagu akhir APBN-P 2013 senilai Rp83,77 triliun.
Untuk pagu awal, Djoko melanjutkan, hingga 2 September terealisasi sebesar 42,67 persen. Angka ini lebih rendah dari perkiraan kementerian yang merencanakan penyerapan sebesar 46,27 persen. Dengan demikian, ada deviasi target -3,60 persen.
Sementara itu, pagu anggaran setelah pemotongan telah terealisasi sebesar 44,86 persen. Dalam perencanaannya, penyerapan itu sebesar 43,51 persen.
Adapun pagu akhir berdasarkan APBN-P 2013, terealisasi sebesar 39,72 persen. Angka ini lebih rendah dari rencana kementerian yang menargetkan penyerapan 42,26 persen.
"Penurunan tingkat penyerapan ini karena aktivitas penyerapan tambahan dana yang sebesar Rp9,09 triliun masih rendah," kata Djoko.
Anggaran tersebut, menurut Djoko, hingga kini masih diproses di Kementerian Keuangan. Adapun dana yang sudah terserap alokasinya adalah 12,3 persen untuk belanja barang, 64,3 persen bagi belanja modal, dan sekitar 9,1 persen guna belanja sosial.
Belum Efektif
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Harry Azhar Azis, Kamis 26 Agustus 2013, menyatakan bahwa kemampuan pemerintah dalam menyerap anggaran, sebagaimana yang ditunjukkan dalam laporan 30 Agustus 2013 itu, belum efektif.
Komisi XI sebagai mitra kerja pemerintah yang membidangi pengawasan anggaran dan keuangan, menurut Harry, memang mencermati bahwa pemerintah memang belum menunjukkan perubahan kinerja untuk mempercepat proses penyerapan anggaran dengan kualitas dan spesifikasi yang telah ditentukan.
"Kondisi ini memang belum menggembirakan," ujar Harry kepada VIVAnews.
Realisasi belanja pegawai yang mencapai 65,5 persen pada bulan Agustus, menurut Harry, memang sangat bagus. Namun, untuk realisasi belanja barang dan belanja modal yang masing-masing baru mencapai 33,9 persen dan 31,4 persen menunjukkan sikap pemerintah yang terlalu berhati-hati.
Jika belanja pemerintah pusat per Agustus baru mencapai 51,4 persen, menurut Harry, berarti ada 1,3 persen ketidakefektifan pemerintah dalam mengelola anggaran.
Menurut Harry, memang bisa dipahami jika belanja barang dan modal berjalan lebih lambat daripada belanja pegawai. Karena untuk belanja barang dan modal memerlukan proses tender yang butuh waktu dan ketelitian.
Namun, capaian yang kurang dari 35 persen untuk belanja barang maupun belanja modal hingga Agustus ini patut mendapat perhatian. Pemerintah disarankan untuk membuat klasifikasi anggaran belanja yang diprioritaskan.
"Misalnya, untuk belanja yang urgen. Proses tender harus lebih diefektifkan, dari tiga bulan menjadi satu bulan," kata Harry.
Jika pemerintah bisa mengeluarkan dana yang lebih murah dari yang telah dianggarkan untuk mendapat barang yang lebih baik kualitasnya, maka artinya telah berhemat. Dalam hal ini pejabat pemerintah itu patut mendapat apresiasi.
"Namun, sebaliknya, jika belanja itu mengeluarkan dana yang dianggarkan untuk mendapat barang yang lebih buruk kualitasnya, maka pemerintah perlu dipertanyakan," kata Harry.
Di sisi lain, ia melanjutkan, memang telah banyak keluhan dari pimpinan proyek maupun tender pemerintah terkait kekhawatiran akan menjadi pihak yang paling disalahkan apabila terjadi kerugian negara di kemudian hari. Pengungkapan kasus-kasus korupsi yang mendapat sorotan tajam masyarakat, menimbulkan kegelisahan tersendiri bagi pimpinan proyek maupun tender pemerintah saat ini.
"Nah, sayangnya, tingkat kehati-hatian itu lebih besar dari tingkat profesionalitas. Ini juga menjadi persoalan besar yang harus segera diselesaikan," kata Harry.
Komisi XI selaku pihak parlemen dalam hal ini, tidak bisa mendesak pemerintah untuk bisa lebih efektif dalam penyerapan anggaran sesuai yang ditargetkan. "Sulit, posisi pemerintah itu sepertinya sudah anti desakan," kata Harry.
Parlemen, kata Harry, bukan tak pernah menanyakan apa kendala pemerintah sehingga penyerapan anggaran begitu minim. "Sudah dan selalu kami tanyakan. Tapi jawaban mereka ini itu, tak pernah jelas," kata Harry.
Penyerarapan anggaran yang rendah ini tak sesuai dengan harapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden SBY memerintahkan para pejabat publik untuk memanfaatkan anggaran sesuai dengan alokasi APBN dan APBD. Semua pejabat juga diharap segera menindaklanjuti daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) tahun anggaran 2013 yang telah mereka terima.
"Jangan ada kemandegan, tidak boleh terlambat. Justru harus lebih cepat," kata Presiden Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, Senin 10 Desember 2012.
Pesan SBY kepada para pejabat publik adalah gunakan anggaran secara tepat, transparan, akuntabel, tanpa ada penyimpangan. Sebab pembelanjaan pemerintah (government spending), menurut SBY, adalah komponen penting dalam pertumbuhan ekonomi negara.
"Kalau tidak digunakan dengan baik, hampir pasti menghambat pertumbuhan perekonomian. Sekali lagi, gunakan tepat waktu dan tepat sasaran sehingga tidak menghambat ekonomi. Kalau kita lalai menggunakan ini berarti kesejahtaraan rakyat juga terganggu dan menghambat," ujarnya menegaskan. (eh)
Komisi XI sebagai mitra kerja pemerintah yang membidangi pengawasan anggaran dan keuangan, menurut Harry, memang mencermati bahwa pemerintah memang belum menunjukkan perubahan kinerja untuk mempercepat proses penyerapan anggaran dengan kualitas dan spesifikasi yang telah ditentukan.
"Kondisi ini memang belum menggembirakan," ujar Harry kepada VIVAnews.
Realisasi belanja pegawai yang mencapai 65,5 persen pada bulan Agustus, menurut Harry, memang sangat bagus. Namun, untuk realisasi belanja barang dan belanja modal yang masing-masing baru mencapai 33,9 persen dan 31,4 persen menunjukkan sikap pemerintah yang terlalu berhati-hati.
Jika belanja pemerintah pusat per Agustus baru mencapai 51,4 persen, menurut Harry, berarti ada 1,3 persen ketidakefektifan pemerintah dalam mengelola anggaran.
Menurut Harry, memang bisa dipahami jika belanja barang dan modal berjalan lebih lambat daripada belanja pegawai. Karena untuk belanja barang dan modal memerlukan proses tender yang butuh waktu dan ketelitian.
Namun, capaian yang kurang dari 35 persen untuk belanja barang maupun belanja modal hingga Agustus ini patut mendapat perhatian. Pemerintah disarankan untuk membuat klasifikasi anggaran belanja yang diprioritaskan.
"Misalnya, untuk belanja yang urgen. Proses tender harus lebih diefektifkan, dari tiga bulan menjadi satu bulan," kata Harry.
Jika pemerintah bisa mengeluarkan dana yang lebih murah dari yang telah dianggarkan untuk mendapat barang yang lebih baik kualitasnya, maka artinya telah berhemat. Dalam hal ini pejabat pemerintah itu patut mendapat apresiasi.
"Namun, sebaliknya, jika belanja itu mengeluarkan dana yang dianggarkan untuk mendapat barang yang lebih buruk kualitasnya, maka pemerintah perlu dipertanyakan," kata Harry.
Di sisi lain, ia melanjutkan, memang telah banyak keluhan dari pimpinan proyek maupun tender pemerintah terkait kekhawatiran akan menjadi pihak yang paling disalahkan apabila terjadi kerugian negara di kemudian hari. Pengungkapan kasus-kasus korupsi yang mendapat sorotan tajam masyarakat, menimbulkan kegelisahan tersendiri bagi pimpinan proyek maupun tender pemerintah saat ini.
"Nah, sayangnya, tingkat kehati-hatian itu lebih besar dari tingkat profesionalitas. Ini juga menjadi persoalan besar yang harus segera diselesaikan," kata Harry.
Komisi XI selaku pihak parlemen dalam hal ini, tidak bisa mendesak pemerintah untuk bisa lebih efektif dalam penyerapan anggaran sesuai yang ditargetkan. "Sulit, posisi pemerintah itu sepertinya sudah anti desakan," kata Harry.
Parlemen, kata Harry, bukan tak pernah menanyakan apa kendala pemerintah sehingga penyerapan anggaran begitu minim. "Sudah dan selalu kami tanyakan. Tapi jawaban mereka ini itu, tak pernah jelas," kata Harry.
Penyerarapan anggaran yang rendah ini tak sesuai dengan harapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden SBY memerintahkan para pejabat publik untuk memanfaatkan anggaran sesuai dengan alokasi APBN dan APBD. Semua pejabat juga diharap segera menindaklanjuti daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) tahun anggaran 2013 yang telah mereka terima.
"Jangan ada kemandegan, tidak boleh terlambat. Justru harus lebih cepat," kata Presiden Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, Senin 10 Desember 2012.
Pesan SBY kepada para pejabat publik adalah gunakan anggaran secara tepat, transparan, akuntabel, tanpa ada penyimpangan. Sebab pembelanjaan pemerintah (government spending), menurut SBY, adalah komponen penting dalam pertumbuhan ekonomi negara.
"Kalau tidak digunakan dengan baik, hampir pasti menghambat pertumbuhan perekonomian. Sekali lagi, gunakan tepat waktu dan tepat sasaran sehingga tidak menghambat ekonomi. Kalau kita lalai menggunakan ini berarti kesejahtaraan rakyat juga terganggu dan menghambat," ujarnya menegaskan. (eh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar